-->
    |

Fahri Bachmid Sosok Ahli Yang Meyakinkan Hakim Tunggal Tolak Praperadilan Tersangka Ferry Tanaya

Faktanews.id - Hakim tunggal Andi Adha menolak seluruh gugatan praperadilan yang diajukan seorang pengusaha Ferry Tanaya. Ferry Tanaya ini sebagai pemohon praperadilan dan menggugat Kejati Maluku.

Ferry Tanaya mengajukan gugatan praperadilan karena dirinya tidak terima ditetapkan sebagai tersangka untuk kedua kalinya dalam kasus dugaan korupsi pembelian lahan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) 10 megawatt di Namlea, Kabupaten Buru, Maluku.

Namun, usaha Ferry Tanaya dan kuasa hukumnya tak membuahkan hasil. Sebab, hakim menolak seluruh dalil yang dimohonkan Ferry Tanaya bersama kuasa bukumnya. Hakim Andi Adha dalam pertimbangan putusannya mengatakan penetapan tersangka yang dilakukan penyidik kepada Ferry Tanaya sesuai aturan karena penyidik sudah melakukan rangkaian penyidikan, seperti penemuan dua alat bukti baru dan meminta keterangan sejumlah ahli.

"Menimbang bahwa dari alat bukti saksi dan para ahli serta barang bukti di atas maka hakim berpendapat penetapan tersangka telah didukung dengan alat bukti yang sah. Maka permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum," kata Andi Adha saat membacakan amar putusan di Pengadilan Negeri Ambon, Senin (2/3/2021).

Sebelum sidang putusan digelar, ada seorang sosok ahli yang meyakinkan hakim Andi Adha, untuk menolak seluruh gugatan yang diajukan Ferry Tanaya bersama kuasa hukumnya, yaitu Dr.Fahri Bachmid,S.H.,M.H.

Dr.Fahri Bachmid,S.H.,M.H. merupakan seorang Pakar Hukum Tata Negara dan Ahli Konstitusi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar, Negara Republik Indonesia melalui Kejaksaan Tinggi Maluku secara resmi menunjuk Dr.Fahri Bachmid,S.H.,M.H. untuk menjadi saksi ahli dari pihak Kejaksaan Tinggi Maluku selaku Termohon dalam perkara ini.

Fahri Bachmid, secara akademik maupun teoritik berhasil mematahkan semua dalil dan argumentasi yang diajukan pemohon maupun saksi ahlinya yang bersaksi pada sidang praperadilan. Saksi ahli yang diajukan pemohon pada sidang praperadilan tersebut adalah Guru besar Hukum Pidana dari Universitas Hasanuddin, Makasar, Prof.Dr. Said karim,SH.,MH. Namun, Said Karim tak bisa meyakinkan hakim tentang tidak sahnya penetapan tersangka Ferry Tanaya untuk kedua kalinya.

Menurut Fahri Bachmid, penetapan tersangka kepada Ferry Tanaya lebih dari satu kali secara konstitusional diperbolehkan sesuai tugas dan wewenang penyidik, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI.

"Bahwa penyidikan kedua kali, bermakna sebagai proses formil penyidikan yang berulang setelah adanya penetapan tersangka sebelumnya. Penyidikan kedua kalinya tidaklah berkonotasi sebagai sebuah pelanggaran hukum atau tidak berbasis pada kewenangan, karena hal itu lumrah dilakukan dan memiliki dasar hukum kuat “basis legal”meskipun sebelumnya telah ada putusan yang menyatakan batal penetapan tersangka," ujar Fahri Bachmid kepada wartawan, Jumat (5/1/2021).

Menurut Fahri Bachmid, meskipun sudah ada putusan pembatalan penetapan tersangka sebelumnya, hal itu tidak berarti menjadi halangan atau larangan dan menggugurkan kewenangan Penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi, sepanjang dilakukan sesuai prosedur dengan komponen dua alat bukti baru yang telah dirubah secara substansial dan berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara. Hal ini, kata Fahri sesuai Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 42/PUU-XV/2017.

Fahri Bachmid juga menyampaikan penafsiran Pasal 76 ayat (1) KUHP. Menurut Fahri mengatakan makna Pasal 76 ayat (1) KUHP tersebut berlaku spesifik jika hanya sebuah perkara atau subjek penyidikan telah dilakukan penuntutan pada fase pengadilan pokok perkara, dan telah berkekuatan hukum tetap  “in kracht van gewijsde”. Dengan demikian, lanjutnya, secara “acontrario” bagi setiap perkara yang belum dilakukan penuntutan atau pokok perkara atau masih pernah sebatas level formalitas melalui pemeriksaan praperadilan, maka prosesnya sah dilakukan. 

"Artinya penyidikan yang notabene masih pada tahapan formal belaka meskipun kedua kalinya tetap dibolehkan. Putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan praperadilan tidak menutup kewenangan Penyidik untuk melakukan penyidikan kembali," tambahnya.

Terkait tak dikenalnya azaz “nebis in idem” dalam putusan praperadilan, Fahri Bachmid, menyampaikan bahwa Praperadilan sejatinya merupakan pranata dan kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan memutus persoalan yang berhubungan dengan kewenangan upaya paksa dari aparat penegak hukum, termasuk pula masalah ganti rugi. Praperadilan didesain untuk memberikan perlindungan pada masa “pra persidangan” bagi tersangka atau orang lain yang merasa hak-nya dilanggar oleh kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum.  

Karena alasan itu, papar Fahri Bachmid, maka praperadilan tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa pokok perkara. Secara eksplisit hal tersebut dapat dilihat dalam KUHAP pasal 82 ayat (1) huruf d yang menyatakan bahwa “dalam hal suatu perkara sudah mulai. diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;”. Pengaturan itu menunjukkan bahwa ada dimensi dan jurisdiksi yang berbeda dari praperadilan yang membedakannya dengan pemeriksaan pokok perkara. Secara langsung praperadilan juga hanya ditujukan untuk memeriksa aspek “formil”. 

"Aspek yang diperiksa terbatas pada konteks sah atau tidaknya suatu upaya paksa dan tidak berhubungan pada pmeriksaan pokok perkara. Untuk kewenangan baru praperadilan yaitu memeriksa sah atau tidaknya penetapan tersangka, Pasal 2 ayat (2) PERMA No. 4 Tahun 2016. Bahkan secara eksplitis menyatakan bahwa sah tidaknya penetapan tersangka hanya dinilai berdasarkan “aspek formil” melalui paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah. Secara praktik dan teori yang dimaksud “aspek formil” adalah aspek perolehan dan validitas alat bukti," katanya.

"Itulah mengapa putusan Praperadilan tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk kembali menetapkan seseorang menjadi tersangka sebagaimana jelas diatur dalam Pasal 2 ayat (3) PERMA No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, sepanjang penyidik yakin dan memiliki 2 (dua) alat bukti sebagaimana diatur dalam PERMA No. 4 Tahun 2016 jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 42/PUUXV/2017 tanggal 10 Oktober 2017," tandas Fahri Bachmid, yang merupakan mantan Pengacara Presiden Jokowi - KH. Maaruf Amin ini.

Lalu siapa Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. ini? Dia diketahui sebagai Pakar Hukum Tata Negara dan Ahli Konstitusi, sudah berpengalaman dalam memberikan keterangan ahli dalam sejumlah persidangan. Misalnya, Dia menjadi ahli dalam Persidangan Peninjauan Kembali sebagai Ahli Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara secara Tertulis (Affidavit) pada persidangan Peninjauan Kembali Ke-2 perihal pengajuan Kontra Memori yang dihadirkan Termohon dari Kantor Hukum Prof.Dr.Yusril Ihza Mahendra,S.H.,M.Sc, yaitu Ihza & Ihza Law Firm Bali Office selaku Kuasa PT. Asuransi Ramayana atas putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 731 PK/PDT/2018, melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,Tahun 2019.

Kemudian pada Oktober 2020, Fahri Bachmid, menjadi ahli dalam perkara Judicial Review nomor perkara No. 60/P/HUM/ 2020. Dia dihadirkan oleh Kuasa Hukurn Induk Koperasi Kepolisian Negara RI (INKOPPOL) di Mahkamah Agung. 

Fahri juga pernah diminta menyampaikan keterangan ahli tingkat Penyidikan di Kejaksaan Negeri Belitung Timur Sehubungan dengan pelaporan dugaan tindak pidana pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Belitung Timur Tahun 2020. Dalam kasus ini, Fahru Bachmid, diminta oleh Divisi Advokasi Tim Pemenangan Koalisi Partai Politik Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Belitung Timur (Yuri Kemal Fadlullah, S.H., M.H. dan Nurdiansyah) yang teregister dengan No. 03/Reg/LP/PB/Kab/09.07/Xl/2020 di Bawaslu Kab. Belitung Timur melalui Media Daring.

Selain itu, Fahri juga pernah menjadi ahli dan diminta memberikan keterangan pada persidangan di Pengadilan Negeri Tanjung Pandan sehubungan dengan tindak pidana khusus Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Belitung Timur Tahun 2020 berdasarkan Nomor Perkara 174/Pid.Sus/2020/PN.Tdn. atas nama terdakwa Syarifah Amelia Als Amel Binti Akhmad Satiri. Dan pada 2019 silam, Fahri Bachmid menjadi  Tim Kuasa  Hukum Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Jokowi-Ma’ruf Amin  di Mahkamah Konstitusi RI bersama sang gurunya Prof.Dr.Yusril Ihza Mahendra,S.H.,M.Sc. (FIK)

Komentar Anda

Berita Terkini