Faktanews.id - Minggu ini, beberapa kali saya ditelp dari keluarga di kampung. Nenek sakit parah. Nama saya beberapa kali beliau sebut, dan beliau minta untuk pulang.
Semua anak-anaknya (bude dan pakde), termasuk ibu saya, kumpul di rumah nenek. Menuntun kalimat thayyibah dan bacaan Surat Yasin.
Sakitnya orang sudah lanjut usia. Sudah di atas 90 tahun. Bebarapa hari ini tidak bisa masuk makanan. Sempat diinfus seharian tapi minta dicopot. Posisi sekarang sudah tidak bisa bicara lagi. Tetap berharap beliau sembuh, dan Allah berikan yang terbaik.
Rabu, 23 Juni 2021 aku putuskan untuk pulang kampung. Jam 04.00 dari Jakarta, sampai di Jepara jam 11.00. Jalan santai. Sempat istirahat tiga kali di rest area: shalat subuh, shalat dhuha, dan ke toilet.
Semula sempat berpikir mau menggunakan transportasi umum. Naik pesawat atau kereta. Tapi masih satu jam jarak bandara dan stasiun ke kampung. Gak efisien juga. Sempat nanya agen bus umum. Seat untuk satu orang habis. Tersisa seat untuk dua orang. Was-was! Khawatir penumpang sebelah positif covid. Horor!
Akhirnya, bawa kendaraan pribadi. Ini rasa-rasanya lebih aman. Tak ada pilihan lain.
Sampai di kampung, memang benar, kondisi nenek memburuk. Anak-anak yang tinggal di berbagai kota datang, setia nungguin, khawatir itu hari terakhir nenek. Semoga mereka jadi anak shaleh shalehah.
Rencana di kampung empat hari. Sabtu baru balik ke Jakarta. Tapi situasi covid di kampung luar biasa. Setiap hari ada yang meninggal, meski tidak semuanya diklaim Covid. Karena mayoritas tidak dites.
Ngobrol dengan beberapa tetangga, mereka cerita pernah mati pengecap dan penciumannya. Tapi, mereka tak kenal isolasi. Seperti kehidupan yang normal saja, setiap hari mereka ketemu satu dengan yang lain. Bergaul dan ngobrol di pasar, di jalan, di sawah, dan di warung kopi. Tanpa jarak dan tanpa masker. Bahkan ada yang nyeletuk: kalau di kampung ini ada tes covid, mungkin ada kali 50 persen yang terinveksi. Waduh!
Kebetulan, bulek (bibik) saya 1000 hari lalu meninggal. Rabu malam ada acara baca Tahlil di rumahnya. Ini tradisi turun temurun yang sampai sekarang masih terjaga dengan baik. Di acara ini diundang sekitar 200 orang warga kampung. 31 orang ijin gak datang karena sakit. Gejalanya mirip covid. Batuk, dada sesak, sebagian mengaku hilang penciuman dan pengecap.
Gawat! Selama ini keluarga saya berupaya pakai masker, sering cuci tangan, dan hindari kerumunan. Di kampung, semua ini gak berlaku.
Selesai shalat subuh berjama'ah di mushalla, saya ngobrol dengan dua orang tengga. Yang satu cerita: "aku pingin nganggo masker, tapi liyane ora ono sing gowo masker, ora kepenak". (saya ingin pakai masker. Tapi karena semuanya gak pakai masker, saya gak enak. Akhirnya ikut gak pakai masker). Yang satu nyahutin: "Iku Pak Pur, ning ngendi-ngendi nganggo masker, malah mati". (Itu Pak Pur, kemana-mana pakai masker, malah meninggal).
Di setiap mushalla dan masjid, ada tempat cuci tangan standar covid. Bupati Jepara yang menyiapkan. Sudah lama sekali. Tapi, saya coba pakai, ada yang teriak: "gak ada airnya. Disini gak ada yang makai". Nah...
Serba salah. Rasa-rasanya, hanya saya dan keluarga yang pakai masker. Ada satu-dua orang lainnya, sepertinya itu bukan warga asli kampung.
Setiap orang ketemu, ngajak ngobrol, dan jaraknya berdekatan. Mereka gak pakai masker. Suaranya kenceng lagi. Maklum, orang kampung. Dopletnya kemana-mana. Terus piye?
Yang paling miris adalah anak saya paling kecil yang tanggal 27 Juni ini genap berusia 4 tahun. Hanya dia yang pakai masker di tengah bermain tanpa jarak fisik dengan saudara-saudara sepupunya yang seusai. Berangkulan, saling pegang tangan, biasa namanya juga anak-anak sedang bermain. Satu kena covid, yang lain bisa kena semuanya. Menuular ke orang tua, baru itu akan jadi masalah.
Akhirnya saya terpaksa putuskan untuk segera balik ke Jakarta. Hanya semalam menginap di kampung. Setidaknya, saya harus hindarkan dulu keluarga saya dari kemungkinan tertular covid. Berencana balik lagi ke kampung, tapi sendiri. Relatif bisa jaga diri jika sendirian.
Apa pesan dari cerita ini? Pertama, bahwa covid tidak hanya ada di kota, tapi juga ada di desa. Boleh jadi di desa lebih banyak jumlah warga yang terpapar.
Kedua, tes antigen, PCR atau apapun itu, di desa jumlahnya lebih sedikit dari tes di kota. Apalagi kalau dibandingkan dengan di kota besar seperti Jakarta. Kalau di desa-desa masif dilakukan tes, hampir pasti angka terinveksi covid perhari akan naik tinggi sekali. Ini artinya, angka terpapar covid yang diumumkan boleh jadi jauh lebih kecil dari jumlah yang sesungguhnya terinvekai.
Ketiga, warga kota lebih dekat dengan pusat pemerintahan dan banyak orang kelas pendidikan tinggi. Dengan begitu, lebih mudah dapat informasi dan penanganan bisa lebih cepat. Sementara di desa, mereka merasa aman-aman saja. Gak ada ketakutan. Cerita kena covid itu hal biasa dan sambil ketawa-ketawa. Meskipun diumumkan di mushalla dan masjid, hampir setiap hari ada yang meninggal.
Keempat, pengawasan covid di desa-desa sangat rendah. Ini rentan terjadi penyebaran dan risiko kematian.
"Covid jebule koyok ngono. Wis tahu mgerasakke". (Covid ternyata seperti itu. Setidaknya sudah pernah merasakan), kata teman bermain waktu kecil saya. Bangga!
Oleh: Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa