-->
    |

Perusahaan Fintech Tak Bisa Akses Verifikasi Data Kependudukan Jika Tidak Memenuhi Persyaratan

(Dirjen Dukcapil Zudan Arif Fahrulloh saat menjelaskan proses kerjasama Kemendagri dengan Perusahaan Fintech di kantornya)
Faktanews.id - Tidak mudah bagi perusahaan Fintech bekerjasama dengan Direktorat Jenderal (Ditjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Dirjen Dukcapil Zudan Arif Fakrulloh, mengatakan perusahaan fintech atau pinjaman online harus memenuhi persyaratan yang sangat ketat untuk bisa bekerjasama dengan Dukcapil Kemendagri. Salah satu kewajiban persyaratan yang harus dipenuhi adalah lembaga pinjaman online wajib mendapatkan izin dan rekomendasi dari OJK.

“Jadi kalau tidak ada izin OJK kami tidak akan memproses perjanjian kerjasama dengan Dukcapil Kemendagri untuk verifikasi pemanfaatan data kependudukan,” kata Zudan saat berbincang dengan wartawan di Kantor Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil  Kemendagri di Kawasan Pasar Minggu Jakarta, Senin (15/6/2020).

Menurut Zudan, jika perusahaan Fintech sudah memenuhi persyaratan Dukcapil baru akan memberikan akses untuk verifikasi data kependudukan, bukan memberikan data penduduk.

Terkait dengan isu yang menyatakan Kemendagri memberikan data kependudukan kepada perusahaan fintech, Zudan menegaskan isu itu tidak benar. Perusahaan tersebut sudah mendapatkan data dari nasabahnya terus dicocokkan dan diverifikasi dengan data resmi kependudukan yang dimiliki Kemendagri.

“Yang sebenarnya adalah lembaga yang disebut dengan fintech ini bekerjasama dengan Dukcapil Kemendagri dalam rangka verifikasi data kependudukan. Jadi kami membantu berbagai lembaga untuk verifikasi data,” katanya.

Dijelaskan Zudan, Kemendagri sebagai penyelenggara pemerintahan juga ingin membangun industri keuangan yang sehat sehingga bisa mencegah fraud, mencegah kejahatan penipuan dan pemalsuan sehingga industri keuangan bisa tumbuh dengan baik.
“Dengan verifikasi data kependudukan ini Insya Allah tidak akan ada lagi nasabah fiktif maupun peminjam fiktif karena datanya langsung dicek dengan data Dukcapil Kementerian Dalam Negeri,” kata Zudan.

Zudan menjelaskan, data kependudukan dari Kementerian Dalam Negeri dimanfaatkan untuk semua keperluan antara lain pelayanan publik, perencanaan pembangunan, alokasi anggaran, pembangunan demokrasi, penegakan hukum dan pencegahan kriminal. Ketentuan tersebut sejatinya lahir sebagai bentuk dukungan nyata fasilitas negara, bukan hanya dalam rangka meningkatkan efektivitas kerja organ negara.

"Namun juga perkembangan serta pertumbuhan ekonomi dan layanan publik bagi seluruh elemen bangsa dan negara,” papar Zudan.

Adapun, pemberian hak akses verifikasi pemanfaatan data kependudukan sesungguhnya berlandaskan pada amanat Pasal 79 dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk). Pasal 79 terkait dengan Hak Akses Verifikasi Data dan Pasal 58 terkait dengan ruang lingkupnya.

Khusus bagi industri fintech, kata Zudan, di mana memiliki risiko tinggi pinjaman fiktif, mengingat proses identifikasi konsumen dilakukan secara jarak jauh, pemanfaatan data kependudukan, NIK dan KTP-el ini merupakan suatu kemajuan besar.

Diharapkan hak akses pemanfaatan data kependudukan ini dapat mencegah peminjam fiktif sehingga dapat memajukan industri yakni memperkuat peranannya dalam menyalurkan pinjaman ke masyarakat yang belum terakses lembaga jasa keuangan.

Ilustrasi

Lebih lanjut, Zudan menjelaskan, hak akses verifikasi data yang diberikan kepada perusahaan fintech tersebut tidak memungkinkan untuk dapat melihat secara keseluruhan ataupun satu persatu data penduduk.

“Namun hak akses ini hanya memungkinkan untuk dilakukannya verifikasi kesesuaian atau ketidaksesuaian antara data-data yang diberikan seorang penduduk yang akan menjadi calon nasabah fintech dengan data yang ada pada database kependudukan,”.

Sebagai ilustrasi, seorang penduduk bernama Budi ingin melakukan pinjaman online di salah satu dari ketiga perusahaan fintech tersebut, maka Budi memberikan data dirinya berupa NIK, Nama, Tempat Lahir dan Tanggal/Bulan/Tahun lahir dan sebagainya (yang disyaratkan oleh perusahaan tersebut) kepada salah satu perusahaan melalui aplikasi pinjaman online. Data diri sebagaimana telah diberikan Budi tersebut kemudian dilakukan verifikasi oleh perusahaan dengan database kependudukan Kemendagri. Dari proses verifikasi dengan data Kemendagri tersebut, kemudian perusahaan aplikasi pinjaman online mendapatkan respon berupa notifikasi “SESUAI” atau ”TIDAK SESUAI”.
Selain itu, Kemendagri pun selalu melakukan langkah-langkah pengamanan sistem dengan standar terukur, guna memastikan bahwa hak akses verifikasi data selalu berada dalam koridor hukum. “Terhadap pelanggaran atas penyalahgunaan data kependudukan dikenakan pidana penjara selama 2 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 95A UU No.24 Tahun 2013,” kata Zudan.

Jutaan Data Per Hari

Zudan menjelaskan kerjasama terkait akses verifikasi data kependudukan sudah dilakukan sejak tahun 2013 dengan jumlah total hingga saat ini sebanyak 2.108 lembaga.

“Yang terbanyak adalah Perbankan berjumlah 1.177, Perguruan Tinggi berjumlah 462, Pasar Modal 124 dan Rumah Sakit sebanyak 45,” katanya.

Zudan selanjutnya menunjukkan penggunaan akses verifikasi data yang dilakukan oleh sejumlah lembaga yang telah melakukan kerjasama dengan Kemendagri. Dijelaskannya, pada data real time yang terpantau dalam sistem Kemendagri Hari Senin (15/6/2020) hingga pukul 14.25 WIB terlihat jutaan data Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang sedang diverifikasi/dicocokkan oleh sejumlah lembaga dengan pusat data Kemendagri.

Di sana terlihat BPJS Kesehatan sedang melakukan akses verifikasi data sebanyak 413.699 NIK, Bank BRI 186,745 NIK, XL Seluler 164.550 NIK, Telkomsel 163.355 NIK, Bimas Islam 73.070 NIK. Di situ juga terlihat KPK sedang memverifikasi data sebanyak 1.961 NIK. (lihat dua gambar di bawah).
Komentar Anda

Berita Terkini