Faktanews.id - Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) mendorong agar Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Pemerintah membuat Undang-undang secara khusus yang mengatur perubahan iklim. Keputusan ini disepakati peserta dalam Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah yang dilaksanakan di Gedung Serbaguna (GSG) Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung, dilansir dari nu.or.id, Kamis (23/12/2021).
“Hendaknya diterbitkan landasan hukum yang lebih kuat mengenai kelembagaan dan tata laksana penanganan perubahan iklim yang lebih menyeluruh berupa Undang-undang tentang Perubahan Iklim,” bunyi rekomendasi dalam draf Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah.
UU tersebut perlu melibatkan berbagai pihak dan memuat langkah rencana aksi, mobilisasi pendanaan, sampai dengan pemantauan atas capaiannya, sehingga keberlanjutan kehidupan generasi mendatang terjaga dan lestari.
Urgensi UU tersebut mengingat perlunya Pemerintah menjaga agar laju emisi gas rumah kaca (GRK) tahunannya berada pada tingkat 1% untuk mencapai target unconditional scenario dengan berbagai kebijakan dan langkah strategis serta regulasinya. Hal tersebut agar mampu berkontribusi pada upaya membatasi pemanasan global kurang dari 1.5 derajat Celcius.
UU tersebut juga penting guna memenuhi target terwujudnya puncak emisi GRK nasional pada periode implementasi NDC (tahun 2020-2030) sehingga Pemerintah hendaknya menggeser “beban” sektor kehutanan pada sektor energi dalam NDC Indonesia. Hal itu akan menjadikan upaya yang lebih besar dalam pengendalian perubahan iklim menjadi rasional.
Di sisi lain, Pemerintah juga perlu terus merestorasi ekosistem hutan sebab akan memberikan manfaat pada masyarakat, antara lain menjaga keanekaragaman hayati, menjaga dan memperbaiki sumber daya alam serta jasa lingkungan.
Lebih lanjut, usulan pembentukan UU tentang Perubahan Iklim ini juga dilandasi perlunya landasan hukum yang lebih kuat dalam mengatasi isu tersebut.
Sebab, landasan hukum saat ini lebih bersifat pada arahan operasional dalam penanganan perubahan iklim dengan adanya adopsi perjanjian perubahan iklim dan arahan perlunya respons penanganan perubahan iklim dalam UU 32/2009, UU 31/2009, dan PP 46/2016. Selain itu, regulasi yang ada masih belum memfokuskan kepada perubahan dan penanganan iklim.
Anggota Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah KH Saifullah Ma’shum menjelaskan bahwa perubahan iklim tidak boleh dianggap enteng. Adanya 18 regulasi di semua tingkatan, baik nasional maupun internasional, belum cukup efektif menghindarkan Negeri Zamrud Khatulistiwa ini dari bahaya bencana perubahan iklim.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama (JQHNU) itu menegaskan perlunya koordinasi dan konsistensi semua pihak dalam menerapkan setiap kebijakan dan menerjemahkannya dengan regulasi-regulasi yang ada di bawahnya.
Sebab, perubahan iklim yang tidak disikapi secara serius akan memberikan dampak negatif yang besar bagi semua pihak, khususnya para petani yang bekerja dengan mengandalkan faktor alam.
Perjuangan NU untuk memperhatikan perubahan iklim ini sudah dilakukan sejak dahulu. Dalam catatan sejarah, pelestarian lingkungan sudah dibahas sejak Muktamar Ke-28 di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta tahun 1989 dan Muktamar Ke-29 NU di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat tahun 1994. Upaya ini disebut dengan istilah jihad lingkungan. Hal ini disampaikan oleh perwakilan dari Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah.
Ia juga menegaskan bahwa penting untuk memasukkan landasan Maqashidus Syariah, tujuan ditetapkannya syariat, yakni menjaga agama, menjaga diri, menjaga akal, menjaga harta, menjaga harga diri, hingga menjaga lingkungan (hifdzul biah).