Faktanews.id - Poros Peduli Indonesia (POPULIS) tetap mendorong Pemilu digelar 2024. Kolompok ini tak ingin hasil amandemen UUD 1945 yang ditandatangi Megawati Soekarnoputri tentang masa jabatan presiden maksimal dua periode tersebut dirusak segelintir orang yang menginginkan Pemilu ditunda.
Koordinator Presiduim Populis, Muhtadin Sabili, mengatakan perintah Konstitusi tersebut tidak boleh dilanggar dan dikhianati oleh siapapun, termasuk Presiden, DPR, Mahkamah Agung, atau Mahkamah Konstitusi. Mengkhianatinya mengakibatkan jabatan presiden selanjutnya dipastikan illegal.
“Karena itu bisa berdampak pada pertanggungjawaban hukum yang berat dan pasti menimbulkan gejolak sosial politik,” ujar Muhtadin saat
konfrensi pers di bilangan Duren Tiga, Jakarta Selatan, Rabu (2/3/2022).
Menurut Sabili, Populis menganggap usulan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden sebagai kudeta konstitusi dan telah mengingkari konstitusi serta azas demokrasi yang disepakati. Itu juga dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara serta akan menghancurkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
“Untuk menjaga konstitusi dan demokrasi yang pada gilirannya akan menghancurkan negara-bangsa yang bertekad mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia,” katanya.
Hal yang sama disampaikan Bursah Zarnubi. Dia mengatakan usulan penundaan Pemilu 2024 yang dilontarkan elite politik PKB, PAN, Golkar telah merobek-robek jantung kehidupan kenegaraan dan kebangsaan kita. Usulan itu membajak atau mengkudeta konstitusi dan menunjukkan perilaku abuse of power.
“Sekaligus memperlihatkan ketidaktahuan serta ketidakpedulian mereka mengenai pentingnya ketaatan dan kepatuhan pada Konstitusi sebagai kontrak sosial,” ucap Bursah.
Menurut Bursah, pihaknya akan terus menolak penundaan Pemilu. Populis akan terus berjuang bersama partai politik dan ormas-ormas keagaam lainnya untuk menolak penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
“Sebagai Civil Society, kita ucapakan terima kasih dan mendukung sikap PDI Perjuangan, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Nasdem, Partai Ummat, Partai Gerindra, Ormas Muhammadiyah dan lainnya, Kalangan Kampus, LSM, Ormas-Ormas Kepemudaan, Organisasi Mahasiswa, Kalangan Intelektual, Tokoh Masyarakat, dan masyarakat sipil lainnya yang konsisten dan amanah menolak penundaan Pemilu. Dengan demikian tidak ada opsi penundaan Pemilu dan atau perpanjangan masa jabatan Presiden,” tegas Bursah.
Bursah menyampaikan, usulan penundaan pemilu dapat dikatakan sebagai “Kudeta konstitusi” atau Constitutional Coup, yaitu “tindakan mengubah konstitusi untuk melanggengkan kekuasaan, yang sebelumnya dibatasi oleh Konstitusi”. Kudeta Konstitusi ini, tambah dia, sangat berbahaya karena merusak sistem ketatanegaraan dan menghancurkan konsolidasi demokrasi akibat keserakahan nafsu kekuasaan oleh segelintir elite Politik dan oligarki, yang pada gilirannya menjerumuskan Presiden Jokowi ke dalam krisis politik dan krisis legitimasi.
“Penundaan pemilu tersebut menjadi preseden buruk karena bisa menjadi acuan Presiden berikutnya untuk dengan mudah mengubah konstitusi sesuai dengan kepentingan kelompok/golongannya sehingga membuat demokrasi kita makin sulit dikonsolidasi, yang pada gilirannya membuat kerusakan kehidupan berbangsa bertambah parah dan menjerumuskan bangsa kita ke dalam jebakan negara gagal (failed state),” pungkasnya.
Untuk diketahui, sejumlah anggota Populis hadir pada konfrensi pers tersebut. Mereka adalah Ahmad Nawawi, Korneles Galanjinjinay, Ariady Achmad, Anthony Budiawan, Herdi Sahrasad, Umar Husen, Muhammad Gamari Sutrisno dan Sayuti Asyathri.