-->
    |

Debat Pilpres dan Devil's Advocate

(Syahganda Nainggolan)
FaktaNews.id - Dr. Rizal Ramli telah menyebarkan pikiran-pikirannya tentang berbagai fakta yang bohong atau tidak sesuai atau beda tafsir atas presentasi Jokowi dalam debat pilpres kedua kemarin. Rizal, misalnya, mengatakan bahwa Landreform itu tidak ada di masa Jokowi, yang ada pembagian hutan sosial. Kedua, rezim Jokowi ternyata akan mempertahankan rezim impor ugal-ugalan.

Sebaliknya, Dr. Denny JA, konsultan politik Jokowi, bertepuk tangan dengan tulisannya yang viral.

Tulisan Denny berjudul "Enam Hal Kemenangan Jokowi dalam Debat Capres Kedua", dengan ringkasan "Jokowi menang karena menguasai bahan, sedang Prabowo kalah karena kuasai lahan".

Setelah tulisan tersebut seperti biasanya Denny meringsek lebih jauh dengan Meme "Lahan yang dimiliki Prabowo sebanyak rata-ra milik 30 juta orang ditotal, bagaimana Prabowo mau bicara keadilan?"

Saya mengakui kepada Denny bahwa Prabowo kalah dalam debat capres kedua ini. Bayangan saya Prabowo mengalami kemunduran elektabilitas sebesar -2%. Itu adalah sebuah resiko pertarungan. Tapi sebagai kata pepatah, "you can lose  the battle, but win  the War".

Mengapa Prabowo kalah?

Debat kedua, berbeda dengan debat pertama. Debat pertama adalah seperti silaturahim atau introduksi, di mana performance petarung sangat menentukan. Prabowo Sandi yang hadir dengan rapi, berjas dan dasi, sebaliknya Jokowi dengan baju putihnya yang membosankan serta wakilnya pake sarung, menguntungkan 02, karena rakyat kita pasti senang dengan simbol kemapanan dan kematangan.

Strategi Prabowo yang "mengalah" juga saat debat pertama itu diapresiasi baik. Intinya rakyat masih terpaku pada nuansa.

Pada debat kedua, sebagai lanjutan debat pertama, tentu saja rakyat penonton menunggu "pergumulan" di atas panggung. Pergumulan dan panggung adalah kata kunci yang terkait dengan tepuk tangan atau celaan penonton. Itu adalah "hukum panggung".

Dalam debat dikenal istilah "Devil's Advocate". Istilah ini maksudnya menyerang lawan debat "for the sake of the argument". Kita harus mematahkan argumen lawan dengan segala cara.

Bukan untuk kebenaran, melainkan untuk memenangkan argumentasi sendiri maupun melumpuhkan argumen lawan.

Jokowi dalam "devil's advocate" misalnya mematahkan argumentasi Prabowo soal "banyaknya lahan (50%)  dikuasai segelintir elit (atau 1:50)", langsung dipatahkan dengan "Pak Prabowo punya lahan ratusan ribu hektar di Kalimantan dan Aceh". Ini bukan mendiskusikan fakta 1:50, melainkan mematahkan argumen Prabowo soal ketimpangan pemilikan lahan di Indonesia.

Untuk infrastruktur Jokowi memberi argumen membangun jalan sampe ke desa desa, 191.000 Km. Sebuah argumen yang susah diverifikasi siapapun, kecuali rezim Jokowi sendiri tentunya. Sehingga, Prabowo kesulitan melakukan kontra argumen.

Dalam soal kebakaran hutan, Jokowi, misalnya, mengklaim tidak ada lagi kebakaran hutan selama tiga tahun belakangan ini, setelah dia menuntut 11 pembalak hutan terbesar dengan tuntutan yang berat, 18,3 T.  Dalam analisa "post factum", beberapa pengamat dan media mengatakan ini tidak sepenuhnya benar. Karhutla Monitoring System, Kementerian Kehutanan malah menyatakan masih 11.000 Ha kebakaran (2017) dan 4000 Ha (2018), seperti dikutip dari Banjarmasin Post kemarin. Tapi karena Jokowi terlalu retorik dalam menjelaskan, maka Prabowo terlena. Begitu juga soal argumen-argumen Jokowi soal impor yang menurun, dengan permainan "number" alias angka.

Di pihak Jokowi panggung adalah panggung. Debat adalah debat. Prabowo adalah musuh yang harus dikalahkan. Itu kemenangan Jokowi setelah Muldoko, misalnya, mengumumkan strategi "total war". Sebaliknya, Prabowo menjadi kalah karena Prabowo dibebani sifat kejujuran dan kenegarawanan. Sifat ini mendorong Prabowo menjadi seolah tampil sebagai manusia bijaksana. Tidak menyerang.

Dalam konsep debat sebagai debat "an sich", prinsip-prinsip debat yang memenuhi unsur "rationalitas, emosional, dan etika" tidak perlu sepenuhnya diindahkan. Kebohongan atau menggunakan data bohong atau sedikit berbeda dengan fakta bukan hal yang aneh, malah itu dibutuhkan. Karena kemenangan panggung adalah hal utama dan ditentukan seberapa terpesona penonton. Itu soal "action" bukan "thinking" Persoalan justifikasi di luar panggung itu adalah urusan tim sukses yang bekerja.

Debat pilpres adalah kesempatan untuk mempengaruhi rakyat luas, karena "event" besar dan diliput langsung berbagai TV dan "Live streaming". Jika 70% penonton terhipnotis dengan presentasi kandidat, lalu hanya 50% yang melakukan klarifikasi dan verifikasi fakta via online dan sosial media, maka selisih 20% adalah sasaran empuk bagi elektabilitas. Sedang masyarakat intelektual, tentu hanya tinggal sedikit yang bergeser pilihan saat ini.

Tantangan Prabowo

"Lose the battle but win the War" masih  banyak kesempatan buat Prabowo. Namun, dalam konteks debat, Prabowo harus faham bahwa debat ini adalah peristiwa penting untuk kemenangan, khsususnya bagi opsisi seperti Prabowo yang tidak punya uang cukup.

Sehingga Prabowo harus memperkecil kerugian kekalahannya melawan Jokowi debat kemarin, melalui penyebaran yang massif bahwa: 1) Jokowi melakukan strategi "devil's advocate". Fakta-fakta yang benar harus disebar kepada seluruh rakyat. Tulisan Rizal Ramli terkait ini harus menyebar sampai ke desa-desa. 2) Prabowo harus menjelaskan bahwa kepemilikannya atas lahan 300 ribu HA adalah usaha halal dia sebagai bisnisman selama ini. Sebagai bisnisman justru Prabowo (juga Sandy) tidak mempunyai "hutang budi politik" kepada Taipan-taipan untuk membiayai kampanye. Sehingga dia bisa sepenuhnya menolong rakyat miskin. Toh hanya dalam Komunis saja orang dilarang kaya. 3) Prabowo perlu melakukan strategi offensive dan active dalam debat ketiga nantinya. Serang.

Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan

(Sabang Merauke Circle)

Komentar Anda

Berita Terkini