-->
    |

Wartawan Senior Ajak Generasi Milenial Tingkatkan Literasi

(Diskusi Media: Peran Aktif Media Dan Generasi Muda Merajut Persatuan Pasca Pemilu 2019)
Faktanews.id - Wartawan senior, Dhia Prekasha Yoedha menjadi pembicara diskusi publik bertajuk "Peran Aktif Media Dan Generasi Muda Merajut Persatuan Pasca Pemilu 2019". Diskusi berlangsung di Hotel Sofyan, Tebet, Jakarta Selatan, Senin (23/7/2019).

Dihadapan peserta diskusi, DP Yoedha memaparkan terkait maraknya berita hoaks selama tahapan dan pasca Pemilu 2019. Maraknya peredaran hoaks yang menyebabkan masyarakat tampak terpolarisasi disebabkan karena rendahnya tingkat literasi masyarakat Indonesia. Terlebih, kata dia, anak muda atau generasi milenial hanya membaca informasi di media sosial, seperti twitter, facebook, instagram, ketimbang mencari informasi di media mainstream.

"Twitter itu membosankan. Persoalan anak generasi milenial itu membosankan twitter. Males. Tingkat literasi sangat rendah, serendah-rendahnya. Kalau baca inginnya pendek-pendek, yang penting seronok, tapi langsung pindah, langsung copas," papar Yoedha.

Yoeda kemudian mengingatkan tentang wahyu Tuhan, sebagaimana tertulis dalam kitab Suci Al-Qur'a , kali pertama diturukan kepada Nabi Muhammad "Iqra". Kata Iqra, menurut Yoedha bukan hanya dapat diartikan membaca.

"Iqra bacalah. Iqra bukan hanya baca tapi renungkanlah. Kalau tidak baca dan tidak merenung kita bisa terjebak. Kan repot," tukas dia.

Lebih lanjut, Yoedha mengajak anak muda dan generasi milienial meningkatkan literasi sebagai salah satu cara terhindar dari berita hoak. Tanpa melihat kekurangan media mainstrem, menurut Yoedha, generasi melineal jangan terlalu berlebihan mencari infomasi di medsos.

"Jangan tergila-gila pada facebook dan twitter. Karakteristik media itu harus dipahami. Media mainstream memang punya kelemahan," katanya.

Sementara itu, Sekretaris PWI Jakarta, Kesit B. Handoyo, di tempat yang sama, mengatakan, media harus memberikan informasi akurat kepada masyarakat. Pemberitaan yang bersifat edukatif harus lebih ditingkatkan, karena tidak sedikit masyarakat yang belum move on, hanya karena beda pilihan politik pada Pemilu 2019 lalu.

"Tugas utama bagimana membuat kondisi masyarakat ini normal. Tak masalah dengan media mainstream, yang masalah adalah medsos," katanya.

Dia lantas meminta penulis berita media maintream berhati-hati sehingga masyarakat, sebagai penerima pesan dari informasi dari media, mendapatkan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sebab, media mainstream dan medsos memiliki perbedaan dalam penyampaian informasi.

"Sudah waktunya masyarakat mempercayai media maintream, keberadaannya jelas. Bagaima cara melihat media itu jelas, ada badan hukumnya, ada kantornya dan ada penanggungjawabnya," katanya.

"Tugas media terus memberikan edukasi masyarakat. Ayo terus membangun negara ini. Kita bangun negara ini sama-sama. Itu harus media bagaimana terus memberikan eduksi dan informasi tapi harus bisa dipertanggungjawabkan," pungkas Kesit.

Adapun Sekjen Ikatan Pesantren Indonesia (IPI), Abdul Fattah memaparkan soal lompatan pekembangan teknologi yang tidak diimbangi dengan pendidikan. Perkembangan teknologi pada satu sisi tanpa disadari membuat sebagian masyarakat bodoh. Hal itu terlihat dari banyaknya masyarakat Indonesia mudah diprovokasi oleh berita-berita hoaks.

"Teknologi membuat lompatan peradaban. Problem yang dihadapi Indonesia adalah ketika tida disadari dengan pendidikan. Segudang berita-berita hoak itu beredar dan dipercaya oleh masyarakat kita," tukasnya.

Menurut dia, ada dua hal yang harus terus dilakukan untuk menjauhkan berita hoaks dari masyarakat.

"Bagaimana mensejahterakan dan mencerdaskan masyrakat," tegas dia sambari mengatakan bahwa harus dibedakan antara agama dan gerakan keagamaan di Indonesia. (RF)

Komentar Anda

Berita Terkini