-->
    |

Syamsuddin Radjab: Oligarki Harus Dilawan

Faktanews.id - Situsasi Indonesia dalam kondisi bahaya dan karut marut karena dilanda krisis multidimensi. Oligarki adalah penyebabnya karena para elit tengah membajak demokrasi ke arah yang sangat membahayakan masa depan bangsa ini. 

Direktur eksekutif Jenggala Center, Syamsuddin Radjab mengatakan, oligaki tak bisa dibiarkan tumbuh subur di negara ini. Semua pihak, terutama kaum intelektual dan aktivis, harus menyampaikan ide, sudut pandang dan solusi untuk membendung pembajakan demokrasi yang dilakukan para elit.

"Itu penting menurut saya, karena suatu ide baik sekalipun kalau dia tidak diperjuangkan, karena kadang-kadang negara atau pemerintah, mengabaikan atau lalai terhadap tanggungjawabnya untuk membangun negara ini sendiri menjadi negara yang adil, sejahtera dan makmur. Bahkan cenderung kekuasaanya digunakan untuk mengeksploitasi rakyatnya untuk kepentingan pribadi, dan oligarki. Termasuk era sekarang ini, dan ini harus dilawan," ujar Syamsuddin Radjab.

Hal tersebut disampaikan Syamsuddin saat menjadi narasumber diskusi bertema "Aktvis dan Humum" yang diinisiasi media Tribun Timur dan Tribun Network secara virtual, Sabtu (12/11/2021). Menurutnya, kaum intlektual dan aktivis harus duduk bersama menyamakan persepsi dan mengkosilidasi semua kekuatan, untuk menemukan solusi dalam rangka menghadang pergerakan oligarki tumbuh subur di negara ini. 

"Karena itu, dunia aktivisme itu adalah dunia gerakan, gerakan untuk menginginkan sesuatu dan dengan ideologi-ideologi yang dia yakini untuk itu dia diwujudkan. Jadi dia masuk dalam kerangka yang sangat idealitas di dalam pikiran yang ingin diwujudkan di dalam kenyataan," tutur mantan Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) ini. 

Menurut Syamsuddin, aktivis jangan hanya mengandalkan pergerakan. Pergerakan tidak akan berarti jika tidak diimbangi dengan pengatahuan (knowledge). Pergerakan dan pengetahuan sama-sama penting dalam dunia aktivisme.

"Kita tidak menemukan definisi jelas soal aktivis tetapi secara simple saya mengatakan bahwa aktivis itu adalah sosok yang pada dirinya selalu bergerak dan bergerak. Bergerak tentu tidak saja seperti hanya melangkah tetapi di dalamnya ada pikiran dan ide yang dibawa dalam setiap melangkah. Dan pikiran itu tentu saja ingin diwujudkan," papar dia. 

Syamsuddin kemudian meceritakan hal ikhwal dirinya memasuki dunia aktivis. Dia menyampaikan bahwa dirinya sudah memasuki dunia aktivis sejak dirinya masih berusia remaja. Dimulai sejak mengenyam pendikan SMP dan SMA, Syamsuddin sudah menjadi Ketua Umum Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) di Sulawaesi Selatan. Syamsuddin juga mengaku pernah menyandang status tersangka di Polrestabes Makasar karena melakukan aksi demonstrasi. 

"Saya  memang aktif di organisasi, ketika SMP-SMA di Ikatan Pelajar Muhammadiyah dan menjadi ketua umum IPM Muhammadiyah di Makasar 1992-1993. Kalau semacaman di lingkungan Pesantren itu semacam ketua OSIS levelnya. Ketika saya jadi ketua ada banyak catatan sejarah yang bisa ditanyakan ke alumni-alumni atau aktivis Muhammadiyah di Sulsel, kecil-kecilaan ada pemberontakan kaum santri di masa saya dan itu griliya yang dipakai karena saya waktu SMA itu sudah jadi tersangka oleh Polresta Makasar. Tapi tidak ditahan karena dilingkup pesantren tapi kalau pemeriksaan saya selalu datang ke Makasar di Polrestabes itu," cerita dia.

Setelah lukus SMA, Syamsuddin melanjutkan pendidikannya di kampus UIN Alauddin Makasar. Dan sebelum memutuskan kuliah di UIN Allauddin Maksar, dia sempat mengikuti tes untuk kuliah di Timur Tengah, Kuwait. Namun, menjadi salah satu mahasiswa di Kuwait tersebut tidak terwujud karena persyaran bagi Syamsuddin terlalu berat. 

"Saya dulu hampir sekolah di Kuwait. Jadi ada pengiriman untuk studi pelajar di Timur Tengah tapi karena syarat-syaratnya berat mungkin kita dinilai nakal ini "Ollenk" sebutan Syamsuddin Radjab, juga kalau dikirim enggak berhasil karena tidak jadi berangkat saya memutuskan ya sudah engggak usah kuliah. Waktu itu sudah hampir mau lari ke Jawa cuma orang tua mencegah. ya sudah kuliah di sini, di IAIN Alauddin Makasar (Sakarang UIN Alauddin Makasar). Jadi saya off satu tahuj, baru masuk (kuliah)," katanya.

Mendaftar sebagai calon mahasiswa baru, Syamsuddin menceritakan tidak ikut mengurus pendaftaran. Yang mendatarkan dirinya sebagai calon mahasiswa baru di UIN Alauddin adalah teman-temannya semasa di IPM.

"Begitu masuk di UIN karena anggota saya yang dulu waktu jadi ketum IPM anggoota saya yang duluan mahasiswa mereka inilah yang ngurus sana-sini pendaftaran saya. Kalau kamu mau lihat saya kuliah, kamu ambilkan formulir pendaftaran. Jadi saya didaftarkan oleh mereka. Memang sudah ada pasukan saya di UIN sebelum masuk. Jadi sebelum invasi sudah ada infiltrasi. Jadi saya masuklah kuliah," kenang bapak dari satu anak ini. 

Syamsuddin ternyata sudah rajin membaca buku-buku sosial, politik, dan kepemimpinan sejak dia masih mengenyam pendidikan SMP dan SMA. Bahkan dia memiliki koleksi 300 judul buku. Dari sekian banyak yang terpajang di kamar pribadinya, Syamsuddin mengaku senang membaca buku berjudul "Cara Kudeta yang Efektif". 

"Saya SMA sudah punya koleksi buki 300 (judul). Masa-masa itu kalau tidur ya tidur dengan buku , pada masa tertentu ya. Kemudian masuk UIN dan semester 3 saya sudah jadi Ketua Umum senat fakultas. Waktu itu Ketua Umum Senat termudah se Indonesia. Dan semester 5 sudah jadi Ketua Umum Senat Universitas walaupun tidak diakui oleh Rektorat. Tidak diakui tapi saya diberi fasilitas sendiri, karena saya 1997-1998, sejak Ketum Fakultas dan Univesritas jadi suasana dinamisnya secara eksternal menarik dari sisi isu-isu politik, politik kekuasaan sehingga harus kita terjun langsung memanag mahasiswa dan gerakan-gerakan lainnya," ucap Syamsuddin. 

Syamsuddin bahkan mengklaim bahwa gerakan mahasiswa yang membludak di seluruh Indonesia pada 1997 dimulai dari aktivis Mahasiswa Makasar. Isu yang disorot Syamsuddin Radjab dan teman-temannya adalah soal kematian anak salah satu dosen di kampus UIN Alauddin Makasar dan menyuarakan isu reformasi. 

"Jakarta ini belum ada gerakan-gerakan tahun 1997 itu. Jadi menurut saya yang menjadi pioner gerakan mahasiswa sejak 1997 di Makasar. Itu kasus terbunuhnya salah seorang anak dosen UIN. Jadi Jakarta beluk bunyi dan Makasar sudah bunyi untuk menyuarakan reformasi. Reformasi itulah total seluruh mahasiswa tertuatama di UIN dibawah komanda saya dalam gerakan dan itu kita intensif untuk komunikasi aktivis lintas kampus lain, yang biasanya pada malam hari itu kita konsolidasi, rapat-rapat untuk persiapan aksi di kampus masing-masing, ketemu di satu titik, rute-rutenya juga sudah ditentukan," katanya. 

Nama Syamsuddin kemudian cukup populer di dunia aktivis dan pergerakan mahasiswa. Sebab, selain menjadi Ketua Umum Senat UIN Alauddin, Syamsuddin juga aktif di organiasasi ekstra kampus, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

"Saya masuk HMI dari IPM itu karena pertimbangan politik strategis. Waktu itu UIN itu yang menguasi adalah HMI. Jadi tanpa mengubah strategi kepentingan taktis itu seperti itu, harus kita berbaur dengan kolompok mayoritas untuk menajdi bagian dari kekuasaan," tukasnya.
  
Kemudian setelah dinyatakan lulos dan menjadi Sarjana, Syamsuddin menjadi dosen di kampus tempat dia mengenyam pendidikan S1. Namun, dia tidak meninggalkan dunia aktivismenya. Dia terus mendukung aktifitas mahasiswanya yang kerap menyelenggarakan training basic kepemimpinan. Terbukti, gaji Syamsuddin sebagai dosen, diserahkan kepada mahasiswanya.  

"Pada saat jadi dosen,semua gaji belum transfer, diambil di bagian keuangan. Saya malas antri. Itu 3 tahun kalau tidak salah. waktu itu sistem penggajiannya harus diambil di bagian keuangan. 3 tahun tidak pernah ambil gaji, saya suruh aktivis-aktivis mahasiswa itu ambil gaji. Mereka pakai sendiri. Kalau ada kegiatan-kegiatan mereka misalnya basic training itu ke koperasi ambil, kadang-kadang sebut pasworf nama saya kadang-kadang koperasi ngasih ini, ngasih itu. karena seperti itu mekanismenya saya pikir saya bukan kaya raya, itu uang ada hak orang lain juga. Itu untuk kepentingan ummatlah," tutur dia sambil tertawa.

Syamsuddin kemudian menyarankan mahasiswa tidak hanya fokus pada mata kuliah kampus. Tapi, semua hal harus dipelajari, termasuk ilmu yang ada di organisasi ekstra kampus. Sebab, katanya, ada perbedaan ilmu yang bisa didapat bagi mahasiswa yang aktif di organisasi ekstra kampus dan di dalam ruangan kuliah.
  
"Ada perbedaan, kelau di Perguruan Tinggi itu lebih menekankan pada knowledge. Jadi, pendidikan pengajaran. Kalau di aktivisme itu titik tekannya pada pendidikannya, terutama pendidikan karakter, mentalistas, solidaritas dan juga pikiran-pikiran progresif. Bagaimana komitmen, konsistensi dibangun dengan integritas diri masig-masing itu ditanamkan dengan pikirkan yang mendalam, mungkin dianggap satu ideologi dan itu gunakan sebagai pijakan gerakan-geraka, perubahan-perubahan nasional. Apalagi memang lingkupnya, karena sering ketemu pagi, siang dan malam, ya akhirnya mengikat secara sikap terbangun solidatitasnya," paparnya.

Contohnya, kata Syamsuddin, jika ada salah satu aktivis yang ditangkap polisi karena melakukan aksi demonstrasi, maka aktivis lain tidak akan diam. Aktivis yang tidak ditangkap tersebut menggap bahwa dirinya menjadi bagian dari aktivis yang ditangkap tersebut. Itu adalah bentuk solidaritas dan komitmen dari sesama aktivis pergerakan.   

"Jadi bangunan ini tidak ada di kolompok-kolompok mahasiswa biasa yang hanya sekedar kuliah di kampus tapi tdk membangun kesamaan-kesamaan cara pandang atau visi dari banyak isu-isu yang ada di Indonesia. Itu penting menurut saya, karena suatu ide baik sekalipun kalau dia tidak diperjuangkan, karena kadang-kadang negara atau pemerintah, mengabaikan atau lalai terhadap tanggungjawabnya untuk membangun negara ini sendiri menjadi negara yang adil, sejahtera dan makmur. Bahkan cenderung kekuasaanya digunakan untuk mengeksploitasi rakyatnya untuk kepentingan pribadi, dan oligarki. termasuk era sekarang ini, dan ini harus dilawan," tutup Syamsuddin Radjab. (RTH)


Komentar Anda

Berita Terkini