-->
    |

Kisah Bill Clinton Dan Bergesernya Marketing Politik Dari Ideologi Partai Ke Persepsi Pemilih

Faktanews.id - Kisah Bill Clnton dalam pemilu presiden Amerika Serikat, 1996, tak hanya soal seorang tokoh yang ingin kembali menjadi presiden. Kisah itu juga menggambarkan pergeseran politik, dari ideologi partai  kepada preferensi pemilih.

Di tahun 1994, baru dua tahun Clinton menjadi presiden. Ia maju dan terpilih dari partai demokrat. Tapi saat itu, terjadi apa yang disebut revolusi partai republik. (1)

Buku Newt Gingrich berjudul Contract With America meledak di pasar. Buku itu mengedepankan kultur politik konservatif yang menjadi platform partai republik.

Yaitu kebijakan ekonomi yang lebih bergantung pada pasar. Peran pemerintah yang lebih minimal. Pajak yang lebih dikurangi agar peran swasta semakin tumbuh. Perhatian lebih besar kepada keluarga (family values). Dan memberi tempat lebih luas kepada  agama di ruang publik.

Menguatnya kultur konservatif itu ditandai oleh kemenangan telak Partai Republik dalam pemilu Midterm 1994. Akibat pemilu itu Republik menguasai House of Representatif secara telak. Selisih  Republik dan Demokrat di sana sebanyak 54 kursi.

Di Tahun 1995, Partai Republik juga menguasai senat. Dua senator asal partai demokrat pindah menjadi anggota partai republik. Mereka membaca berubahnya orientasi pemilih Amerika untuk lebih mengadopsi kultur politik konservatif.

Apa yang harus dilakukan Bill Clinton? Ia presiden dari partai Demokrat. Tapi konggres dikuasai oleh partai Republik. Clinton datang dari kultur politik yang lebih liberal sesuai dengan ideologi partainya, partai Demokrat. Tapi mayoritas kultur pemilih lebih konservatif, dan kurang liberal.

Tahun 1996 adalah pemilu presiden. Nasib Clinton di ujung tanduk. Isu, program dan ideologi partai demokrat tak lagi populer. Lawan politiknya adalah Bob Dole, dari Partai Republik, yang memajukan isu, program dan kebijakan yang konservatif.

Banyak yang menduga, Bill Clinton segera kalah dengan telak. Mood dari pemilih sedang tidak berpihak pada kultur politik partainya, partai demokrat.

Tapi Clinton lebih cerdas dari itu. Ia menyewa seorang konsultan politik bernama Dick Morris. Untuk kembali menang, Dick Morris mengubah orientasi politik Clinton. Program, isu, kebijakan yang harus dibawa Clinton harus lebih konservatif. Clinton dipaksa meninggalkan “ideologi lama partai demokrat” yang tak lagi populer di mata pemilih.

Bill Clinton pun disulap mengadopsi apa yang oleh partai republik diejek sebagai  calon presiden “Me Too- Ism.” Apapun yang dimajukan oleh saingannya, Bob Dole, Clinton akan mengatakan “Me Too.” Saya juga mengajukan program itu. (2)

Bob Dole mengajukan program kesejahteraan yang lebih konservatif. Untuk mendapatkan bantuan pemerintah, warga diharuskan juga bekerja. Segera Bill Clinton merespon: “Me Too.” Clinton menyatakan, ia mengajukan juga program yang sama. Penerima bantuan sosial pemerintah perlu didorong bekerja.

Bob Dole mengajukan kebijakan yang lebih longgar untuk berdoa di public school. Para guru dan murid lebih dibebaskan jika mereka ingin memulai kelas dengan berdoa lebih dulu. Clinton pun menjawab: Me Too! Ujar Clinton, ia akan membolehkan moment of silence di public school.

Di mata pemilih, akibatnya tak banyak beda antara program dan isu Bill Clinton serta Bob Dole. Yang berbeda hanya masalah personality saja. Sedangkan soal personality, Bill Clinton jauh lebih menarik.

Akhirnya Bill Clinton pun terpilih kedua kalinya. Ini kemenangan marketing politik yang brilian. Seorang calon presiden dari Partai Demokrat bisa terpilih dalam kondisi kultur pemilih yang lebih sesuai dengan ideologi partai republik.

Bill Clinton terpilih karena ia mengikuti trend zaman. Yang utama bukan ideologi partai tapi preferensi pemilih ! Ini kalimat “wahyu” dalam marketing politik zaman ini.

-000-

Bagaimana kisah Bill Clinton di atas kita potret dalam kanvas yang lebih besar?  Ini hikmahnya. Telah terjadi perubahan  zaman yang menyebabkan berubahnya  marketing politik.

Pertama, kesetiaan pemilih pada partai semakin menurun. Zaman semakin cepat berubah. Perubahan psikologi, orientasi dan persepsi publik berjalan lebih cepat daripada kemampuan partai mengadopsinya.

Semakin banyak pemilih yang merasa tak lagi sejalan dengan ideologi partai. Ini yang menyebabkan menurunkan party ID, loyalitas partai.

Kedua, semakin banyaknya pemilih independen. Zaman modern juga melahirkan semakin banyak pilihan. Individu akan lebih nyaman dengan situasi baru itu jika ia tak terikat dengan kultur lama ataupun komunitas lama. Ia bisa memilih apapun, tergantung kasus dan momen, tanpa harus bersandar terlalu kuat pada ikatan lama.

Partisan pemilih (Paty ID) semakin menurun dan dibarengi dengan peningkatan jumlah pemilih yang independen.

Yang dimaksud dengan partisan pemilih adalah orang (pemilih) yang megidentifikasi dirinya sebagai anggota dari sebuah partai. Pemilih partisan ini terbentuk lewat sosialisasi atau latar belakang dari pemilih.

Umumnya, pemilih yang partisan pasti memilih partai atau kandidat yang diusung oleh partai.

Penurunan jumlah pemilih yang partisan membuat posisi partai di mata pemilih menjadi menurun. Pemilih semakin tidak setia kepada partai. Pemilih kemudian mudah berpindah dari satu partai ke partai lain.

Ketiga, munculnya profesionalisasi politik. Makin meningkatnya jumlah pemilih yang independen membuat pemilih lebih tak terikat. Partai atau kandidat kemudian berupaya mengetahui apa kebutuhan pemilih. Mereka juga berupaya membuat produk politik yang disukai pemilih.

Fokus kemudian bergeser dari ideologi partai kepada preferensi pemilih.

Perubahan ini membutuhkan keahlian khusus, mulai dari membuat riset (penyelidikan pasar) untuk mengetahui keinginan pemilih. Juga keahlian mendesain produk, hingga strategi kampanye yang berbeda. Misalnya memanfaatkan iklan media,  dan Public Relations.

Partai kemudian membutuhkan keahlian yang baru, yang tidak dikenal sebelumnya.  Partai awalnya hanya berkutat dengan merumuskan ideologi dan platform. Di era baru, partai membutuhkan keahlian berupa kemampuan melakukan penyelidikan pasar. Dibutuhkan juga keahlian membuat segmentasi, targeting pemilih.

Telah datang era  profesionalisasi politik.

-000-

Kita bisa melihat pengalaman Amerika Serikat.  Marketing politik pun berevolusi. Menurut Newman (1994), terdapat 4 fase perubahan politik di Amerika.

Fase pertama disebut konsep partai. Periode ini ditandai oleh masih tingginya pemilih yang mempunyai kesetiaan (partisanship) kepada  partai. Partai lebih fokus pada internal dengan membuat program dan platform untuk pemilih.

Pada fase ini, partai dikendalikan oleh elit partai. Karena kesetiaan pemilih yang tinggi, partai tidak berupaya untuk mengetahui kebutuhan pemilih. Apapun yang diberikan oleh partai (misalnya kandidat atau program) akan tetap dipilih oleh pemilih. Tidak mengherankan jikalau pada era ini, kandidat dikuasai oleh elit partai.

Fase pertama ini mengalami perubahan ketika partai berusaha untuk meningkatkan kualitas produk. Perubahan ini mirip yang terjadi pada produk komersial. Saat itu perusahaan-perusahaan yang menghasilkan produk yang sama dengan kompetitor, berusaha menghasilkan produk yang paling baik agar diterima oleh pasar.

Upaya menghadirkan produk yang berkualitas ini memerlukan strategi baru. Dalam politik di Amerika dilakukan, itu dilakukan lewat rekruitmen dan kampanye politik dengan tujuan menemukan kandidat terbaik.

Partai percaya agar memenangkan pemilihan, Ia harus menghadirkan kandidat yang berkualitas sebagai representasi dari partai. Ini terjadi mulai dari kandidat presiden gubernur, hingga senat.

Perubahan ini, oleh Newman (1994), disebiut dengan fase konsep produk. Pada era ini, partai berupaya menghasilkan produk yang lebih baik dbandingkan kompetitor.

Berbeda dengan era pertama di mana kandidat dikuasai oleh elit partai. Pada fase kedua ini partai membuat mekanisme seleksi dan kampanye yang terbuka pada semua anggota partai. Ini agar ditemukan calon terbaik untuk bertarung dalam Pemilu.

Fase ketiga politik di Amerika didorong oleh faktor eksternal. Yakni makin berperannya media (terutama televisi) dalam politik. Fase ini oleh Newman (1994) disebut dengan fase penjualan.

Fokus tetap pada kandidat, hanya saja masalahnya bukan pada bagaimana memilih kandidat yang berkualitas (fase kedua), tetapi bagaimana menjual kandidat ini agar disukai oleh pemilih.

Makin berperannya media, membuat kampanye bergeser dengan menemukan strategi penggunaan media untuk memoles kandidat. Misalnya lewat iklan, debat politik, pemberitaan media dan sebagainya.

Pada fase ini, partai kemudian mulai terbuka dengan professonal dari luar. Pembentukan citra, pengemasan kandidat, produksi iklan, Public Relation, dan sebagainya adalah keahlian yang tidak dimiliki oleh partai.

Partai kemudian mulai bekerjasama dengan profesional (konsultan) dari luar partai untuk membantu “menjual” kandidat agar kandidat disukai oleh pemilih. 

Era ketiga ini juga ditandai oleh profesionalisasi politik. Realitas politik dan persaingannya didekati melalui bantuan para professional.

Berbagai kompetensi (seperti riset, periklanan, kampanye media, penggalangan dana dan sebagainya) menjadi sesuatu yang wajib dimiliki oleh partai dan kandidat. Tidak cukup kandidat hanya bisa membuat program dan berpidato (seperti pada era politik lama).

Di era profesionalisme politik, kandidat juga harus dibantu tim yang mempunyai kemampuan mengemas pesan, membuat pencitraan, memiliki teknik dalam debat politik, dan tampil baik di depan televisi (lihat Newman, 1999).

Perkembaangan lebih lanjut dari fase ketiga ini mulai bergesernya perhatian kepada pemilih.

Fase keempat, perhatian semakin ditujukan kepada pertanyaan apa yang disukai oleh pemilih.  Kebutuhan pemilih ini menjadi dasar partai menghasilkan produk (termasuk kanidat) yang sesuai.

Fase ini didorong oleh makin tumbuhnya pemilih yang kritis dan independent, yang tidak mengidentifikasi dirinya sebagai pendukung partai tertentu.

Jenis  pemilih tersebut bisa berpindah dari satu partai ke partai lain. Kondisi ini menggeser fokus strategi politik kepada pemilih. Inilah sociol origin bagi lahirnya  marketing politik.

Inilah awal datangnya konsultan politik, surveyor, ahli media, penulis pidato, perancang busana, event organizer dalam politik.

-000-

Seorang ideolog murni memang tidak berkompromi. Ia berdiri tegak lurus atas apa yang ia yakini. “Seandainyapun aku harus sendiri, melawan seluruh dunia, tetap kupegang teguh keyakinan ini.” Itu seorang true believer.

Ketika ia meyakini perbudakan harus dihapuskan, maka ia tak peduli preferensi pemilih. Ia tak peduli selera pasar. Ia akan terus maju saja. Menerjang. Terjang.

Ketika ia meyakini persamaan hak wanita, ia pun terus berjuang di sana. Maju tak gentar. Tak peduli melawan dunia.

Tapi politisi yang perlu dipilih rakyat banyak tak bisa 100 persen menjadi ideolog. Jelas seorang politisi yang baik, ia harus punya core philosophy. Ia perlu memiliki prinsip politik yang menjadi karakternya.

Namun sang politisi juga harus mengedukasi masyarakatnya. Banyak Ide pembaharuan acapkali mulai dengan dukungan minoritas. Sang politisi harus terpilih dulu. Dengan kekuasaan di tangan, lebih banyak yang bisa ia lakukan untuk mengedukasi masyarakatnya.

Pada titik ini, sang politisi menjadi cerdas secara politik. Ia harus mendengar preferensi mayoritas pemilih jika ingin dipilih. Lalu melakukan pencerahan secara bertahap ketika ia berkuasa.

Marketing politik membantu politisi untuk cerdas mendengar preferensi pemilih. ***

(Bersambung)

Oleh: Denny JA
Komentar Anda

Berita Terkini