-->
    |

Demokrasi Jalan Tengah: Retrospeksi atas Kebhinnekaan, Keberagaman, dan Kemajemukan

Faktanews.id - Belakangan ini, kita akan ternganga melihat praktek demokrasi sebagai institusi politik dan kohesi sosial memiliki resonansi negatif yang sangat besar terhadap kebhinnekaan, kemajemukan, pluralitas atau multikultural dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara.   Demokrasi tentu saja bukan pertandingan bola basket jalanan. Demokrasi memang punya aturan tertulis (konstitusi) dan wasit (pengadilan). Kala norma saling toleransi lemah, demokrasi sukar dipelihara. Bila kita memandang pesaing sebagai ancaman berbahaya, maka kita jadi takut mereka menang. 

Norma yang penting bagi kelangsungan demokrasi adalah apa yang kami buat sikap menahan diri secara kelembagaan (institusional forbearance). Sebagaimana kerajaan berdasar agama, demokrasi juga butuh sikap menahan diri. Pikiran demokrasi sebagai permainan yang kita ingin mainkan selama-lamanya. Untuk memastikan bahwa permainan terus berlangsung, para pemain mesti menahan diri agar tak melumpuhkan tim lawan atau memusuhi mereka sedemikian rupa sehingga mereka tidak mau main lagi besok. Bila pesaing berhenti, maka tidak ada lagi permainan pada masa depan. 

Baca Juga

Tangani COVID-19 Bersama LSM dan Ormas, Kemendagri Adakan Konsultasi Publik di Bali

Jika Haoks Jadi Kepentingan Politik Dan Industri, Peradaban Manusia Bisa Hancur

Polarisasi bisa menghancurkan norma demokrasi. Polarisasi sampai batas tertentu itu sehat – bahkan diperlukan – untuk demokrasi. Ketika perbedaan sosial-ekonomi, rasial, atau agama (identitas agama) memunculkan sikap partisan ekstrem, sehingga masyarakat terbagi-bagi menjadi kubu-kubu politik antara ekstrim kanan (radikal) dan ekstrim kiri (liberal) yang pandangan dunianya bukan hanya berbeda-beda melainkan saling esklusif, toleransi menjadi makin sulit dipelihara. Ketika masyarakat menjadi terpecah-belah begitu tajam sehingga sesama antar warga negara atau masyarakat saling curiga-mencurigai, fitnah-memfitnah, ancam-mengancam, memprovokasi dan bahkan persekusi fisik dengan bunuh-membunuh, maka bangunan keadabaan bernegara dan bermasyarakat yang dilandasi oleh Ideologi Pancasila dan UUD 1945 akan mengalami impase masa depan demokrasi kita. 

Baca Juga

Hoaks Terbanyak Serang Pemerintah

Kasatgas Nusantara Polri Paparkan Kerawanan Pemilu 2019 di Kampus Djuanda Bogor

“Maka Berdemokrasi yang paling tepat adalah Berdemokrasi di “Jalan Tengah” atau “Tengah-tengah” , yaitu menjalankan Demokrasi Yang Berasaskan pada Pancasila dan UUD 1945 sebagai karakter dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Jalan tengah” dalam arti tidak terlalu kaku, tapi tidak terlalu longgar dalam menjalankan Politik Kebangsaan. 

Retrosepksi Poitik Kebangsaan Pasca Pemilu Serentak 2019 Pasang surut demokrasi Pasca Pemilu Serentak 2019 telah menunjukkan arah baru demokrasi pada satu sisi, dan di sisi lain mengalami impase (jalan buntu) arah demokrasi. Polarisasi politik antara pendukung Jokowi dan Prabowo pada Pilpres 2019 merupakan kelanjutan pertarungan kedua kubu pada Pilpres 2014 yang tampaknya belum selesai. Hal ini bukan lah satu-satunya akar permasalahan kebangsaan, melainkan serpihan-serpihan kecil dari semua permasalahan kebangsaan termasuk di bidang sosial, hukum, ekonomi, budaya, agama dan kebhinnekaan.

Baca Juga

RUU HIP, Pancasila dan BPIP

Bursah Zarnubi: Diskursus Pancasila Sebagai Falsafah Indonesia Harus Digelorakan

Tampak polarisasi semakin tajam ketika agama atau politik identitas menguat kepermukaan sebagai pendekatan utama dalam kontestasi politik pada pilpres serentak 2019. Politisasi SARA (suku, agama, dan ras) pada pilpres serentak 2019 telah membekas begitu kuat bagi kedua kelompok hingga saat ini. Politik identitas ini telah mengancam terhadap harmonisasi keberagamaan, kebhinnekaan, kemajemukan, dan demokrasi. 

Oleh karenanya, timbulnya disharmoni sosial terkait erat dengan tereduksinya nilai-nilai budaya demokrasi seperti rasa saling percaya dan saling menghormati/menghargai. Rakyat tampak terdikotomi/terbelah (mengelompok) sesuai dengan dukungan politik merek masing-masing termasuk di media-media sosial sepanjang 2019 hingga 2020. Pilkada/pilpres langsung seolah menjadi moment dan sarana sosial untuk menyuarakan ketidakpuasan sosial atas beragam hal. 

Melalui refleksi akhir tahun ini, Poros Pemuda Indonesia (PPI) mengajak seluruh rakyat Indonesia khususnya kaum Milenial untuk bersama-sama menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia kita dengan bergandengan tangan, tatapan optimisme, serta berderap maju melangkah bersama. 

Persatuan adalah aset terbesar bangsa. Bersamaan dengan itu, PPI mendorong segenap pemimpin bangsa dan para tokoh bangsa untuk memberikan keteladanan dan pendidikan politik yang menjunjung tinggi etika, menunjukkan sikap kenegarawanan dengan tetap mengedepankan persatuan di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. 

Sebagai gambaran umum, bangsa dan negara Indonesia senantiasa belajar dari waktu ke waktu untuk memperbaiki dan mengoreksi setiap proses dan dinamika demi kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Salah satu momen sekaligus pelajaran berharga untuk bangsa Indonesia adalah pelaksanaan Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang untuk pertama kalinya dilaksanakan secara serentak pada pertengahan tahun 2019 lalu. 

Penting untuk kita renungkan bersama, dalam dinamika pemilu serentak tersebut telah membuat polarisasi yang tajam ditengah kita semua, setiap perbedaan menjadi perdebatan, politik identitas dan sikap-sikap intoleran semakin mengemuka. Di tingkat masyarakat sempat muncul kekhawatiran tentang masa depan kebersatuan kita di rumah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terkait dengan kehidupan demokrasi kita, sepatutnya kita berbangga atas capaian-capaian demokrasi kita, namun kita juga perlu memberikan catatan-catatan untuk kebaikan kehidupan berdemokrasi kita ke depan. 

Terdapat permasalahan krusial yang harus menjadi perhatian bersama komponen bangsa dalam memperkuat dan mewujudkan harmonisasi keberagaman, kebhinnekaan, dan kemajemukan dalam sistem politik demokrasi yang berasaskan pada Pancasila, yaitu:

Pertama, rutinitas lima tahunan pilpres, pileg dan pilkada secara serentak harus menghasilkan demokrasi prosedural yang kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi Pancasila.  Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang dilandasi secara utuh dan terintegrasi oleh keseluruhan nilai-nilai Pancasila. Demokrasi tersebut, antara lain, adalah demokrasi yang mengutamakan pengambilan keputusan dengan musyawarah mufakat dalam semangat kekeluargaan, yang mengutamakan keselarasan dan keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara kepentingan pribadi dan sosial dan yang mengutamakan kepentingan dan keselamatan bangsa diatas kepentingan pribadi dan golongan. Oleh karena itu, dialog menjadi inti (core) penting demokrasi. Di samping itu, upaya meruntuhkan demokrasi juga terjadi dengan kemunculan kelompok-kelompok teroris, intoleran, dan fundamentalis, serta gerakan-gerakan politik yang mendefinisikan suara publik dengan sekehendak hati.

Kedua, Pilpres dan pilkada perlu dibenahi agar kompetisinya lebih berkualitas dan sehat, tidak menghalalkan semua cara untuk menang. Sebab cara-cara yang dianut selama ini pada akhirnya menghadirkan keterbelahan dalam masyarakat. Peran parpol sangat penting dalam mendorong terwujudnya kehidupan politik yang sehat. Selain peran parpol, upaya-upaya penguatan demokrasi terasa semakin berkualitas seiring dengan penguatan peran dan partisipasi masyarakat. Hal ini dapat kita maknai semakin besarnya peran aktif masyarakat dalam penentuan kebijakan pemerintahan negara yang mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 

Ketiga, menguatnya politik identitas pada pilpres 2019 telah mengancam terhadap keutuhan dan keterbelahan sesama anak bangsa di negeri ini. Politisasi politik identitas kerap digunakan secara berlebihan oleh para pihak hingga akhirnya menimbulkan polarisasi di masyarakat. Polarisasi ini menumbuhkan perasaan ekslusif antara kelompok satu dengan lainnya, bisa berdasarkan agama atau kepercayaan tertentu. Politik identitas digunakan oleh para politisi untuk mempertajam perbedaan-perbedaan pilihan pada pemilihan presiden secara langsung. 

Keempat, realitas keberagamaan dan realitas kebhinnekaan sering bersifat segmented (terkotak-kotak) dan fragmented (terpisah-pisah). Dalam politik, pengakuan kemajemukan berarti sebuah penegasan bahwa kekuasaan dalam sistem demokrasi itu tidak boleh dimonopoli oleh oligarki atau dinasti tertentu.

Kelima, politik penegakan hukum idealnya berorientasi keadilan. Keadilan dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu Pengakuan terhadap perbedaan yang merajut kebhinnekaan diwujudkan dalam bentuk perlakuan yang sederajat, baik sebagai individu warga negara maupun sebagai satu kesatuan sosial; dibidang hukum, di bidang politik, dan di bidang ekonomi. Di bidang hukum, mengharuskan dijalankannya prinsip persamaan dihadapan hukum (equality before the law). Hukum tidak memandang kelas warga negara, identitas agama, ataupun jumlah mayoritas minoritas.

Oleh: Muhlis Ali

Ketua Umum Poros Pemuda Indonesia (PPI).

Komentar Anda

Berita Terkini