-->
    |

Membidik Anggaran Dan Independensi Kejaksaan Agung

Faktanews.id - Setelah terpilih kembali menjadi presiden periode 2019-2024, Joko Widodo selaku kepala negara harus menyusun kabinet yang ideal, termasuk di dalamnya adalah Jaksa Agung. Kejaksaan adalah lembaga yang sangat penting dan strategis dalam penegakan hukum karena peran dan fungsinya sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.

Kejaksaan dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan  umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Banyak pekerjaan rumah harus yang harus selesaikan agar Kejaksaan bisa bekerja dengan optimal.

Anggaran Kejaksaan

Kejaksaan RI sendiri masuk di dalam fungsi ketertiban dan keamanan, bersama kepolisian, KPK, Kemenkumham, MA, dan MK. Apabila melihat anggaran kejaksaan pada tahun 2019, anggaran Kejaksaan merupakan ketiga terkecil setelah MK (0,5%) dan KPK (0,7%). Anggaran Kejaksan sendiri hanya sebesar 5,5% dari total anggaran fungsi ketertiban dan keamanan pada tahun 2019 sebesar Rp. 115 Triliun.

Hal tersebut berbanding terbalik dengan Kepolisian (74,6%). Terlebih, Kejaksaan memiliki lebih dari 500 satker dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri, hingga Cabang Kejaksaan Negeri. Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan MK maupun KPK yang hanya memiliki satu satker di ibukota negara.

Dalam kajian yang sudah dilakukan oleh Seknas FITRA dan IJRS, anggaran fungsi ketertiban dan keamanan yang diterima oleh kejaksaan lebih kecil dari Kepolisian, MA, dan Kemenkumham. Padahal, apabila ditelisik fungsi kejaksaan cukup banyak diantaranya sebagai penyidik pada tindak pidana tertentu, penuntut umum, pelaksana penetapan hakim, pelaksana putusan pengadilan, pidana pengawasan dan lepas bersyarat, pengacara negara, serta turut membina ketertiban dan ketentraman umum sesuai dengan Pasal 30 UU No.16 Thn 2004 tentang Kejaksaan RI.

Dari tugas dan fungsi di atas, dapat dikatakan bahwa beban jaksa dalam penegakan hukum cukup berat. Sayangnya, beratnya beban kerja yang diemban oleh tidak sebanding dengan pagu anggaran yang diterima. Tatakelola dan peningkatan kualitas SDM ditubuh kejaksaan juga merupakan pekerjaan rumah tersendiri yang sama pentingnya.

Capaian Kejaksaan

Berdasarkan laporan Kinerja Kejaksaan RI Tahun 2017, terlihat kontribusi langsung Kejaksaan RI dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi di seluruh Indonesia. Pada tahun 2016, dengan jumlah penuntutan sebesar Rp 331 miliar dan USD 263.929, uang pengganti yang berhasil disetor ke kas negara sebesar Rp 197,3 miliar. Kemudian, pada tahun 2017, kerugian negara yang berhasil diselamatkan pada bidang perdata dan tata usaha negara sebesar Rp 447,4 miliar, USD 79.774, dan tanah seluas 83.330 m2.

Peran Kejaksaan dalam mengamankan aset negara juga merupakan hal yang tidak kalah penting. Sebagai contoh, pada tahun 2019, Kejati Jawa Timur dalam *Gerakan Bersama Penyelamatan Aset Negara* telah berhasil mengembalikan aset Yayasan Kas Pembangunan (YKP) sebesar Rp 5 triliun. Capaian-capaian di atas tentu menjadi catatan positif dari kinerja Kejaksaan dari tahun ke tahun.

Akan tetapi, tentunya perlu di dorong anggaran yang proporsional, adaptif, dan sesuai kebutuhan Kejaksaan dalam menjalankan tugas, pokok, dan fungsinya. Jika Kejaksaan sudah ditopang oleh anggaran yang optimal, bukan tidak mungkin kualitas penegakan hukum Indonesia akan lebih baik.

Independesi Kejaksaan Agung

Menyambut kabinet baru, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS), memberikan catatan bagi pemerintahan Joko Widodo agar tidak main-main dalam memilih pimpinan di Kejaksaan Agung. Kejaksan Agung harus diisi oleh orang yang independen dan bebas dari kepentingan pragmatis. Jika salah memilih, pekerjaan rumah dan kinerja yang sudah dibangun bisa jadi tidak akan berjalan dengan optimal. Berikut adalah 7 kriteria Jaksa Agung menurut FITRA dan IJRS:

Perma, bebas dari intervensi politik atau bukan dari Partai Politik (untuk menjaga independesi);

Kedua, memahami peran dan fungsi jaksa bukan hanya terkait penuntutan tetapi juga preventif tindak pidana;

Ketiga, memiliki pemahaman dan pengalaman reformasi birokrasi organisasi atau memperbaiki pengelolaan SDM di Kejaksaan (Peraturan Kejaksaan Agung no. 49 Tahun 2011 tentang Pembinaan Karir Kejaksaan) karena selamai ini pelaksanaan mekanisme penilaian kinerja jaksa belum maksimal (seperti adanya sistem promosi, mutase, dan demosi di Kejaksaan yang handal)

Keempat, memiliki visi pengelolaan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) yaitu transparansi, partisipatif, akuntabilitas, efesiensi, dan efektivitas.

Kelima, memiliki prespektif perlindungan korban contoh seperti ex kasus Baiq Nuril.

Keenam, dapat menyelesaikan perkara yang mengendap di Kejaksaan contoh kasus korupsi dan pelanggaran Ham.

Ketujuh, mampu membangun “trust” di masyarakat.

Oleh: Misbah Hasan

Sekjend Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)
Komentar Anda

Berita Terkini