-->
    |

Ajaran Sosial dari Syeikh Abdul Qadir al-Jailani

Faktanews.id - Umumnya masyarakat kita lebih banyak memperhatikan dimensi asoterik dari ajaran Syeikh Abdul Qadir al-Jailani dan kurang memberi perhatian pada ajaran sosial kemasyarakatannya.

Dalam Kitab Al-Fath Al-Rabbani, Syeik Abdul Qadir al-Jailani menganjurkan pengikutnya agar "menginginkan orang lain mendapatkan apa yang dirinya sendiri inginkan dan mencegah orang lain tidak memperoleh apa yang dirinya sendiri tidak inginkan untuk memperolehnya (Fath-Al-Rabbani, 107). Beliau juga mengatakan "Siapa saja yang mengisi perutnya ketika tetangganya dalam keadaan lapar adalah orang yang lemah Imannya". Dalam hal ini beliau mengutip Al-Quran, "Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan" (QS. Ali Imran (3):134). Beliau menganggap bahwa puncak ketinggian spritualitas seorang hamba adalah ketulusannya dalam menolong orang fakir yang membutuhkan uluran tangan. Pelayanan kepada sesama manusia, menurut beliau adalah perwujudan dari nilai-nilai spritual.

Dalam Kitab Ghunanyat Al Thalibin, h.295-6, beliau mengatakan siapapun yang berhasrat untuk mengayun langkah di jalur kebenaran dan ketaatan, pertama-tama wajib baginya untuk menjauhkan diri dari menyakiti orang lain. Kecintaan seorang manusia  kepada sesama manusia mencapai ketinggiannya tatkala ia mengatakan bahwa dirinya berhasrat untuk menutup pintu neraka dan membukakan pintu surga bagi setiap manusia.

Mengutip hadits dari Aisyah radhiallahu anha, beliau berkata bahwa: kesalahan dan dosa manusia terbagi tiga: (1) dosa yang dilakukan terhadap dirinya sendiri, dan sangat mungkin Tuhan mengampuni dosa ini (2) dosa syirik terhadap Tuhan, sebagai dosa yang tidak terampuni, (3) perbuatan aniaya pada orang lain, yang merupakan dosa tak mungkin dimaafkan, terkecuali telah dimaafkan oleh orang yang bersanglutan (Kitab, Ghunayat Al-Thalibiin, h. 262-63).

Pada kitab yang sama di halaman 478, beliau membahas tentang kemunafikan yang menyebabkan kebencian Allah SWT. Bahkan, seorang alim yang bertindak tidak sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya tiada lain ada seorang munafik. Beliau memperingatkan umat untuk menjauhi ulama yang tidak sesuai perkataan dan perbuatannya (Fath Rabbani h.83).

Walau terkadang Syeik Abdul Qadir al-Jailani menganjurkan umat untuk menghentikan keterlibatan pada perburuan harta bendawi, karena suatu sikap yang dapat mendatangkan kesengsaraan, namun beliau menentang segal bentuk parasitisime atau sikap mengandalkan orang lain, dan menganjurkan manusia (1) hidup dengan sumber pendapatan yang halal (2) mencari sepotong roti, atau sesuap nasi dengan usahanya sendiri (3) menafkahkan sebagian hasil usaha yang diperolehnya untuk orang lain. Beliau menganjurkan murid-muridnya untuk tidak mengandalkan siapa pun menyediakan makanan untuknya, ataupun pada keahlian dan ketrampilan tertentu untuk mencari sepotong roti pun (Al-Fath Rabbani 47, 27, 19, 130, 145, dan 160).

Syeikh Abdul Qadir al-Jailani menghindar dari para penguasa, karena berpendirian bahwa kemakmuran yang mereka peroleh (penguasa saat itu) di dapat dengan mengeksploitasi manusia melalui cara-cara yang tidak benar menurut syariat. Sekalipun penguasa Abbasiyah mendambakan pemberkatan darinya, kunjungan mereka tidak membuat Syeikh berbesar hati. Dilaporkan bahwa Sultan Sanjar pernah menwarkan untuk memberi keluasaan padanya di provinsi Sistan, guna menyokong khanqahnya (madrasahnya), tetapi ia menepis tawaran ini, dengan sebuah syair "Lebih baik wajahku menjelma hitam bagailan langit-langit Sanjar.....Jikalu aku ingin menuai kesengsaraan, akan kuterima apa pun yang ditawarkan negeri Sanjar.

Demikian sedikit pelajaran dari Syeikh Abdul Qadir al-jailan, dalam hal  pentingnya spritualitas yang berdimensi sosial, sebagai perwujudan atas pencapaian maqom yang tinggi seorang hamba.

Semoga kita dapat memetik hikmah....

Oleh: Hasanuddin

Penulis tinggal di Depok, Jawa Barat
Komentar Anda

Berita Terkini