-->
    |

Pemolisian Terorisme Menghadapi Perkembangan Ideologi Kekerasan

Faktanews.id - Terorisme merupakan satu terma yang popular di abad 21 ini, terutama pasca terjadi serangan terorisme kepada Menara Kembar WTC dan pusat pertahanan Amerika Serikat, Pentagon di Washington Dc. Pasca tragedi WTC, pemerintah Amerika Serikat menyusun kebijakan nasional Global War on Terrorism, yang diikuti dengan kerjasama global dalam menumpas organisasi dan jaringan terorisme di berbagai belahan dunia. 

Negara kita, Indonesia juga terkena dampak dari kebijakan global terorisme tersebut. Setelah terjadi serangan WTC, obyek sasaran terorisme adalah pada Bali, dengan para pelaku yang kemudian dikenal dengan tokoh-tokoh dari organisasi Jamaah Islamiyyah, setelah pihak Polri melakukan penyelidikan Bom Bali dengan menggunakan scientific crime investigations. 

Keberhasilan Polri dalam mengungkap kasus Bom Bali yang membawa korban jiwa yang cukup banyak itu, berkat dukungan dan bantuan investigasi dari Kepolisian Negara-nagara sahabat, seperti Australia, Amerika dan lainnya.

Secara umum terorisme dikaitkan dengan tindakan teror yang bermotif politik dengan membuat sasaran merasakan ketakutan massal akibat aksi terorisme yang dilakukan. Terorisme selalu dikaitkan dengan kekerasan yang bermotif ideologi. Berdasarkan motif ideology yang membolehkan kekerasan didalam aksinya, maka di dalam masyarakat dan Negara yang lemah dan kurang terjamin perlindungan keamanan dan keselamatan masyarakatnya, maka dapat menjadi pemicu munculnya intoleransi, radikalisme dan terorisme. 

Perhatian utama kita dalam mengawasi dan menangggulangi terjadinya terorisme pada daerah-daerah yang mempunyai sejarah dan record conflik baik konflik etnis, agama dan kekerasan politik.

Di Indonesia awal mula munculnya radikalisme dan terorisme dilatari oleh konflik ideology antara nasionalisme dan agama. Bagi para pejuang atau elite pendiri bangsa yang berhaluan nasionalis, seperti Bung Karno dan Bung Hatta bahwa dalam tipologi masyarakat plural Indonesia, maka ideologi terbuka, Pancasila dengan kelima silanya merupakan pandangan ideologis yang tepat. 

Sedangkan bagi Kartosuwirjo dan kawan-kawannya pada awal Republik ini berdiri menginginkan Negara berdasarkan pada sistem Syariah, sesuai agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia. Saat ini banyak sekali pertentangan dan konflik yang merupakan dampak dari persinggungan dan praktek sosial politik, yang mana kalau kurang cepat di atasi oleh aparat berwewenang, akan berujung pada munculnya konflik, dan radikalisme dan terorisme.

Perkembangan dan tren terorisme pada era Pandemi dua tahunan terakhir ini masih terus menghadirkan aksi-aksi kekerasan dengan menyasar sarana publik (fasilitas umum), kantor pemerintah, kedutaan dan lembaga-lembaga asing serta institusi/lembaga keamanan dan pertahanan. Bom di Sarinah, Bom di Makassar, Surabaya dan daerah-daerah selalu dilakukan oleh jaringan terorisme baru seperti JAT, JAD, NII Baru,lone wolf dan sel-sel kecil di daerah. 

Jaringan dan organisasi radikalisme dan terorisme di Indonesia sangat banyak, tetapi tujuan, target dan ideologinya memiliki kemiripan satu dengan lainnya. Bahkan menurut Tempo (5/12/2021), selama kita menghadapi Covid19, terjadi metamorphosis organisasi Jamaah Islamiyah (JI), sel utama terorisme Asia Tenggara yang bertanggung jawab atas tragedy Bom Bali tahun 2002. Konsolidasi JI Pandemi ini berhasil dengan mengubah pola aksi dengan menggalang pendanaan dari sumbangan dan Fai’.

Gerakan-gerakan fundamentalisme muncul sebagai reaksi terhadap ideologi sekuler yang mengancam agama. Kaum fundamentalis mengabaikan ajaran agama yang toleran, komprehensif dan mengajarkan kasih sayang sesama manusia, tetapi mengutamakan kebencian, kemarahan dan dendam. Secara geopolitik, fundamentalisme berakar pada pertarungan ideologi antara agama dan komunisme pada era perang dingin (cold war). 

Pada masa terjadinya Arab Spring di Timur Tengah, terjadi banyak konflik kekerasan yang disebabkan oleh konflik antara berbagai elemen masyarakat yang berhadapan dengan pemerintah. Sayangnya konflik intra state di Timteng banyak dipengaruhi oleh perkembangan lingkungan strategis global dan kawasan. Perkembangan radikalisme dan terorisme, seperti perkembangan ISIS dipicu oleh masalah-masalah konflik tersebut,
 
Pemolisian Terorisme

Untuk menanggulangi radikalisme dan terorisme memang tidak mudah, karena pandangan ideology kekerasan yang dianut para teroris membuat sulit menghilangkan terorisme. Bagi kalangan aparatur Kepolisian yang diberikan wewenang oleh Undang-Undang (UU No 5 Tahun 2018) untuk menanggulangi terorisme dengan menggunakan sistem hukum nasional yang dianut. 

Dan secara khusus UU Tindak pidana terorisme  telah mengubah arah mengatasi ancaman terorisme dengan menggunakan pendekatan hukum, pendekatan deradikalisasi, dan pencegahan terorisme.

Kita patut mendukung langkah strategis yang diambil oleh Mabes Polri Khususnya Densus 88 AT Polri untuk meningkatkan peran Kepolisian dalam menangkal ideology radikal karena faktor utama radikalisme adalah karena adanya ideology kekerasan yang menjadi unsur keyakinan kelompok radikal tersebut. 

Upaya mengubah ideology radikal yang mereka yakini tidak mudah, oleh karena itu memerlukan program jangka menengah dan jangka panjang.

Mencermati akar terorisme di atas, maka fokus pemolisian terorisme pada upaya menangkal segala bentuk ideology radikal baik yang berasal dari fundamentalisme agama maupun non agama (ekstrim kiri). Kebangkitan komunisme misalnya menjadi pemicu respon agama. Sebaliknya kemenangan kaum kapitalis global, menjadi pemicu perlawanan kaum kini maupun ekstrim kanan. Gejala ini juga muncul dengan tren ancaman terorisme transnasional, seperti ISIS dan Al Qaeda di Indonesia. 

Problem lain dalam perkembangan organisasi radikalisme dan terorisme adalah mulai munculnya aktor atau teroris yang berasal dari kalangan perempuan. Hal ini membutuhkan peran penanganan yang spesifik, agar dapat dikendalikan penyebaran ideology kekerasan pada kalangan perempuan. Sebagian kasus keterlibatan perempuan dalam terorisme karena didukung oleh laki-laki yang umumnya sebagai pelaku terorisme.

Pada dasarnya Polri memegang peran utama dalam penanggulangan terorisme di Indonesia. Payung hukum menghadapi ancaman terorisme sangat kuat, yaitu UU No 5 Tahun 2018 yang memasukkan unsur deradikalisasi dan early detection terhadap perkembangan radikalisme/terorisme. 

Karena posisi Polri penting dalam penegakkan hukum dan ketertiban dalam soal terorisme, maka polisi tak hanya mengandalkan peran Densus 88 AT Polri dan Brimob saja, tetapi perlu bekerjasama dengan unsur kepolisian umum, terutama Babinkamtibmas dan peran Polwan didalamnya.

Kehadiran Polwan penting mengingat adanya peran kaum perempuan dalam aksi terorisme, meskipun perempuan banyak digunakan sebagai obyek aksi terorisme. Saya yakin naluri dan sikap dasar perempuan cenderung anti kekerasan dan mengedepankan nilai keibuan yang harmoni, dengan ketekunan dan disiplin tinggi. Policing terrorism diperlukan agar menjadi bagian dari upaya transformasi Polri secara umum guna dapat mengendalikan kejahatan dengan prinsip hukum yang humanis. 

Pendekatan kemanusiaan dalam kontra radikalisasi di Indonesia perlu dilakukan dengan mengatasi faktor-faktor pemicu lahir dan tumbuhnya terorisme yakni masalah urbanisasi, kemiskinan, pendidikan yang lemah dan krisis sosial.

​Karena ancaman terorisme ada disekitar kita, maka mau tidak mau Polri harus membangun komunikasi dan deteksi dini semaksimal mungkin dengan mengedepankan prinsip hukum, dan pemolisian yang demokratis serta humanistik. 

Oleh: Melda Yanny, S.I.K., M.H.

(Mahasiswi Doktoral Ilmu kepolisian STIK-PTIK Angkatan ke-7) 
Komentar Anda

Berita Terkini