Faktanews.id - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Luluk Nur Hamidah berharap pemerintah harus segera membuat aturan turunan atas Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang berupa peraturan pemerintah (PP) dan Perpres. Pasalnya, sejak UU tersebut diberlakukan sudah jalan empat bulan, tetapi belum ada tanda-tanda terbitnya PP atau perpres, meskipun aturan turunan itu diberi waktu maksimal selama dua tahun.
“Mestinya saat pembahasan UU itu pemerintah sebenarnya sudah paham. Mestinya pemerintah bisa menyiapkan PP atau perpres yang menjadi satu paket dengan UU. Masyarakat berhak untuk mengawal PP dan perpres supaya segera mungkin terbit supaya menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum dan hakim,” ungkap Luluk kepada awak media, Selasa kemarin (2/8/2022).
Selain itu Politisi dari Fraksi PKB ini berharap aparat penegak hukum selain bisa menangkap dan menetapkan tersangka kepada pelaku TPKS, juga bisa memenuhi hak-hak lain korban. Hak-hak korban tersebut diantaranya seperti pemulihan psikologis, restitusi serta denda bagi pelaku, dan kebutuhan lainnya yang bisa diasesmen oleh pendamping korban.
“Setelah aparat penegak hukum menangkap dan menetapkan tersangka, maka secepatnya hak-hak korban juga dipenuhi. Seperti pemulihan psikologis, restitusi serta denda bagi pelaku, dan kebutuhan lainnya. Dalam penanganan kasus kekerasan seksual itu segera mungkin menggunakan UU TPKS karena segala prosedur dan mekaniske ketika ada hambatan dalam penanganan bisa diatasi dengan cepat. Misalnya terkait bukti, korban itu bisa menjadi saksi atas dirinya,” paparnya.
Dijelaskan Politisi dari Fraksi PKB yang ikut membahas RUU TPKS, denda dan restitusi berdasarkan UU TPKS itu berbeda. Dia menjelaskan denda itu dibebankan kepada pelaku terkait dengan hak korban yang dirugikan. Untuk pidana yang ancaman hukumannya 15 tahun dendanya bisa sampai senilai Rp1 miliar. Kalau denda itu tidak bisa dibayarkan oleh pelaku, maka bisa diganti dengan hukuman penjara.
Sedangkan restitusi, nilainya didasarkan pada jenis kejahatan yang dilakukan, lamanya ancaman pidana, dan kondisi ekonomi pelakunya. Dia mengatakan yang menilai dan menetapkan restitusi itu adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan pengadilan. Sumber pemberitaan dpr