-->
    |

Bursah Zarnubi: Diskursus Pancasila Sebagai Falsafah Indonesia Harus Digelorakan

(Bursah Zarnubi saat menjadi pemateri kualiah umum kebangsaan di Universitas Muhammadiyah Tengerang)
FaktaNews.id - Pancasila merupakan dasar falsafah negara Indonesia yang paling mendasar. Ia bukan doktrin mati. Sebaliknya, ideologi Pancasila harus dijadikan diskursus berkelanjutan.

Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Gerakan Kebangsaan (DPP PGK) pada acara kualiah kebangsaan di kampus Universitas Muhammadiyah Tengerang, Rabu (27/2/2019).

Sekitar 500 an mahasiswa hadir pada kuliah umum kebangsaan ini. Waka Satgas Nusantara Polri Bigjen Pol Fadil Imran juga menjadi pembicara kuliah umum tersebut.

Penyelenggaran kuliah umum kebanhsaan ini adalah BEM UMT bekerja sama dengan DPP PGK. Tema kuliah umum adalah "Memperteguh Semangat Kebangsaan Mahasiswa Dalam Menjaga Kedamaian dan Kemajemukan Kontestasi Pilpres 2019".

Bursah Zarnubi mengatakan Pancasila merupakan falsafah bangsa yang sudah disepakti para founding fathers, namun perdebatan di berbagai forum diskusi, seminar dan sarasehan, soal Pancasila belum juga berakhir.
"Falsafah tidak akan pernah selesai diperdebatkan. Kalau di Kimia itu setiap ada praktik di Laboratorium, praktik itu tidak pernah cocok dengan kimia murni. Itulah pikiran-pikiran Pancasila," papar Bursah.

Lalu bagaimana menjadikan Pancasila sebagai sebuah falsafah bernegara menjadi hidup, Bursah menyampaikan diskursus tentang Pancasila harus terus dibuka dan menjadi milik publik, karena hal itu bukan doktrin mati, tapi merupakan doktrin hidup, yang terbuka bagi eksponen bangsa untuk didiskusikan.

"Terutama sila ke lima, sudah sejauh mana Pancasila berfungsi" tandas aktivis senior pergerakan ini.

Bursah juga menyampaikan bahwa dirinya sepakat dengan pandangan Yudi Latif soal Pancasila sebagai falsafah negara, khususnya dalam bidang ekonomi, saat dia menjadi Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

"Dia membuat instrumen di lembaga itu. Kalau ada praktik ekonomi yang tidak sesuai dengan fakta-fakta "eh kamu tidak sesuai dengan Pancasila" tapi sayang pak Yudi mengundurkan diri," katanya.

Bursah menambahkan bahwa penguasa, siapapun itu, tidak boleh menggunakan Pancasila sebagai alat untuk menggebuk lawan politiknya. Karenanya, kata dia, jika ada orang mengkritik Pancasila sebagai ideologi, bukan berarti mereka anti Pancasila.

"Kalau ideologi mati dia nanti bisa seperti Hitler, dia bisa seperti Nazi, dia seperti komunisme. Bayangkanlah komunisme itu melalui media sosial, aparatur komunisme itu bisa mempengaruhi 1,3 miliar penduduk. Itu di Cina," tambah dia.

Sementara itu, menurut Bursah Pancasila tidak boleh mati karena Indonesia menganut azas demokrasi dan Pancasila memberikan fungsi demokrasi untuk dikritik oleh orang-orang yang mencintai Pancasila itu sendiri.

"Jadi kita harus terus mengeksplorasi Pancasila, menfungsikannya, terutama sila ke-2, 3, 4 dan ke-5 dapat hidup nyata di tengah-tengah masyarakat. Misalnya hidup bermusyawarah, hidup persatuan, berprikemanusiaan, ekonomi berkeadilan.  Tapi ini belum berfungsi nyata di dalam kehidupan kita sehari-hari," katanya.

Lebih lanjut, Bursah juga memaparkan soal gini ratio yang saat ini berada pada 0,399. Gini ratio ini dianggap lebih baik dibanding gini ratio sebelumnya yang hanya 0,44.
"Gini ratio ini menggabarkan bahwa 0,399 itu berarti kurang lebih 1 persen masyarakat Indonesia menguasai 40 persen kekayaan Indonesia. Lalu apa yang mesti kita lakukan," tanya Bursah.

Menurut Bursah, eksponen anak bangsa harus terus menerus mendiskusikan dan menjadikan Pancasila dan UUD 45 , sungguh sungguh sebagai falsafah  yang hidup nyata  serta diskursus yang terbuka tanpa mempertentanngkan kelas sosial masyarakat, antara yang kaya dan yang miskin.

Untuk itu, Bursah mendorong anak anak  bangsa meningkatkan literasi sebab tingkat literasi Indonesia cukup rendah, berada pada nomor 60 seluruh dunia. Dari 1000 orang hanya 1 orang yang memiliki minat membaca buku. Itu pun durasi waktunya hanya 35 sampai 59 menit.

"Padahal UNESCO mensyatrkan negara-negara Eropa yang maju 4 jam membaca dan setiap orang memiliki sedikitnya 3 buku. Ini tantangan besar bagi kita, bagaimana kita mau mengembangkan SDM kalau literasi kita rendah," katanya. (RF)
Komentar Anda

Berita Terkini