-->
    |

Pemerintah dan DPR Didorong Selesaikan RUU Etika Penyelenggara Negara

Faktanews.id - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mendorong pemerintah bersama DPR RI kembali membahas dan menyelesaikan RUU Etika Penyelenggara Negara, yang sebelumnya pernah masuk dalam Prolegnas 2014-2019 namun karena keterbatasan waktu, tak sempat diselesaikan. Penyelesaian RUU tersebut merupakan amanah sekaligus turunan dari Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. 

"Di dalam Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tersebut, etika politik dan pemerintahan yang akan menjadi tema bahasan dalam konferensi ini mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, dan rendah hati. Serta siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat," ujar Bamsoet usai membuka Konferensi Nasional II Etika Kehidupan Berbangsa, di MPR RI, Rabu (11/11/20). 

Konferensi Nasional II Etika Kehidupan Berbangsa diselenggarakan MPR RI bekerjasama dengan Komisi Yudisial (KY) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Turut hadir antara lain Ketua KY Jaja Ahmad Jayus, Ketua DKPP Prof. Muhammad, anggota DPD RI Prof. Jimly Asshiddiqie, dan anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan Andi Mattalatta. 

Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, melalui Konferensi Nasional II Etika Kehidupan Berbangsa, diharapkan dapat memberikan rumusan dalam upaya penegakan etika kehidupan berbangsa. Khususnya mengenai etika politik dan pemerintahan, serta etika penegakan hukum yang berkeadilan. Salah satunya dengan menyiapkan naskah akademik RUU Etika Penyelenggara Negara. 

"Etika merupakan pondasi bagi kelangsungan hidup bangsa. Runtuhnya etika berbangsa, akan mengakibatkan runtuhnya bangsa tersebut. Dalam hubungan inilah, MPR RI mengeluarkan Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001, yang meletakkan basis etika dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, demi terwujudnya tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)," jelas Bamsoet. 

Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menerangkan, sejarah terbitnya Ketetapan MPR RI tersebut berawal dari keprihatinan krisis multidimensional, yang memunculkan ancaman serius terhadap persatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa. Hal itu tampak dari konflik sosial yang berkepanjangan, berkurangnya sopan santun dan budi pekerti luhur dalam pergaulan sosial, melemahnya kejujuran dan sikap amanah dalam pergaulan hidup sehari-hari, serta pengabaian terhadap ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan. 

"Sesuai Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002, Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang," terang Bamsoet. 

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia ini menambahkan, keberlakuan Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 dipertegas melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada intinya menempatkan Ketetapan MPR RI di dalam hierarki peraturan perundang-undangan di bawah UUD NRI 1945, dan di atas undang-undang. 

"Sayangnya tak banyak yang menyadari keberadaan Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 ini. Padahal, Ketetapan MPR tersebut mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh penyelenggara negara dan juga masyarakat. Tak mengherankan jika banyak pejabat publik melakukan pengingkaran terhadap etika kehidupan berbangsa," pungkas Bamsoet. (MMA)

Komentar Anda

Berita Terkini