-->
    |

Metafisika Aristoteles

Faktanews.id - "Tidak ada bukti bahwa Aristoteles meyakini immortalitas personal, dalam arti seperti yang diajarkan Plato dan berikutnya oleh agama Kristen. Yang Ia percaya hanyalah bahwa, sejauh manusia bersikap rasional, ia mengalami bagian dalam keilahian, yang bersifat kekal. Terbuka kemungkinan bagi manusia untuk meningkatkan unsur ilahi dalam kodratnya; dan melakukan hal demikian itu, merupakan keutamaan yang tertinggi"*

Metafisika merupakan salah satu tema pembahasan dalam filsafat yang memperoleh perhatian serius dari Aristoteles. Namun sebelum perhatian kita tujukan ke persoalan-persoalan utama yang menjadi objek pembahasan Aristoteles, seperti halnya ketika membicarakan pemikiran seorang filsuf, kita perlu pertama kali menanyakan siapa pendahulunya dan penerusnya.

Aristoteles dilahirkan di kota Stagyra di Thrace. Ia di kirim ke Athena oleh ayahnya (seorang Dokter pribadi Raja Macedonia) pada usia delapan belas tahun, dan ia belajar di Akademia yang dipimpin Plato, selama hampir dua puluh tahun, hingga wafatnya Plato tahun 348-7 SM. Tahun 343 SM ia menjadi Guru dari Alexander the Great (putra mahkota Macedonia) yang pada saat itu masih berusia tiga belas tahun. Mungkin karena sepak terjang dari Alexander (takabbur, pemabuk, keji, pendendam, dan sangat mempercayai tahayyul) semasa berkuasa di Macedonia inilah sehingga banyak penulis memvonis Aristoteles sebagai "memiliki pengaruh buruk yang amat besar". Namun sebaliknya, ada juga yang berpendapat bahwa justru di tangan Alexander inilah tradisi Yunani dapat bertahan. Alexander meninggal tahun 323 SM, dan pasca kematiannya, Aristoteles kembali bermukim di Athena. Namun tidak berselang beberapa tahun, orang-orang Athena, yang makin kuat kepercayaannya kepada tahayyul, melakukan pemberontakan terhadap Macedonia, dan menyerang siapa saja pendukungnya, termasuk Aristoteles, dengan tuduhan mendurhakai agama. Berbeda dengan Sokrates yang menerima proses hukum, termasuk menerima dengan ikhlas tuntutan hukuman mati yang ditimpakan kepadanya, Aristoteles justru melarikan diri, dan setahun kemudian, tepatnya tahun 322 SM, Aristoteles meninggal dalam pelariannya.


Metafisika Aristoteles

Persoalan-persoalan Filsafat Metafisika  menyimpan banyak misteri untuk dipecahkan. Mungkin karena itu, para saintis modern mengambil jalan pintas dengan menolaknya, dikarenakan tidak adanya instrumen pembuktian (unobsertable) atas argumen-argumen yang diajukan dalam metafisika.

Secara garis besar, metafisika Aristoteles bisa di lukiskan sebagai pemikiran Plato "yang diperlunak". Tentu saja itu kesimpulan symplistik. Karena jika detilnya kita amati, dan perbedaan-perbedaan mendasar dari apa yang di sampaikan Aristoteles, atas tema-tema utama yang di ajukan oleh Plato.

Masalah pertama yang dikritik oleh Aristoteles dari gagasan Plato adalah mengenai teori ide serta doktrin alternatif tentang universal-universal. Ketika membicarakan masalah ini, Aristoteles mengajukan argumen tentang "orang ketiga". Menurutnya: jika seorang manusia, adalah manusia, karena ia adalah manusia ideal, maka mesti harus ada manusia ideal lainnya lagi, yang terhadapnya manusia biasa dan manusia ideal tadi mempersamakan diri. Sebab, jika manusia menyandanng predikat yang sama, ini bukan karena hubungannya dengan sesuatu yang sejenis dengan manusia itu sendiri, melainkan karena sesuatu yang lebih ideal. Namun, Aristoteles kurang detail dalam menjelaskan persoalan ini, sehingga menyebabkan kontroversi pada abad pertengahan, yang membelah pengikutnya menjadi golongan nominalis dan realis.

Dalam taraf tertentu, teori universal-universal dari Aristoteles sesungguhnya sangat sederhana. Yang ia maksudkan dengan universal adalah suatu ciri yang dapat dipredikatkan, pada banyak subjek, sedangkan individu adalah sesuatu yang tidak dipredikatkan. Yang diacu oleh nama diri adalah 'substansi', sedangkan yang diacu oleh kata sifat adalah nama kelompok, seperti dalam kata 'manusiawi', 'hewani' dan seterusnya, yang itu adalah sesuatu yang universal. Substansi adalah sesuai "yang ini", namun 'unkversal' adalah sesuatu "yang demikian'. Universal menunjukkan jenis benda, namun bukan benda yang nyata. Universal bukan substansi, sebab universal bukan sesuatu "yang ini". Itulah argumen Aristoteles sehingga menolak argumen Plato tentang 'universal'. Menurutnya dari argumen tersebut, mustahil bahwa suatu istilah universal menjadi nama suatu substansi. Sebab, substansi suatu hal, adalah sesuatu yang khas pada dirinya sendiri, yang tidak menjadi bagian dari sesuatu yang lain; sementara universal bersifat umum, karena apa yang disebut universal adalah sesuatu yang menjadi bagian lebih dari satu hal. Inilah kenapa *sesuatu yang universal, tidak dapat eksis dengan dirinya sendiri, melainkan hanya bisa eksis di dalam hal-hal yang partikular.*

Dasar sesungguhnya dari perbedaan tersebut adalah masalah linguistik: lebih spesific tentang sintaksis. Ada nama-nama diri, kata-kata sifat, dan kata-kata penghubung. Namun upaya yang dilakukan Aristoteles atas teori universal ini banyak memberi kemajuan, atas apa yang telah dirintis oleh Plato.

Esensi dalam pandangan Aristoteles.

Aristoteles misalnya dalam menjelaskan teori universal memperkenalkan satu istilah baru, 'esensi'. Istilah ini bukan padanan universal. Esensi adalah "siapakah aku berdasarkan diriku yang paling hakiki" ? Ini berarti kata esensi mengandung pengertian sifat-sifat yang jika di hapuskan pada diri sesuatu (aku, anda), anda akan berubah bukan aku atau anda lagi. Aristoteles menyebut bahwa tiap defenisi atas sesuatu, mestilah menyebut esensi dari sesuatu yang didefenisikan.

Persoalan selanjutnya dari apa yang dibahas Aristoteles adalah perbedaan "forma" dan "materi". Penting diperhatikan bahwa Aristoteles menjadikan "forma" sebagai lawan dari kata "materi" dan sesuatu yang berlawanan dengan 'forma', berbeda dengan "materi", yang oleh Aristoteles di posisikan sebagai lawan dari kata "jiwa".

Di contohkan bahwa sebuah patung pualam; disini kata pualam adalah materi, sedangkan bentuk yang dicipta oleh pemahat adalah forma. Misalnya lagi dalam kalimat "laut yang tenang"; air adalah materi, dan ketenangan adalah forma. Dalam kata "bola perunggu"; perunggu adalah materi, kebolaan adalah forma.

Aristoteles lalu menambahkan, bahwa dari forma inilah materi menjadi sesuatu yang tertentu, dan sesuatu itulah yang disebutnya sebagai substansi. Sebab itu, 'sesuatu' itu mestilah terbatas, dan batasan itulah sebagai forma-nya. Jika dikatakan jiwa adalah forma dari tubuh, jelas akan nampak bahwa yang di maksud forma bukanlah "bentuk".  Menurut Aristoteles, jiwalah yang menyebabkan tubuh menjadi 'sesuatu' yang memiliki kesatuan dan tujuan, serta ciri-ciri yang lazim kita kaitkan dengan istilah "organisme". Tujuan mata memang adalah melihat, namun mata tidak dapat melihat jika dipisahkan dari tubuh. Sebenarnya, jiwalah yang melihat. Maka forma adalah apa yang memberikan kesatuan pada sejumlah materi, dan kesatuan itu lazimnya bersifat teleologis. Aristoteles menggunakan istilah teleologis ini, sebagai yang kemudian di kenal dengan metafisika. Dengan demikian, perubahan teori Plato di tangan Aristoteles, lebih tepat jika disimpulkan bahwa Aristoteles menampilkannya sebagai sesuatu yang berwujud. Hal ini dapat dilihat dari kesimpulannya bahwa: jika terdapat lebih banyak forma dan lebih sedikit materi, maka segala sesuatu semakin bisa di ketahui. Pandangan ini membawa pada suatu kesimpulan bahwa forma ada pada banyak benda partikuler.

Potensialitas dan Aktualitas

Doktrin tentang materi dan forma dalam filsafat Aristoteles berkaitan dengan pembedaan potensialitas dan aktualitas. Materi mentah dikonsepsikan sebagai potensialitas forma; sementara semua perubahan adalah evolusi, dalam arti bahwa semua perubahan itu sesuatu yang memiliki lebih banyak forma dari pada sebelumnya. Apa yang lebih banyak memiliki forma, berarti lebih "aktual".

Tuhan adalah forma murni sekaligus aktualitas murni pada diri-Nya, dengan demikian mustahil mengalami perubahan.

Dengan demikian, selain-Nya mengalami perubahan, dan dengan demikian alam semesta dan segala isinya senantiasa berkembang menuju suatu yang lebih baik daripada sebelumnya.

Kesimpulan itulah yang membuat Aristoteles menggunakan kata teologi, untuk apa yang kita kenal dengan istilah metafisika.

Causa Prima

Argumen Aristoteles tentang keberadaan Tuhan di kenal luas sebagai penggerak utama atau causa prima. Ia mengemukakan sutau aksioma bahwa: pastilah ada sesuatu yang menciptakan gerak, dan sesuatu ini pada dirinya sendiri haruslah tidak tergerakkan, dan pastilah abadi, merupakan substansi, dan aktualitas.

Objek pikiran dan objek keinginan, menurut Aristoteles menyebabkan gerak, tanpa dirinya sendiri harus bergerak. Jadi Tuhan melahirkan gerak dengan dicintai, sedangkan hal-hal lain menyebabkan terjadinya gerak dengan cara dirinya sendiri harus bergerak. Tuhan menurut Aristoteles adalah pikiran murni: sebab pikiranlah yang terbaik. Hidup pun adalah bagian dari Tuhan; sebab kehidupan adalah aktualitas pikiran; dan aktualitas Tuhan yang tergantung pada dirinya sendiri adalah kehidupan yang terbaik dan kekal. Dengan demikian, Tuhan adalah suatu peng-ada yang hidup, baka, terbaik, sempurna, sehingga kehidupan dan keberlangsungan yang terus-menerus dan kekal adalah milik Tuhan, sebab 'inilah' Tuhan.

Dikatakan oleh Aristoteles bahwa: *maka jelas dari apa yang telah dikatakan bahwa ada suatu substansi yang kekal dan tak tergerakkan, dan berbeda dengan benda-benda indrawi. Telah ditunjukkan bahwa substansi ini tidak memiliki besaran, tidak memiliki bagian-bagian, dan tak dqpat terbagi-bagi. Juga bahwa ia tetap dan tak berubah; sebab segala perubahan lainnya mengikuti perubahan tempat.*

Menurut Betrand Russel, Tuhan yang dimaksud Aristoteles, bukanlah Tuhan Penyelenggara sebagaimana dalam keyakinan Kristen, sebab akan turunlah derajat kesempurnaan-Nya jika Ia memikirkan segala sesuatu selain yang sempurna, atau selain Diri-Nya sendiri. Pikiran Tuhan pastilah berpikir tentang diri-Nya sendiri (sebab inilah yang terbaik).

Konsepsi tentang penggerak, yang tak bergerak, dari Aristoteles ini yang paling banyak memperoleh perhatian para filsuf, hingga dewasa ini. Kritik dari filsuf modern mengenai hal ini muncul, terutama karena mereka hanya memahami faktor penggerak ini dari sisi sebagai penyebab "efisien" saja. Padahal menurut Aristoteles terdapat empat macam penyebab; Penyebab material, penyebab formal; penyebab efisien, dan penyebab final.

Apakah metafisika Aristoteles mengajarkan paham immortalitas sebagaimana yang diajarkan Plato ? Ibnu Rusyd mengatakan bahwa Aristoteles tidak mengajarkannya. Dalam buku On the Soul, Aristoteles bahkan memperolok teori perpindahan jiwa dari Pythagoras. Aristoteles berpendapat bahwa jiwa terikat dengan tubuh. Jiwa tidak terpisahkan dari tubuhnya. Namun ia menambahkan "atau bagian-bagian dari jiwa itu". Tubuh dan jiwa saling berkaitan sebagai materi dan forma. Jiwa adalah substansi dalam pengertian sebagai forma dari suatu tubuh materil yang memiliki potensialitas kehidupan didalamnya. Jiwa adalah substansi, dalam arti berkaitan dengan formula defenitif yang terdapat pada esensi sesuatu. Ini berarti, jiwa adalah "keapaan esensial". Jiwa adalah tahap pertama aktualitas tubuh alamiah yang memiliki potensialitas kehidupan didalamnya. Tubuh dengan demikian adalah sesuatu yang terorganisir. Jiwa adalah penyebab final atas tubuh.


Perbedaan Jiwa dengan Akal.


Masih dalam buku On The Soul, Aristoteles membedakan antara "jiwa" dan "akal". Ia menempatkan akal lebih tinggi kedudukannya daripada jiwa. Akal menurut Aristoteles adalah sesuatu yang mandiri yang ditanamkan  Tuhan ke dalam jiwa dan tak dapat hancur. Selain akal, semua bagian jiwa lainnya tidak dapat eksis secara mandiri. Hanya bisa eksis secara terorganisir. Akal adalah bagian diri yang dapat memahami matematika dan filsafat; apa yang menjadi objeknya bersifat kekal, dan karenanya akal itu sendiri dianggapnya kekal. Jiwa adalah sesuatu yang menggerakkan tubuh dan mempersepsi objek-objek inderawi; ia dicirikan oleh kemampuan memelihara diri, merasa, berpikir dan berkehendak. Tetapi akal memiliki fungsi memikirkan yang lebih besar, dan bisa memainkan fungsinya tanpa ketergantungan dengan tubuh atau indera.

Dengan demikian, ciri esensi dari jiwa dalam kaitannya sebagai forma dari tubuh, adalah bahwa ia menjadikan tubuh sebagai kesatuan organis, dan memiliki tujuan sebagai satu kesatuan.

Sedangkan akal adalah sesuatu yang berbeda, tidak terlalu terikat oleh tubuh; mungkin merupakan bagian dari jiwa, namun akal hanya dimiliki oleh sebagian kecil makhluk hidup. Akal sebagai pemikiran, tidak menyebabkan gerak, sebab akal tidak memikirkan sesuatu yang praktis, dan tidak pernah menyatakan apa yang harus di hindari atau di capai.

Masalah ini kembali memunculkan perdebatan di kalangan filsuf. Meski sesungguhnya, dapat di pahami bahwa hal-hal yang bersifat praktis itu, telah dapat diatasi oleh jiwa yang mengorganisir tubuh. Jadi tubuh memiliki respons yang bersifat praktis atas apa yang dihadapinya. Dan seperti itulah penjelasan sains modern dewasa ini. Sehingga sains selalu memiliki keterbatasan-keterbatasannya jika akal yang menguji validitas kebenarannya.

Menurut Aristoteles; "Kehidupan jiwa rasional itu terlampau tinggi bagi manusia; sebab kehidupan yang demikian itu tidak terjadi sejauh ia hanya manusia, melainkan karena dalam dirinya telah hadir sesuatu yang ilahi sifatnya; dan karena kehidupan jiwa rasional itu lebih mulia daripada semua sifat kita lainnya maka aktifitasnya pun lebih mulia dari pada apa yang dipraktekkan oleh perbuatan utama jenis lainnya. Jika akal bersifat ilahi dalam perbandingannya dengan sifat manusia, maka kehidupan yang berkaitan dengannya pun bersifat ilahi, jika dibandingkan dengan kehidupan manusia.

Dengan demikian, individualitas sesuatu membedakannya dengan sesuatu yang lain, berkaitan dengan tubuh dan jiwa irasional, sedangkan jiwa rasional atau akal bersifat ilahi dan impersonal.

Alhamdulillahi Rabbil Alamiin.

Oleh: Hasanddin

(Penulis tinggal di Depok, Jawa Barat)


Komentar Anda

Berita Terkini