-->
    |

Tugas LPSK Bertambah, 'Bensin'-nya Justru Dikurangi

Faktanews.id - Tugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban terus bertambah. Di sisi lain “bensin”-nya justru dikurangi. Pada masa pandemi, LPSK mampu membangun model new normal ala LPSK yang patut dicontoh kementerian/lembaga lain karena prestasi kerjanya tidak menurun. 

Demikian penilaian anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan menanggapi Laporan Kinerja LPSK Tahun 2020, Jumat (15/1-2021). Selain Arteria, kegiatan yang disiarkan dari Ruang Abdul Muis Kompleks DPR RI melalui aplikasi Zoom Meeting itu menampilkan Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu, Direktur Hukum dan Regulasi Bappenas Prahesti Pandanwangi dan pakar hukum pidana Choirul Huda. Pada awal acara juga disampaikan testimoni dari penyintas kasus kekerasan seksual.

Menurut Arteria, capaian LPSK yang menggembirakan, pascaterbitnya PP 35 Tahun 2020 dan usaha panjang di tahun 2020, LPSK membayarkan kompensasi material bagi korban terorisme masa lalu. Hal ini bisa dimasukkan dalam capaian negara sebagai bukti kehadiran negara. “Ini sudah diklaim sebagai keberhasilan pemerintah, harusnya ada “ongkos”nya. Kalau melakukan keberpihakan, perlu juga memerhatikan keberpihakan anggaran, harus proposional. Anggaran yang minim, tidak kemudian ikutan dipotong seperti K/L lain yang memiliki anggaran jauh lebih besar,” ujar dia.

Arteria mengapresiasi diselenggarakannya kegiatan Refleksi Awal Tahun, yang memperlihatkan konsistensi dan keseriusan LPSK dalam memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban. Laporan ini menggambarkan kinerja LPSK secara komprehensif, jujur dan apa adanya. “Tidak banyak yang berani seperti LPSK. Ini bisa jadi contoh K/L lain,” kata Arteria.

Masih kata politikus PDIP ini, Laporan Kinerja LPSK Tahun 2020 menunjukkan kematangan dan profesional, termasuk membuktikan keseriusan Pimpinan LPSK dalam mengedepankan tata kelola pemerintah yang menghadirkan good governance.

Terkait kelembagaan, terutama dukungan anggaran, Arteria punya bahasa sendiri. Dia mengakui, DPR belum meyakinkan politik anggaran yang mencukupi dan memastikan kerja-kerja LPSK. “Kami mohon maaf bahwa DPR belum mampu meyakinkan secara utuh mengenai keberadaan LPSK yang sangat penting dan merupakan bagian dari simbolisasi prinsip negara hukum,” ujar Arteria. 

Arteria juga menyoroti beban kerja di LPSK. Permasalahan yang harus diperhatikan serius oleh LPSK yaitu perbandingan antara beban kerja dengan jumlah pegawai yang timpang. Dia mengomentari status pegawai LPSK yang 44,7% yang masih berstatus kontrak. “LPSK perlu mengadakan pertemuan dengan KemenPAN RB dan Komisi III DPR untuk bahas status kepegawaian ini,” imbuh dia. 

Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu berharap LPSK jadi yang terdepan dalam perlindungan saksi dan korban. Saat ini, LPSK belum sepenuhnya berada pada sistem peradilan pidana, melainkan masih jadi pelengkap dan bukan aktor utama. “Tidak heran jika masih ada perbedaan pandangan dengan penegak hukum,” ungkap Eras seraya menilai pentingnya melakukan penataan kembali agar LPSK termasuk dalam sistem peradilan pidana.

Eras berpendapat peran LPSK dalam konstruksi perwujudan keadilan restoratif belum siginifikan. Beberapa diskusi yang telah dilakukan, ke depan korban diharapkan punya peran lebih. Pada kasus-kasus tertentu, korban dapat miliki nilai tawar. Solusi ini diharapkan bisa mengurangi beban lapas. “Pada kasus tertentu kerugiannya materi. Ke depan, korban bisa punya peran. Jika pelaku bersedia mengganti rugi, tidak harus dihukum dan bisa kurangi beban lapas,” katanya.

Pakar hukum pidana Choirul Huda menyatakan, kehadiran LPSK mengubah orientasi peradilan pidana, dari offender oriented ke pemenuhan hak saksi dan korban. “KUHAP memang belum beri perhatian kepada korban secara baik. Dengan hadirnya LPSK, hal-hal yang berkaitan dengan hak korban pidana bisa diakomodir,” jelas pengajar di Universitas Muhammadiyah Jakarta ini.

Choirul Huda menggarisbawahi tingginya permohonan perlindungan yang diajukan oleh masyarakat yang menjadi saksi dan korban. Ke depan, diharapkan terdapat keseimbangan antara permohonan dari saksi dan korban dengan tindakan proaktif dari LPSK. “Kami mendorong LPSK untuk lebih banyak melakukan tindakan proaktif dibandingkan menunggu permohonan dari masyarakat,” imbuh dia. 

Sementara Direktur Hukum dan Regulasi Bappenas Prahesti Pandanwangi mengakui kebutuhan masyarakat akan perlindungan makin tinggi. Senada dengan Choirul Huda, Prahesti juga mendorong LPSK proaktif sehingga lebih hadir sebagai perwakilan negara. “Penting juga untuk melakukan kolaborasi dengan K/L, pemerintah daerah dan kelompok masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan rehab psikososial dan layanan lain,” ujarnya.

Prahesti juga sepemahaman dengan para penanggap lainnya untuk meletakkan LPSK dalam sistem peradilan pidana. Dengan demikian peran LPSK dapat dipahami dan diimplementasi dengan baik oleh aparat penegak hukum, khususnya dalam konteks perlindungan saksi dan korban. “Koordinasi LPSK dengan aparat penegak hukum menjadi kunci sinergisitas tersebut, diperkuat dengan meningkatkan pemahaman publik akan kerja-kerja LPSK,” pungkasnya.

Di awal acara, disampaikan testimoni dari TW, penyintas kasus kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tanggah (KDRT) yang pernah menjadi Terlindung LPSK. Dalam testimoninya, TW menuturkan perjuangannya mengejar keadilan, mulai dari sikap ibunya yang tidak percaya akan kesaksiannya bahwa pelaku yang merupakan pacar ibunya  telah melakukan kekerasan seksual terhadap diri korban. Bahkan, ibu korban menikah dengan pelaku tersebut.

Dua tahun TW memperjuangkan kasusnya dan menemui banyak kesulitan dan hambatan. Perkaranya sempat mandek lima bulan karena kurang bukti dan kurang saksi hingga akhirnya TW bertemu dengabn LPSK. Dalam perlindungan LPSK, TW mendapatkan layanan rehabilitasi psikologis dan sebagai korban, merasa sangat tertolong. LPSK, menurutnya, juga mengakomodir kebutuhannya sebisa mungkin, melakukan rehabilitasi dan memastikan kenyamanan.

Yang paling berkesan bagi korban manakala sehari jelang persidangan. LPSK hadir ke daerah domisili korban dan membimbing tentang tata cara sidang. Pada hari persidangan, semua kebutuhan korban, mulai transportasi hingga pengawalan dan pengamanan disiapkan. “Akhirnya saya bisa bersaksi 4 jam tanpa henti, menjawab pertanyaan yang seakan mengorek luka yang masih basah,” tuturnya.

Pelaku akhirnya divonis 13 tahun dengan denda Rp1,5 miliar. Pelaku banding dan ajukan kasasi. Namun, pada putusan akhirnya, Mahkamah Agung malah menaikkan hukuman pelaku menjadi 18 tahun dan denda Rp2 m. “Apakah saya senang? Tentu. Tapi kemenangan ini lebih sebagai preseden sangat baik dalam penegakan hukum di negeri ini,” ujarnya seraya berharap putusan kasusnya dapat menjadi yurisprudensi pada kasus kekerasan seksual terutama kekerasan seksual terhadap anak.

Di akhir testimoninya, TW menyatakan kerugian korban kekerasan seksual tidak dapat dinominalkan. Mereka mengalami luka mendalam yang mau tidak mau dibawa sampai mati. “Setidaknya yang bisa dilakukan negara adalah dengan memberikan dukungan, keberpihakan kepada korban dan mengganjar pelaku dengan hukuman setimpal,” katanya. (FIK)

Komentar Anda

Berita Terkini