-->
    |

Setelah Yusril Bela Kader Demokrat Gugat AD/ART ke MA, SBY Bicara Kemungkinan Hukum Bisa Dibeli

Sumber foto sindonews.com

Faktanews.id - Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berbicara kemungkinan soal hukum bisa dibeli, bukan untuk keadilan.


“Money can buy many things, but not everything. Mungkin hukum bisa dibeli, tapi tidak untuk keadilan. Sungguhpun saya masih percaya pada integritas para penegak hukum, berjuanglah agar hukum tidak berjarak dengan keadilan. *SBY*” ujar SBY.

Hal tersebut disampaikan SBY melalui akun twitrernya @SBYudhoyono dilihat pada Senin (28/9/2021). Namun, SBY tak menjelaskan panjang lebar maksud konteks cuitannya tersebut.

Hanya saja, pernyataan SBY ini setelah pengacara kondang Yusril Ihza Mahendra dan dan Yuri Kemal Fadlullah melalui kantor hukum mereka Ihza&Ihza Laq Firm SCBD-Bali Office menggugat AD/ART Demokrat era AHY ke Mahkamah Agung. 

Ada empat kader Demokrat yang dipecat Agus Harimirti Yudhoyono yang dibela Yusril. Mereka adalah eks Ketua DPC Demokrat Ngawi Muhammad Isnaini Widodo, eks Ketua DPC Demokrat Bantul Nur Rakhmat Juli Purwanto, Eks Ketua DPC Demokrat Kabupaten Tegal, Ayu Palaretins dan Eks Ketua DPC Demokrat Kabupaten Samosir Binsar Trisakti Sinaga.

“Judicial Review dimaksud meliputi pengujian formil dan materil terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/RT) Partai Demokrat Tahun 2020 yang telah disahkan Menkumham tanggal 18 Mei 2020. Oleh karena AD/ART sebuah parpol baru dinyatakan sah dan belaku setelah disahkan Menkumham, maka Termohon dalam perkara pengujian AD/ART Partai Demokrat Menteri Hukum dan HAM,” ujar Yusril kepada wartawan, Kamis (23/9/2021).

Yusril dan Yuri mengatakan bahwa langkah menguji formil dan materil AD/ART Parpol merupakan hal baru dalam hukum Indonesia. Keduanya mendalilkan bahwa Mahkamah Agung berwenang untuk menguji AD/ART Parpol karena AD/ART dibuat oleh sebuah parpol atas perintah UU dan delegasi yang diberikan UU Papol. 

“Nah, kalau AD/ART Parpol itu ternyata prosedur pembentukannya dan materi pengaturannya ternyata bertentangan dengan undang-undang, bahkan bertentangan dengan UUD 1945, maka lembaga apa yang berwenang untuk menguji dan membatalkannya?,” katanya. 

Yusril menyebut ada kevakuman hukum untuk menyelesaikan persoalan di atas. Mahkamah Partai yang merupakan quasi peradilan internal partai, tidak berwenang menguji AD/ARD. Begitu juga Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili perselisihan internal parpol yang tidak dapat diselesaikan oleh Mahkamah Partai, tidak berwenang menguji AD/ART. Pengadilan TUN juga tidak berwenang mengadili hal itu karena kewenangannya hanya untuk mengadili sengketa atas putusan tata usaha negara. 

“Karena itu saya menyusun argumen — yang Insya Allah cukup meyakinkan — dan dikuatkan dengan pendapat para Ahli Hukum antara lain Dr. Hamid Awaludin, Prof Dr Abdul Gani Abdullah dan Ahli Hukum Tata Negara dan Konstitusi Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. yang pada hakikatnya bahwa harus ada lembaga yang berwenang menguji AD/ART untuk memastikan apakah prosedur pembentukannya dan materi muatannya sesuai dengan UU atau tidak. Sebab penyusunan AD/ART tidaklah sembarangan karena dia dibentuk atas dasar perintah dan pendelegasian wewenang yang diberikan oleh UU,” tukas Yusril. 

Yusril dan Yuri mengatakan bahwa kedudukan Parpol sangatlah mendasar dalam kehidupan demokrasi dan penyelenggaraan negara kita. Ada 6 (enam) kali kata partai politik disebutkan di dalam UUD 1945. Ada puluhan kali partai politik disebut di dalam UU, bahkan ada UU khusus yang mengatur partai politik, seperti yang sekarang berlaku yakni UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dengan perubahan-perubahannya.

“Lembaga-lembaga seperti Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi malah tidak satu kalipun disebut di dalam UUD 1945,” tandas Yusril.

Di dalam UUD 1945 disebutkan, kata Yusril, antara lain bahwa hanya partai politik yang boleh ikut dalam Pemilu Legislatif (Pileg), hanya partai politik yang boleh mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. Usai Pemilu, fraksi-fraksi partai politik memainkan peranan besar dalam mengajukan dan membahas RUU, membahas calon duta besar, Panglima TNI dan Kapolri, Gubernur BI, BPK, KPK dan seterusnya. Di daerah, lanjut dia, sebelum ada calon independen, hanya partai politik yang bisa mencalonkan Kepala Daerah dan Wakilnya. 

“Begitu partai politik didirikan dan disahkan, partai tersebut tidak bisa dibubarkan oleh siapapun, termasuk oleh Presiden. Partai politik hanya bisa dibubarkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi,” bebernya. 

“Nah, mengingat peran partai yang begitu besar dalam kehidupan demokrasi dan penyelenggaraan negara, bisakah sebuah partai sesuka hatinya membuat AD/ART? Apakah kita harus membiarkan sebuah partai bercorak oligarkis dan monolitik, bahkan cenderung diktator, padahal partai adalah instrumen penting dalam penyelenggaraan negara dan demokrasi? Jangan pula dilupakan bahwa partai-partai yang punya wakil di DPR RI itu juga mendapat bantuan keuangan yang berasal dari APBN yang berarti dibiayai dengan uang rakyat. Saya berpendapat jangan ada partai yang dibentuk dan dikelola “suka-suka” oleh para pendiri atau tokoh-tokoh penting di dalamnya yang dilegitimasi oleh AD/ARTnya yang ternyata bertentangan dengan undang-undang dan bahkan UUD 1945,” tambah Yusril.

Dijelaskan Yusril, Mahkamah Agung harus melakukan terobosan hukum untuk memeriksa, mengadili dan pemutus apakah AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 bertentangan dengan UU atau tidak? Apakah perubahan AD/ART dan pembentukan AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 telah sesuai dengan prosedur yang diatur oleh UU atau tidak? Apakah materi pengaturannya, seperti kewenangan Majelis Tinggi yang begitu besar dalam Partai Demokrat, sesuai tidak dengan asas kedaulatan anggota sebagaimana diatur dalam UU Partai Politik? 

“Apakah wewenang Mahkamah Partai dalam AD/ART yang putusannya hanya bersifat rekomendasi, bukan putusan yang final dan mengikat sesuai tidak dengan UU Partai Politik? Apakah keinginan 2/3 cabang Partai Demokrat yang meminta supaya dilaksanakan KLB baru bisa dilaksanakan jika Majelis Tinggi setuju, sesuai dengan asas kedaulatan anggota dan demokrasi yang diatur oleh UU Parpol atau tidak? Demikian seterusnya sebagaimana kami kemukakan dalam permohonan uji formil dan materil ke MA,” jelas Yusril.

Yusril menyampaikan Menteri Hukum dan HAM memang diberi kewenangan untuk mensahkan AD/ART partai politik ketika partai itu didirikan dan mengesahkan perubahan-perubahannya. Namun sebagai pejabat yang hanya bertugas untuk mengesahkan, Menteri Hukum dan HAM biasanya dalam posisi “tidak enak” untuk memeriksa terlalu jauh materi pengaturan AD/ART partai politik yang diajukan kepadanya. Apalagi menteri tersebut juga berasal dari partai politik tertentu. 

Menkumham, menurut Yusril, tidak boleh punya kepentingan terhadap AD/ART sebuah partai yang diminta untuk disahkan. Jadi urusan prosedur pembentukan dan materi pengaturannya memang lebih baik diuji formil dan materil oleh MA. Sehingga jika seandainya MA memutuskan AD/ART itu bertentangan dengan UU, maka Menkumham sebagai Termohon tinggal melaksanakan saja amar putusan MA, dengan mencabut Keputusan Pengesahan AD/ART partai tersebut.

“Kami berpendapat bahwa pengujian AD/ART Partai Demokrat ke MA ini sangat  penting dalam membangun demokrasi yang sehat di negara kita. Bisa saja esok lusa akan ada anggota partai lain yang tidak puas dengan AD/ARTnya yang mengajukan uji formil dan materil ke MA. Silahkan saja. Sebagai advokat, kami bekerja secara profesional sebagai salah satu unsur penegak hukum di negara ini sesuai ketentuan UU Advokat. Bahwa ada kubu-kubu tertentu di Partai Demokrat yang sedang bertikai, kami tidak mencampuri urusan itu. Urusan politik adalah urusan internal Partai Demokrat. Kami fokus kepada persoalan hukum yang dibawa kepada kami untuk ditangani,” tutup pakar hukum tata negara ini. (MIF)
Komentar Anda

Berita Terkini