Faktanews.id - Mahkamah Konstitusi (MK) menghadirkan Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Makassar, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H sebagai Ahli dari Presiden Republik Indonesia pada sidang lanjutan uji materi Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) pada Selasa (17/5/2022).
Fahri Bachmid diajukan oleh Pemerintah sebagai Ahli dari Presiden, Salain Fahri, ahli lainnya adalah Mantan Hakim Konstitusi Prof. Dr. Mohammad Laica Marzuki, SH. Mereka memberikan keterangan untuk menanggapi permohonan perkara Nomor 47/PUU-XIX/2021 yang diajukan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP).
Dalam pokok keterangannya yang disampaikan dihadapan persidangan pleno Hakim Konstitusi yang terbuka untuk umum itu, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. mengemukakan argumentasi konstitusionalnya sebagai Ahli dari Presiden, yaitu bahwa Otonomi daerah pada konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia bermakna sebagai bentuk dari verdeling (pembagian) kekuasaan kepada setiap daerah-daerah dengan tetap berpegang pada kaidah kesatuan Negara dengan batasan – batasan kewenangan tertentu.
“Ketentuan norma Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (7) Jo Pasal 18 B ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 memberikan “rules”penyelenggaraan otonomi daerah dengan prinsip desentralisasi simetris dan asimetris,” ujar Fahri dalam keterangan yang diterima Selasa (17/5/2022).
Fahri Bachmid menyampaikan bahwa Basis fundamental penyelenggaraan otonomi tersebut dimaksud berpijak pada konsepsi pembagian/pelimpahan kekuasaan kepada daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Pembagian kekuasaan ini dimaksudkan agar masing-masing daerah berkembang dengan mudah dan memberikan akses pelayanan dari segala sector kebutahan masyarakat terpenuhi dengan cepat sesuai dengan kekhususan dan keragaman daerah.
Kata “dibagi” pada ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menekankan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu entitas yang lebih dulu ada, diksi yang digunakan oleh UUD NRI Tahun 1945 bukan dengan kata “terdiri atas/dari”.
“Hal ini disadari dengan maksud untuk menghindari pemahaman atau konstruksi hukum daerah- daerah (provinsi atau kabupaten/kota) lebih dulu ada daripada NKRI,” katanya.
Pembagian/pemberian kekuasaan pada konteks otonomi daerah tentu, disampikan Fahri, tidak dapat dimaknai sebagai distribution of power pada kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Provinsi Papua adalah salah satu daerah yang diberikan otonomi khusus untuk mengatur dan mengurus secara mandiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi, meskipun corak otonominya adalah otonomi khusus. Namun konsep dasar pemberian otonomi tersebut adalah tetap dalam kaidah dan pengaturan otonomi daerah (vide Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (7) Jo Pasal 18 B ayat 1 UUD NRI Tahun 1945).
“Otonomi khusus kepada Provinsi Papua diberikan dalam rangka melindungi dan menjunjung harkat martabat, memberi afirmasi, dan melindungi hak dasar Orang Asli Papua, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial-budaya,” paparnya.
Disamping itu bahwa dalam rangka percepatan pembangunan kesejahteraan dan peningkatan kualitas pelayanan publik serta kesinambungan dan keberlanjutan pembangunan di wilayah Papua, Fahri menjelaskan perlu dilakukan upaya untuk melanjutkan dan mengoptimalkan pengelolaan penerimaan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua secara akuntabel, efisien, efektif, transparan, dan tepat sasaran, serta untuk melakukan penguatan penataan daerah provinsi di wilayah Papua sesuai dengan kebutuhan, perkembangan, dan aspirasi masyarakat Papua.
Fahri Bachmid, menekankan bahwa Otonomi khusus dalam pemberian serta pelaksanaannya tetap harus berpedoman pada kerangka hukum yang dibentuk oleh Negara melalui produk hukum berbentuk UU. Ini bermakna bahwa otonomi yang dimiliki dan dijalankan tiap-tiap daerah berada pada koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga tidak timbul kesan adanya power terpisah antara daerah otonom dengan Negara oleh karena konsepsi otonomi tersebut adalah distribution of power, bukan pemisahan kekuasaan dalam arti separation of power.
Bahwa lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (sebelumnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua) adalah perwujudan pengaturan yang utuh dan komprehensif atas otonomi khusus yang diberikan kepada Provinsi Papua.
“UU No.2/2021 memberikan defenisi yang jelas dan terukur yaitu bahwa Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak dasar masyarakat Papua,” jelas Fahri.
Provinsi Papua diberikan Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia secara asimetris (tidak sama dengan daerah lainnya). Konsep desentralisasi asimetris sendiri berkembang dari konsep tentang asymmetric federation yang diperkenalkan oleh Charles Tarlton pada tahun 1965 (Tillin, 2006: 46- 48). Menurut Tillin, terdapat dua jenis asymmetric federation, yakni de facto dan de jure asymmetry. Jenis pertama merujuk pada adanya perbedaan antar daerah dalam hal luas wilayah, potensi ekonomi, budaya dan bahasa, atau perbedaan dalam otonomi, sistem perwakilan atau kewenangan yang timbul karena adanya perbedaan karakteristik tadi.
Sedangkan asimetri kedua merupakan produk konstitusi yang didesain secara sadar untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini berhubungan dengan alokasi kewenangan dalam besaran yang berbeda, atau pemberian otonomi dalam wilayah kebijakan tertentu, kepada daerah tertentu saja.
Fahri menerangkan bahwa gagasan tentang desentralisasi asimetris mestinya tidak dipersepsi sebagai bentuk penyimpangan dari ide dasar desentralisasi negara kesatuan, namun justru dipandang sebagai instrumen untuk memperkuat tujuan desentralisasi yakni menciptakan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan negara, sekaligus memperkokoh struktur demokrasi di tingkat lokal.
Menurut dia, pembangunan demokrasi lokal memiliki probabilitas untuk lebih diperkuat dengan cara mengakui dan mengakomodasikan setiap perbedaan karakteristik, potensi, kebutuhan, dan latar belakang historis masing-masing daerah kedalam sistem kebijakan nasional. Dan mengingat bahwa setiap daerah /wilayah dalam sebuah negara memiliki anatomi dan struktur politik, sosial, maupun kultural yang beragam, maka desain desentralisasi yang berbeda (atau asimetris) menjadi alternatif yang strategis untuk menghindari terjadinya kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat. Itulah sebabnya, baik di negara kesatuan maupun di negara federal pada masa modern sekarang ini.
“Desentralisasi cenderung tidak sekedar dijadikan sebagai strategi politik melalui transfer wewenang/kekuasaan, atau strategi ekonomi melalui perimbangan keuangan dan fiskal,” tutup Fahri Bachmid dihadapan Majelis Hakim Konstitusi.