Aktivis perlindungan anak yang juga Anggota DPD RI Fahira Idris mengungkapkan, dirinya mengapresiasi keputusan Presiden yang menjadikan kekerasan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa setara dengan narkoba dan terorisme pada 2016 silam. Namun, keputusan yang salah satunya dilatarbelakangi kasus pemerkosaan anak (YY) oleh 14 laki-laki di Bengkulu ini, tidak diiringi dengan rencana besar atau grand desain perlindungan anak. Padahal pengarusutamakan isu perlindungan anak dalam setiap rencana dan program pembangunan nasional terutama dalam bidang pendidikan, sosial ekonomi, dan penegakan hukum menjadi mutlak jika bangsa ini ingin menghilangkan praktik kekerasan terhadap anak.
"Rapor perlindungan anak kita belum mengembirakan atau masih jauh dari harapan. Bangsa besar ini belum punya grand desain perlindungan anak yang komprehensif. Alhasil program perlindungan anak sifatnya masih sporadis dan berjalan sendiri-sendiri. Jika ada kasus kekerasan terhadap anak yang di ekspose media barulah persoalan perlindungan anak menjadi perbincangan dan pemerintah sibuk mencari solusinya. Karena sporadis dan berjalan parsial tak heran terkadang lahir kebijakan yang kontraproduktif. Salah satunya pemberian grasi kemarin," tukas Senator Jakarta ini di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (23/7).
Padahal upaya paling mendasar dan efektif dari program perlindungan anak secara nasional adalah menjadikan anak sebagai isu utama pembangunan di semua bidang sehingga kasus-kasus kekerasan anak menurun drastis karena semua lini kebijakan pemerintah menjadikan anak sebagai parameter baik dari sisi regulasi maupun implementasi. Selama pengarusutamaan perlindungan anak dalam program pembangunan belum terjadi maka angka kekerasan anak akan terus meningkat. Data KPAI mencatat selama kurun 2018 tingkat kekerasan terhadap anak bertambah 300-an kasus dibanding tahun sebelumnya.
"Coba cek proses penyusunan RPJMN atau RPJMD, ada tidak yang memberi ruang kepada anak-anak kita untuk menyampaikan aspirasinya, pendapat, atau keinginan anak-anak tentang wajah Indonesia yang mereka inginkan. Padahal negeri ini milik mereka juga," ujar Fahira.
Dari sisi penegakan hukum kekerasan terhadap anak juga masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Penambahan hukuman maksimal hingga hukuman mati terhadap pelaku kejahatan seksual kepada seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak harusnya menjadi pengikat bagi polisi, jaksa, dan kehakiman untuk menjatuhkan hukuman maksimal kepada siapa saja pelaku kekerasan terhadap anak. Ini penting sebagai tanda bahwa bangsa ini sedang perang terhadap segala bentuk kekerasan dan kejahatan terhadap anak.
“Ke depan kita berharap tidak ada lagi vonis bebas terhadap pelaku kekerasan terhadap anak seperti yang terjadi di PN Cibinong kemarin. Saya juga berharap Presiden lebih bijak untuk tidak memberi grasi kepada terpidana pelaku kekerasan seksual kepada anak. Karena pemberian grasi ini menjungkirbalikkan upaya perlindungan anak yang sudah susah payah dibangun saat ini,” pungkas Fahira. (RF)