-->
    |

Hoaks Terbanyak Serang Pemerintah

(Diskusi Publik "Meningkatkan Peran Media untuk Pendidikan Politik Guna Melawan Hoaks Dan Menekan Golput di Pilpres 2019)
FaktaNews.id - Peredaran berita hoak, fake news, dan ujaran kebencian cukup masif dan mengkhawatirkan akhir-akhir ini. Hampir setiap hari masyarakat disuguhi hoaks. Sementara itu, sebagian masyarakat sendiri tidak bisa membedakan mana berita fakta dan mana berita bohong.

Hal tersebut disampaikan Staf Ahli Sekjen Kominfo Hendrasmo pada diskusi publik bertajuk "Meningkatkan Peran Media Untuk Pendidikan Politik Guna Melawan Hoaks Dan Menekan Golput Dipilpres 2019" di Restoran Tjikini Lima, Jakarta Pusat, Jumat (22/3/2019).

Menurut dia, berdasarakan catatan pihaknya tentang peredaran haoks sejak Agustus 2018 sampai Februari 2019 mencapai 771 hoaks. Dan dari Februari sampai Maret, hoaks tercatat 350 an. Menuru dia, hoaks terbanyak menyerang pemerintah dan Capres-Cawapres.

"Hoaks itu paling banyak serang pemerintah, Capres-Cawapres, kemudian menteri-menteri," papar Hendrasmo.

Menurut dia, mayororitas masyarakat yang tidak bisa mengindenfikasi berita fakta. Hal itu disebabkan karena rendahnya literasi masyarakat itu sendiri.

"Masyarakat memahami hoaks? Ternyata mayoritas hoaks susah diidentifikasi mana benar mana hoaks. Kira-kira 75,25% katakan tidak yakin identifikasi hoaks. 24% saja yang bisa identifkasi hoaks," tuturnya.

Dari sekian banyak hoaks yang beredar, Hendrasmo menyebut beberapa. Misalnya, soal isu PKI-komunisme, isu TKA China, isu pendidikan agama dihapus, isu pengesahan agama Yahudi dan isu LGBT. Hoaks semacam ini, kata dia, berulangkali disebar.

"Hoaks ini sangat membahayakan demokrasi," pungkas dia sambari meminta media turut mengedukasi masyarakat.

Di tempat yang sama, Pengamat Intelijen CISS Ngasiman Djoyonegoro mengatakan hoaks, fake news dan hate speech, harus diperangi secara bersama-sama. Apalagi, peredaran hoaks akhir-akhir dikaitkan dengan sistem Pemilu. Dia mencontohkan kasus hoaks Ratna Sarumpaet dan kasus hoak 7 kontainer surat suara tercoblos.

"Hoaks Ratna Sarumpaet yang buat semua tim sukses di sana langsung konferensi pers, dalam UU ITE kan harusnya kena semua (penyebarnya)," tukas dia.

Menurut dia, yang membuat hoaks sama-sama memiliki ilmu yang sama. Mereka saling hantam dan saling curiga satu sama lain. Baik kubu capres-cawapres 01 maupun 02.

"Subtansinya tidak terlihat dan hanya sentimen verbal saja yang muncul termasuk sentimen SARA, siapa yang Islam dan siapa yang kafir," katanya.

Adapun Biro Hukum KPU RI, Setya Indra Arifin memaparkan soal partisipasi masyarakat terhadap Pemilu. Menurut dia, KPU, sebagai penyelenggara pesta demokrasi, sudah memberikan pendidikan politik kepada pemilih untuk meningkatkan partisipasi politik. Kesadaran masyarakat terhadap politik cukup tinggi. Namun di sisi lain tingkat kepercayaan masyarakat cukup rendah. Hal ini, kata dia, cukup berbahaya.

"Ini bisa jadi gerakan militan dan radikal. Dan ini tida hanya tugas satu lembaga saja tapi semua pihak. Kalau tingkat kesadaran rendah dan kepercayaan rendah, maka lahirlah sikap apatis," katanya.

"Survei SMRC, tingkat kepercayaan politik kepada penyelenggara pemilu sampai 68%. Kami harap dalam Pemilu ke depan ingin capai pertisipasi pemilih sampai 77% bisa tercapai. Tinggal bagaimana partisipasi pemilu dan kedewasaan politik," katanya. (RF)
Komentar Anda

Berita Terkini