-->
    |

30 Buku Warisan Balai Pustaka Dan 3 Imajinasi

Faktanews.id - Hari ini, 9 September 2021, saya menerima kiriman 30 buku terbitan Balai Pustaka. Ini buku yang bernilai tinggi karena sejarah dan pengaruhnya.


Ada buku RA Kartini: Habis Gelap Terbitlah Terang. Ada buku Mh. Rusli: Siti Nurbaya. Saya terima pula buku Achdiat Mihardja: Atheis. Karya Abdul Moeis: Salah Asuhan. Hingga buku Takdir Alisjahbana: Layar Terkembang.

Buku itu terbit pertama kali sekitar 60- 100 tahun lalu.

Semua buku ini dicetak ulang. Semua terbit di tahun 2018. Semua dengan hard cover. Semua dilakukan di bawah leadership Balai Pustaka: Achmad Fachrodji.

Seketika saya melayang pada tiga imajinasi.

-000-

Pertama, wajah tiga guru bahasa Indonesia ketika saya duduk di kelas SD dan SMP. Itu sekitar tahun 60-an dan 70-an.

Saya masih teringat momen itu. 40-50 tahun lalu.

Itulah masa pertama saya bersentuhan dengan sastra dan dunia literasi. Guru-guru itu bercerita soal isi dari novel Siti Nurbaya. Juga kisah RA Kartini. Soal Takdir Alisyahbana. Soal Chairil Anwar hingga Asrul Sani.

Dulu  itu saya pernah bertanya pada guru. “Boleh saya dipinjamkan bukunya untuk dibaca di rumah?” Tapi perpustakaan sekolah tak menyediakan buku itu. 

Satu- satunya karya sastra yang akhirnya saya pernah pegang bukunya, waktu SD, di Palembang, dipinjamkan guru. Itu buku puisi Chairil Anwar.

Saya coba baca buku puisi itu. Usia saya sekitar 10-11 tahun. Tapi sungguh saya banyak tak mengerti makna puisinya.

Kini semua buku yang saya dengar sejak SD dan SMP tersaji di hadapan saya. 

Di kantor, di meja sofa, 30 buku itu saya jejer. Saya katakan kepada office boy, yang acap membersihkan ruangan saya: “30 buku ini jangan disingkirkan dari meja.”

Office boy itu bertanya: “ini kan meja untuk menyediakan minum untuk tamu, pak?” Secara berseloroh saya jawab. “Ini buku minuman rohani. Justru bagus dan sehat untuk tamu.”

-000-

Imajinasi kedua berita yang sempat saya baca. Itu tahun 2012 di perpustakaan konggres Amerika Serikat.

Saat itu dibuka pameran berbagai buku yang membentuk budaya dan batin Amerika Serikat. Buku itu didigitalisasi, dicetak ulang, dan dipamerkan.

Ada buku Federalist (terbit tahun 1787). Buku ini terdiri dari 85 esai the founding fathers of america. Ada tulisan Alexander Hamilton. Ada pula esai James Madison dan John Jay.

Ketika saya mengambil kelas public policy di Amerika Serikat, buku ini menjadi referensi.

Dipamerkan pula Novel Harriet Beechew Stowe: Uncle Tom’s Cabin (1852). Ini novel berpengaruh soal kisah perbudakan di Amerika Serikat.

Dikisahkan Abraham Lincoln pernah berjumpa Harriet sang penulis. Lincoln berkomentar: “Oh, ini dia wanita yang menyebabkan peristiwa besar di Amerika Serikat!”

Novel Harriet dianggap ikut menginspirasi dihapusnya perbudakan di Amerika Serikat.

Amerika Serikat begitu merawat aneka buku fiksi dan non- fiksi. Khususnya yang memberikan warna budaya masyarakat.

Mengapa tidak di Indonesia? Saatnya Indonesia juga menyediakan kembali aneka buku pentingnya, agar mudah diakses.

-000-

Imajinasi ketiga adalah mimpi saya pribadi sebagai aktivis, penulis, juga yang sekarang terpilih selaku ketua umum persatuan penulis Indonesia: Satupena.

Harus ada monumen yang pernah saya buat ketika mendapatkan amanah menjadi ketua umum.

Sudah saya pilih. Itu adalah 100 buku utama Indonesia. Bersama tim, akan dipilih 100 buku yang ikut mewarnai perjalanan budaya Indonesia.

100 buku ini akan disediakan dalam Print on Demand. 100 buku itu harus mudah diakses kembali.

Panitia sedang menyeleksinya. Pastilah ada dalam list itu, buku Bung Karno: Di bawah Bendera Revolusi.  Buku Bung Hatta: Demokrasi Kita. Bung Bung Syahrir: Renungan Indonesia.

Dan berbagai buku Balai Pustaka yang saya terima hari ini pastilah juga masuk dalam list itu.

-000-

Saya buka buku RA Kartini yang saya terima hari ini.!Surat Kartini kepada Nona  Zeehandelar, tanggal 23 Agustus 1900.

“Adat istiadat waktu itu tiada membolehkan perempuan berpelajaran di luar rumah, menduduki jabatan di dalam masyarakat.”

“Hanya satu jalan terbuka bagi gadis Bumiputra yang akan menempuh hidup. Ialah: Kawin!”

Inilah suasana batin gadis Indonesia 100 tahun lalu.

Kita berhutang budi kepada Balai Pustaka yang terus merawat berbagai buku utama. Melalui buku itu, kita membaca kembali batin Indonesia.***

Oleh: Denny JA

Komentar Anda

Berita Terkini