-->
    |

Mengapa Mereka Yang Anti Vaksin Di Era Pandemic Menjadi Public Enemy Nomor Satu?

Faktanews.id - Apa penemuan terbesar dalam sejarah? Dengan membaca data, tak ragu saya katakan. Penemuan terbesar dalam sejarah yang paling menyelamatkan nyawa dan kesehatan manusia adalah Vaksin.

Vaksin, lebih dari penemuan ilmiah lain dalam sejarah, telah menyelamatkan paling  banyak manusia dari kematian, cacat, kebutaan, dan gagalnya bayi untuk hidup sehat.

Lihatlah penyakit cacar (smallpox). Di abad 20, penyakit ini sudah membunuh sekitar 300-500 juta manusia. (1) 

Jumlah yang mati karena cacar lebih banyak dari semua perang dunia, ditambah korban terorisme, ditambah bencana alam di era modern.

Sebanyak 20-50 persen yang terkena cacar akan mati. Yang bertahan hidup, akan mengalami cacat hingga kebutaan.

Vaksin membuat cacar tidak lagi berbahaya bagi manusia.

Begitu banyak penyakit yang kini bisa dijinakkan karena datangnya era vaksin. Antara lain, di samping cacar, adalah polio, tetanus, flu, hepatitis B, Hepatitis A, campak, gondokan, dan chickenpox. 

Kini telah tiba. Corona Virus 19 segera pula dijinakkan oleh vaksin.

Tapi mengapa vaksinasi atas covid 19 tetap perlu dikampanyekan? Mengapa di era pandemik, mereka yang mengkampanyekan sebaliknya, yang menyeru masyarakat agar jangan bersedia divaksin itu menjadi public enemy no 1? 

Mengapa mereka yang mengkampanyekan anti vaksin bahkan lebih berbahaya dibandingkan teroris?

Jawabnya adalah hukum Herd Immunity. Kekebalan Komunitas.

-000-

Vaksinasi atas satu pandemik hanya efektif jika tercipta kekebalan komunitas. Herd Immunity. Hanya dalam kondisi itu, hidup bisa normal kembali. Manusia kembali bebas bergerak kemana saja, jumpa tatap muka, bersalaman, berpelukan.

Kemungkinan untuk saling menularkan penyakit; kemungkinan penyakit itu kembali menjadi pandemik; semua itu akan sirna hanya jika tercipta kekebalan komunitas.

Awalnya di tahun 1923.  A.W. Hedrich mempublikasi risetnya mengenai penyakit campak di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat.

Ia mengamati gejala di sana. Setelah banyak anak- anak diobati dari campak, dan dibuat imun, jumlah yang terkena penyakit itu menurun drastis.

Hedrich pun mengelaborasi. Apa hubungan semakin banyak populasi divaksin dengan semakin menurunnya angka penularan penyakit. 

Setelah meneliti. Setelah cukup bahan. Ia pun menyimpulkan. Ada hukum sosial yang bekerja. Jika jumlah populasi yang divaksin melampaui prosentase tertentu dari keseluruhan populasi, maka bahaya dari sebuah penyakit menjadi sangat minim.

Dari peristiwa itu Hedrich pun memunculkan gagasan vaksin massal. Gagasan itu pertama kali dijalankan di tahun 1960an. 

Ini bisa disebut vaksin massal pertama secara sistematis dalam sejarah (2). Vaksin massal yang ditujukan untuk melenyapkan skala bahaya sebuah penyakit.

Itu social origin dari lahirnya hukum kekebalan komunitas (Herd Immunity)

Rule of thumb dari kekebalan komunitas itu sekitar 70 persen populasi. Jika sebanyak 70 persen populasi sudah divaksin penyakit tertentu, penyakit itu tak lagi berbahaya. Ia bahkan bisa dianggap lenyap sebagai penyakit menular yang serius.

Tapi Dr. Anthony Stephen Fauci memiliki prosentase berbeda untuk Covid 19. Ia pakar kesehatan yang kini sangat disegani. Fauci menjadi Direktur National Institute of Allergy and Infectious Diseases sejak 1984.

Fauci menyatakan, kekebalan komunitas untuk Covid 19 terjadi jika 80-90 persen populasi sudah divaksin (3). Sebelum prosentase itu tercapai, saling menularkan virus covid 19 masih dalam skala yang tak aman.

Di sinilah letak problema mengapa kampanye vaksin Covid 19 diperlukan. Termasuk di Indonesia.

-000-

Survei menunjukkan di berbagai negara Eropa, prosentase populasi yang bersedia divaksin tidak tinggi. (4)

Di Itali, 40 persen populasi menyatakan tak bersedia di vaksin. Di Spanyol bahkan 50 persen tak bersedia divaksin.

Di Perancis, 54 persen menyatakan skeptis dengan vaksin. Di Jerman, juga di Inggris yang menyatakan bersedia divaksin di bawah 70 persen.

Di Amerika Serikat, 63 persen bersedia divaksin. Di Indonesia, 2 dari 3 responden (di bawah 70 persen), bersedia divaksin (5).

Semua data itu menunjukkan hal yang sama. Yang bersedia divaksin masih dibawah prosentase yang dibutuhan untuk Herd Immunity (kekebalan komunitas).

Karena pentingnya kekebalan komunitas, bagaimana jika vaksininasi Covid-19 diwajibkan, dijadikan mandatory? Mereka yang tak bersedia divaksin akan dihukum?

Bahkan WHO tak memilih jalan vaksin sebagai mandatory. Berdasarkan pengalaman, menjadikan vaksin sebagai kewajiban justru melahirkan rebelious spirit. Akan lebih banyak yang menentang. (6)

Strategi yang tersisa tak lain adalah kampanye plus. Para influencers diharapkan ikut membangkitkan kesadaran komunitas. Ditambah dengan insentif dan disinsentif, kemudahan dan kesulitan yang diberikan kepada yang bersedia dan menolak vaksin.

-000-

Kampanye anti vaksinasi itu juga menular.  Berbagai alasan dikemukakan oleh mereka yang menolak vaksin. Mulai dari khawatir akan efek samping, tak menganggap virus itu bahaya, tak merasa vaksin itu efektif, hingga alasan keagamaan.

Selalu ada politisi, tokoh berpengaruh, dan infuencer yang membuat pernyataan publik anti vaksin, apalagi mengkampanyekan agar jangan bersedia divaksin. Mereka  menjadi penghalang terbentuknya Herd Immunity.

Di era pandemik, apalagi terbukti pandemik ini sudah merengut banyak nyawa manusia, merusak ekonomi, membuat dunia semakin miskin, merenggut begitu banyak kebebasan, penghalang banyak kegiatan sosial, bukankah kampanye anti vaksin adalah kejahatan luar biasa?

Dapatlah dikatakan. Mereka yang mengkampanyekan anti vaksin itu di era pandemik, adalah public enemy no 1. Mereka lebih bahaya dari para teroris.

Oleh: Denny JA

Komentar Anda

Berita Terkini