-->
    |

Ar-Rahman sebagai Badal dan Deskripsi atau Maqam Perpaduan dan Difrensiasi

Catatan berikut ini Kami kutip dari Kitab Futuhat Al-Makkiyah, Karya Ibnu Arabi.

Mengingat banyaknya kerancuan pemikiran yang berkembang ditengah masyarakat, terkait dengan pengertian "Khalifah". Semoga penjelasan berikut ini dapat menerangi kegelapan yang tengah melanda sebagian kaum Muslimin. Dan semoga Allah swt, beserta Rasul-Nya Nabiullah Muhammad SAW, memberikan taufiq, hidayah dan inayah-Nya bagi siapa pun yang membacanya. Kepada Allah swt kami berserah diri.

Ibnu Arabi menjelaskan bahwa:

Mereka yang meng-i'rab Nama Ar-Rahman (dalam lafal Basmalah) sebagai pengganti/badal untuk kata "Allah" mengisyaratkan pada maqam "perpaduan" (jam) dan penyatuan sifat-sifat. Ini adalah maqam yang meriwayatkan hadits dengan lafal "Allah menciptakan Adam berdasarkan Citra-Nya".

Ini adalah eksistensi hamba di maqam Al-Haqq dalam batasan sebagai khalifah/pengganti. Kekhalifaan dengan sendirinya akan "menuntut adanya kerajaan". Kerajaan (Al-Haqq) terbagi menjadi dua bagian. Bagian yang kembali kepada Zat-Nya dan bagian yang kembali kepada selain Diri-Nya. Bagian yang pertama selaras dengan maqam ini berdasarkan (batasan sebagai Khalifah), karena sesungguhnya badal untuk sesuatu di sebuah situasi akan menempati tempat orang yang ia gantikan. Seperti ketika kita mengatakan, "Saudaramu Zayd datang kepadaku". Kata Zayd menjadi badal untuk "saudaramu" seperti sesuatu menggantikan sesuatu yang lain. Keduanya adalah entitas yang sama, karena tanpa diragukan lagi Zayd adalah saudaramu dan saudaramu adalah Zayd. Ini adalah maqam yang barangsiapa menyakini hal yang sebaliknya maka ia belum memahami hakikat, dan dia sama sekali tidak bertauhid kepada Penciptanya.

Bagi mereka yang meng-i'rab  Nama Ar-Rahman sebagai deskripsi (na't), berarti ia mengisyaratkan pada maqam "difrensiasi" (tafriqah) sifat, yaitu maqam mereka yang meriwayatkan hadits dengan lafal;

"Allah menciptakan Adam berdasarkan citra Ar-Rahman".

Ini adalah maqam "warisan" (wirasah) yang hanya bisa terjadi pada dua pihak yang berlainan. Maqam hijab dengan tenggelamnya pihak pertama dan munculnya pihak kedua yang disebut sebagai "ia yang serupa" (al-misl) (dengan pihak yang pertama). Dan di dalam apa yang kami nyatakan ini terdapat dalil petunjuk untuk apa yang kami sembunyikan, maka pahamilah!

*Maqam Perpaduan dan Difrensiasi dalam Huruf Nun*.

Kemudian Al-Haqq swt. memunculkan separuh bagian bawah dari nun, ( ن ) yaitu separuh lingkaran yang terlihat bagi kita dari orbit lingkaran penuh. Pusat alam semesta terletak di bagian tengah garis yang terbentang dari ujung setengah lingkaran ke ujung yang lain. Setengah lingkaran lain yang tersembunyi pada titik nun adalah setengah lingkaran yang tidak terlihat bagi kita dari bawah, berlawanan dengan garis setengah lingkaran yang terhubung dengan kita. Hal ini karena arah penglihatan kita tergantung pada gerak dan aktivitas. Setengah lingkaran yang terlihat dalam tulisan adalah tempat terbit (masyriq), sedangkan setengah lingkaran yang terhimpun dalam titik nun adalah tempat tenggelam (magrib) yang menjadi tempat terbit bagi eksistensi rahasia-rahasia. Dengan demikian, "tempat terbit" yang terlihat dan tersusun dapat terbagi dan terurai; sementara "tempat tenggelam" yang tak terlihat dan homogen tidak dapat terbagi dan terurai.

Demikianlah bagaiman ilmu (yang satu) dapat terkait dengan objek-objek Kehendak (yang beragam), dan Kodrat yang satu dengan objek-objek Kodrat (yang banyak). Pembagian dan multiplisitas terjadi pada objek-objek Kodrat, Ilmu dan Kehendak, dan ini adalah setengah lingkaran yang terlihat dalam tulisan. Namun disisi lain juga terjadi unifikasi/penyatuan dan transendensi dari sifat-sifat bathiniah Ilmu, Kodrat dan Kehendak. Di dalam hal ini terdapat isyarat, maka Pahamilah!

Karena angka dari huruf ha ( ه ) adalah delapan, maka ia menjadi perlambang wujud kesempurnaqn zat. Oleh sebab itu, kami mengibaratkannya sebagai "kalimah" dan "ruh". Begitu juga dengan nun yang memiliki angka 50 dan di dahului oleh mim yang memiliki angka 40. Nun adalah tubuh jasmani, tempat bagi penjadian materi-materi ruh, akal, jiwa serta wujud gerak dan aktifitas. Semua itu tersimpan di dalam nun, dan ia adalah totalitas dari bentuk manusia yang nampak. Karena itulah (setengah lingkaran nun) menampak.

*Terpisahnya Mim dan Nun oleh Alif*.

Mim berasal dari Alam malakut karena kami menjadikannya perlambang untuk ruh, nun dari Alam Mulk (karena kami menjadikannya perlambang untuk jasad), sementara titik nun dari alam jabarut karena adanya rahasia negasi terhadap pengakuan dan klaim (da'wa). Seakan-akan Allah swt berkata disini "wahai engkau ruh"--yaitu huruf mim--"Tidaklah Kami memilih dan mengistimewakanmu karena siapa dirimu, tetapi lantaran inayat yang telah mendahuluimu untukmu di dalam wujud Ilmu-KU (Yang Kadim). Andai Aku mau, niscaya Aku akan memberikan pengajaran pada "titik, akal dan nun" insani secara langsung tanpa perantara wujudmu. Maka sudah sepantasnya engkau tahu diri! Dan ketahuilah bahwa ini adalah keistimewaan yang diberikan untukmu dari-KU, tetapi terkait Diri-KU, bukan dirimu, agar keistimewaan itu menjadi sahih dan benar. Dengan demikian, Dia sama sekali tidak pernah ber-tajalli kepada selain Diri-Nya. Segala puji bagi Allah untuk apa yang Dia percayakan (kepada kita).

Kemudian perhatikanlah wahai dikau hamba yang miskin!--kepada wujud bentuk tubuh mim yang berbentuk lingkaran ketika ia didahului oleh huruf tertentu, bagaimana ia mengisyaratkan pada transendensi dan keterlepasan dari pembagian.

Pembagian pada sebuah lingkaran tidak terbatas jumlahnya, sama seperti pembagian ruh mim dengan objek-objek ilmunya yang juga tidak terbatas jumlahnya, dan ia dari segi zatnya tidak terbagi.

Setelah itu perhatikanlah ketika mim ditulis terpisah dan disendirikan, muncul darinya bagian akar yang menjulur ketika ia turun kepada wujud gerak dan aktifitas di alam titah (khitab) dan taklif. Bagian yang menjulur itu diperuntukkan bagi pihak lain dan bukan untuk dirinya, karena bagian yang menunjukkan khusus kepada dirinya hanyalah lingkaran. Bagian selebihnya tidak diperuntukkan untuk dirinya karena zat-nya sudah terafirmasi (melalui bentuk lingkaran), maka bagian selain lingkaran diperuntukkan untuk selain dirinya. Ketika hamba melihat kepada bagian yang menjulur tersebut maka dijulurkanlah akar (ta'rif) krpadanya, dan ini adalah perwujudan tahkik (hamba yang berasal dari ruh).

Kemudian ketahuilah bahwa bagian yang tersambung antara mim dan nun adalah letak alif zat. Tetapi alif tersembunyi agar mim dapat tersambung dengan nun melalui penjuluran (dari mim), yaitu bagian yang menyambung keduanya. Seandainya alif terlihat, niscaya penjuluran akar mim tidak akan bisa terjadi karena alif menghalangi mereka. Dalam wujud keberadaan alif terdapat peringatan untuk firman Allah swt;

"Rabb lelangit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, Ar-Rahman (Q.S. 78 ayat 37).

Bacaan di atas menurut mereka yang meng-i'rab "Ar-Rahman", di sini sebagai mubtada. Tetapi hal ini tidak bisa dibenarkan jika melihat pada susunannya. Yang benar adalah "Ar-Rahman" di i'rab sebagai badal untuk "Ar-Rabb". Maka alif di sini menjadi ibarat until ruh-sementara Al-Haqq berdiri bersama semunya--lalu mim menjadi ibarat untuk langit dan nun untuk bumi.

Apabila alif muncul dan melihat di antara mim dan nun (   مان )،   maka alif hanya akan tersambung dengan mim (langit) namun tidak dengan nun (bumi). Sehingga nun tidak akan pernah bisa mengambil sifat apa pun dengan tanpa perantara larena keterputusannya. Tersambungnya alif dengan mim menunjukkan kepada pengambilan (sifat-sifat oleh mim dari alif) dengan tanpa perantara apa pun. Tetapi di dalam ketiadaan (kekosongan) yang ada melalui pemotongan nun menjadi musnah, dan yang tersisa hanyalah mim yang terhijab dari "rahasia kekadimannya" (sirr al-kidam) melalui titik yang ada ditengahnya--yaitu yang ada di bagian dalam lingkaran jika kita melihat zat huruf mim--setelah ia tidak lagi terlihat baginya.

*Persembunyian Rahasia Kekadiman dalam Mim Alam Malakut"*

Seseorang bertanya "lalu bagaimana engkau bisa mengetahui rahasia kekadiman dalam diri mim sementara ia sendiri tidak bisa mengetahuinya? Padahal mestinya ia lebih berhak untuk mengetahui dirinya sendiri dibandingkan dirimu jika engkau melihat sisi lahiriahmu. Atau apakah yang bisa mengetahui rahasia kekadiman dalam diri mim adalah makna yang ada dalam dirimu, yaitu mim ruh yang menjadi pembahasan di sini, karena ia pasti memahami rahasia kekadimannya?.

Jawaban untuk pertanyaan ini adalah sebagai berikut: sesungguhnya bagian diri kami yang mengetahui rahasia kekadiman adalah yang kami sembunyikan di sana. Sudut pandang pengafirmasian kita bahwa ia memiliki ilmu berbeda dengan sudut pandang pengafirmasian kita bahwa ia tidak memiliki ilmu tentang hal tersebut. Kami katakan bahwa ia hanya memiliki ilmu tentang hal itu tetapi tidak pernah melihatnya. Keadaan seperti ini bisa terjadi, karena tidak diisyaratkan bagi seseorang yang mengetahui sesuatu bahwa ia harus pernah melihatnya. Hanya saja dari sudut pandang tertentu, melihat sebuah objek ilmu lebih sempurna daripada hanya sekedar mengetahuinya, dan pengetahuan tentangnya menjadi lebih jelas. Setiap orang yang pernah melihat sebuah objek ilmu pasti memiliki ilmu tentangnya, tetapi tidak semua orang yang memiliki ilmu pasti pernah melihat objek ilmunya. Dengan demikian pandangan mata secara langsung memiliki satu derajat lebih tinggi di atas ilmu (yang tidak disertai penyaksian mata).

Tetapi saya katakan bahwa hakikat dari "rahasia kekadiman" yang hanya bisa diketahui secara haqqulyakin karena ia tidak bisa dilihat dengan mata--tidak bisa disaksikan olrh mim (ruh) karena hal itu kembali kepada Penciptanya. Jika mim bisa mengetahui Zat penciptanya, niscaya hal itu akan menjadi kekurangan bagi-Nya. Maka kesempurnaan maksimal mengenai pengetahuan yang ia miliki tentang wujud halikat "rahasia kekadiman" adalah setelah (ia tahu) bahwa hakikat itu tidak memiliki entitas (yang terlihat baginya). Ini adalah sebuah lasal yang sangat menakjubkan. *Jika engkau mampu menelaahnya niscaya engkau akan memahami banyak keajaiban. Pahamilah hal ini!*

*Tersambungnya Huruf Lam dan Ra dalam pengucapan Nama Ar-Rahman.*

Tersambungnya lam dan ra, dalam bentuk ketersambungan penyatuan dalam pengucapan (Nama Ar-Rahman) adalah karena keberadaan kedua huruf ini sebagai dua sifat bathiniah (iradat dan kodrat), sehingga keduanya lebih mudah untuk menyatu. Adapun "ha" yang merupakan perlambang untuk "kalimah" dan berlaku sebagai objek Kodrat milik Ra--terpisah dari Ra-Kodrat. Hal ini agar dapat dibedakan antara objek Kodrat dengan Kodrat, dan supaya ha (kalimah) sebagai objek Kodrat tidak membayangkan bahwa dirinya adalah sifat dari Zat Kodrat. Melalui hal ini terjadilah perbedaan antara Yang Kadim dengan yang baharu. *Pahamilah hal ini, semoga Allah merahmatimu!*.

Ar-Rahman dalam bentuk Nakirah dan Ma'rifah.

Kemudian ketahuilah bahwa "Rahman" adalah sebuah nama, dan ia adalah milik Zat. Adapun dua huruf penanda alif dan lam ma'rifah adalah sifat-sifat. Itulah mengapa seorang mengatakan "Rahman" dengan tanpa Alif lam sama seperti mengatakan "Zat" dengan tanpa satu pun sifat disebutkan bersama-Nya. Lihatlah bagaimana nama Musyailamah Al-Kazzab, ia menamai dirinya dengan sebutan "rahman" tanpa didahului dengan "alif lam". Hal ini karena zat adalah klaim dan pengakuan setiap orang, sementara melalui sifat-sifat akan terkuak kejelekan orang tersebut.

Dengan demikian "Rahman" adalah maqam "himpunan" (jam) dan ia menjadi maqam ketidaktahuan, (karena "himpunan" adalah lawan dari "perincian" (tafsil). Tempat paling mulia yang bisa di daki di jalan Allah adalah ketidaktahuan tentang-Nya swt, dan pengetahuan akan ketidaktahuan tentang-Nya, karena itu adalah hakikat dari penghambaan (ubudiyyah), Allah swt, berfirman;

"Dan nafkahkanlah sebagian dari apa yang Allah jadikan kalian khalifah atasnya" (Q.S. 57:7).

Melalui kata "khalifah" dari ayat ini, Allah swt mulucuti dirimu (dari pengakuan dan klaim atas kekuasaan). Juga menjadi penguat untuk hal ini adalah firman-Nya:

"Dan tidaklah kalian diberi ilmu kecuali hanya sedikit" (Q.S. 17:85)

Dan firman-Nya:

"Orang-orang yang telah kami beri Al-Kitab mereka membacanya dengan bacaan yang benar" (Q.S. 2:121).

Melalui hakikat dari pengangkatan khalifah (istikhlaf) tersebut Musaylamah, Iblis dan Dajjal ternegasikan dan terlucuti, karena apa yang ada pada mereka itu hanyalah sebuah keadaan (hal) yang bisa dikenali bagi mereka.

Seandainya mereka memiliki apa yang mereka klaim tersebut secara zati, niscaya hal itu tidam akan bisa dilucuti dari mereka.

Tetapi jika engkau melihat dari segi pelaksanaan (tanfiz) dan penerimaan (qabul) universal, bukan hanya dari segi perintah saja, niscaya engkau akan menemukan bahwa seseorang pembangkang sebenarnya dalam keadaan taat dan yang bengkok sebenarnya lurus. Semuanya berada di dalam penghambaan, baik mereka yang taat maupun yang penentang. Iblis dan Musaylamah keduanya menyatakan (bahwa dirinya berada dibawah) penghambaan, sementara Dajjal tidaklah demikian.

Renungkanlah apa yang membuat masing-masing mereka mengatakan apa yang mereka katakan, dan juga hakikat apa saja yang muncul dalam diri mereka sehingga mewajibkan bagi mereka keadaan-keadaan tersebut.

*Tersembunyinya Alif dan Lam dalam pengucapan lafal Basmalah*.

Ketika kita mengucapkan firman Allah swt, Bismillahirrahmanirrahim, (sekaligus dengan tanpa dipisah), alif dan lam (dari Ar-rahman) tidak muncul sama sekali. Maka yang terjadi di sini adalah ketersambungan dari Zat untuk Zat. Allah dan Ar-Rahman keduanya adalah Nama untuk Zat, maka Dia kembali kepada Diri-Nya melalui diri-Nya. Inilah mengapa Rasulullah SAW berkata (dalam doa beliau) "Aku berlindung kepada-MU dari-MU", karena ketika beliau berakhir pada Zat, beliau tidak melihat apa pun yang lain. Ketika beliau mengatakan "Aku Berlindung  kepada-MU", maka pasti terdapat sesuatu yang darinya beliau meminta perlindungan. Kemudian sesuatu itu disingkapkan kepadanya hingga beliau mengatakan "dari-Mu". Kata "dari-MU" tersebut ditujukan untuk Dia swt. Dengan demikian, yang menjadi dalil penunjuk untuk "Dia" di sini adalah ungkapan, "Aku berlindung". Rasulullah saw tidak memerinci (dengan sifat apa pun) karena beliau sedang berada dalam Zat, dan perincian terhadap Zat tidak mungkin terjadi.

Dari penjelasan di atas menjadi jelaslah bahwa "kalimah Allah" adalah hamba. Dan karena lafal "Allah" menjadi penunjuk untuk Zat, maka demikian pula hamba yang menghimpun segala sesuatu (manusia paripurna-insan Kamil).

Hamba (paripurna) adalah kalimah Jalalah. (Ini mengapa) sebagian Muhaqqiq dalam keadaan tertentu bisa mengatakan, "Aku adalah Allah". Sebagian dari para sufi juga mengatakan hal yang sama dari dua maqam yang berbeda. *Namun sungguh sangat jauh jarak antara maqam makna dan maqam huruf yang dijadikan untuk Nama tersebut.*

Allah swt. menghadapkan huruf dengan huruf dalam sabda Nabi SAW., "Aku berlindung melalui ridha-MU dari kemurkaan-MU!". Lalu Dia menghadapkan makna dengan makna dalam sabda beliau, "Aku berlindung kepada-MU dari-MU!" *Dan ini adalah tujuan akhir dari ma'rifah*.

Perbedaan Nama Allah dan Ar-Rahman.

Barangkali engkau akan membedakan antara Nama Allah dengan Nama Ar-Rahman ketika kau temukan firman Allah swt, dalam Al-Quran, "Sembahlah Allah! (Q.S. 16:36) dan orang-orang (Arab-ketika ayat ini mereka dengar setelah diwahyukan) tidak bertanya "Apa itu Allah?". Tetapi ketika dikatakan kepada mereka, "Bersujudlah  kepada Ar-Rahman, mereka berkata: Apakah Ar-Rahman itu? (Q.S. 25:60).

Inilah yang menjadi alasan mengapa sebagian kelompok berpendapat bahwa kata Ar-Rahman (dalam lafal Basmalah) lebih berlaku sebagai deskripsi (na't) daripada pengganti (badal). Sementara kelompok yang lebih cenderung melihatnya sebagai badal berdasarkan firman Allah swt: "Katakanlah: serulah Allah atau serulah Ar-Rahman, dengan Nama apa saja kalian menyeru-Nya, Dia memiliki Nama-Nama yang terindah" (Q.S. 17:110).

Orang-orang Arab tidak memungkiri kata "Allah" sebagai Nama Tuhan, karena sesungguhnya orang-orang Arab (penyembah berhala) mengatakan "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan diri kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya (Q.S. 39:3), maka mereka mengetahui apa itu Allah. Tetapi karena kata Ar-Rahman secara etimologi berasal dari kata rahmat/kasih sayang, dan ini adalah sebuah sifat yang juga ada di dalam diri mereka, maka mereka khawatir kalau-kalau sesembahan yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW, kepada mereka berasal dari yang sejenis dengan mereka. Lalu mereka pun mengingkari  dan mengatakan, "Apa itu Ar-Rahman?. Namun, karena suatu perkataan tidak selalu mensyaratkan harus bisa dipahami maknanya, maka Allah swt, berfirman, "Katakanlah: serulah Allah atau serulah Ar-Rahman", karena kedua lafal tersebut kembali kepada satu Zat yang sama. (Ketidakmampuan untuk memahami makna sebenarnya dari kedua lafal tersebut) adalah hakikat dari seorang hamba, karena Sang Maha Pencipta (Al-Bari) tersucikan dan tak tersentuh oleh pemahaman asumsi dan ilmi menyeluruh tentang-Nya. Maha Agung Dia dari semua itu!

Penutup.

Demikian kami kutipkan penjelasan Syeikh Ibnu Arabi diatas, dengan harapan:

Agar kaum Muslimin ditanah air memperoleh pemahaman yang lebih lengkap tentang pengertian Ar-Rahman dalam kalimat Basmalah. Dan semoga penjelasan dapat menjadi wasilah dalam memahamkan makna dari kata Khalifah yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 30.

Semoga Allah swt memberikan ampunan-Nya, jika terdapat kekeliruan di dalam-Nya, hanya Dia yang Maha Sempurna lagi Maha Menyempurnakan.

Salam tazlim kepada junjungan kita tercinta Nabiullah Muhammad SAW, semoga penjelasan beliau yang disampaikan oleh Ibnu Arabi diatas, dapat menambah wawasan keislaman kita, menguatkan iman kita kepada Allah swt.

Ya, Allah, tambahkanlah ilmu kepada Kami semua.

Oleh: Hasanuddin

(Penulis tinggal di Depok, Jawa Barat)


Komentar Anda

Berita Terkini