Deputi V Kepala Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardani, seusai mengikuti Rapat Paripurna DPR pada Selasa (6/12) mengatakan, “Pengesahan RUU KUHP menjadi UU adalah langkah nyata reformasi hukum pidana Indonesia,”.
Ia menambahkan, “KUHP yang disahkan akan menyempurnakan tata regulasi hukum pidana Indonesia yang dicapai melalui konsolidasi ketentuan pidana dalam berbagai undang-undang sektoral dan mencegah disparitas pidana antara satu ketentuan dengan ketentuan lainnya,”.
KUHP baru yang menggusur KUHP warisan kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie) itu akan mengalami masa transisi 3 tahun dan berlaku efektif pada 2025. Adapun RUU KUHP yang disahkan menjelang akhir tahun 2022 ini sudah diinisiasi sejak 1958 dan sudah dibahas di DPR sejak tahun 1963 (59 tahun lalu).
Produk hukum yang telah berlaku sejak zaman Pemerintah Hindia Belanda di tahun 1918, atau 104 tahun yang lalu ini, menjadi perlu untuk diperbaharui untuk memenuhi tuntutan perkembangan zaman dan kebutuhan nasional akan hukum yang berkeadilan korektif, berkeadilan restoratif, dan berkeadilan rehabilitatif.
Kantor Staf Presiden (KSP) sendiri turut terlibat dalam upaya kolektif pemerintah untuk mendorong pengesahan RUU KUHP dan mengawal aspek pemberlakuannya. Utamanya, dalam tiga tahun ini, tim tenaga ahli dan pemerintah telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan pelatihan bagi aparat penegak hukum untuk memberikan pemahaman terkait makna, esensi, dan filosofi dari RUU KUHP.
Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Prof. Dr. Eddy Hiariej juga menyampaikan bahwa pengesahan RUU KUHP menjadi tonggak sejarah baru Indonesia karena untuk pertama kalinya Indonesia memiliki kodifikasi hukum pidana murni buatan bangsa Indonesia.
“Ini hari bersejarah bagi Indonesia karena kita memiliki KUHP baru buatan bangsa sendiri yang tentunya memiliki paradigma Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,” Ungkap Eddy.