-->
    |

Pakar HTN Fahri Bachmid: Perpres Kenaikan Tarif Iuran BPJS Kesehatan Inkonstitusional

Faktanews.id - Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. Beleid Presiden Jokowi terkait penaikan iuran BPJS Kesehatan berpotensi melanggar kaidah hukum berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) RI,  Kebijakan menaikkan Iuran BPJS Kesehatan melalui Perpres Nomor 64 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan. Beleid ini, menurut Fahri Bachmid, adalah kenaikan iuran BPJS Kesehatan dengan nominal yang sedikit berbeda dari kenaikan iuran sebelumnya, berdasarkan ketentuan dalam Perpres Nomor 75 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan.

"Perpres kenaikan Iuran BPJS Kesehatan itu sedikit bermasalah tentunya jika dilihat dan dikaji dari sudut ilmu hukum," ujar Fahri Bachmid dalam keterangan tertulisnya, Rabu (13/5/2020).

Menurut Fahri Bachmid, Mahkamah Agung (MA) sudah mengeluarkan putusan dalam merespon kebijakan Jokowi dalam menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan beberapa waktu yang lalu. Dalam perkara Hak Uji Materil Nomor : 7P/HUM/2020 itu diputuskan oleh Majelis Hakim yang diketuai Hakim Agung Supandi dengan anggota Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi. Oleh Majelis Hakim MA,  Perpres Nomor 75 Tahun 2019 itu pada prinsipnya dinilai bertentangan dengan ketentuan norma pasal 23A, pasal 28H dan pasal 34 UUD NRI Tahun 1945. Selain norma konstitusional tersebut, Perpres a quo juga dinilai bertentangan dengan ketentuan pasal 2, pasal 4, pasal 17 ayat (3) UU RI No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), serta ketentuan pasal 2, pasal 3, pasal 4 UU RI No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (UU BPJS), dan ketentuan pasal 5 ayat (2) Jo. Pasal 171 UU RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

"Dengan konsekwensi setelah dibatalkannya Perpres Nomor 75/2019 terkait aturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, maka kembali ke tarif iuran sebelumnya seperti diatur dalam ketentuan pasal 34 Perpres No. 82 Tahun 2018,2," kata Fahri Bachmid.

Fahri menjelaskan bahawa didalam ketentuan Perpres nomor 82 Tahun 2018 memang mensyaratkan bahwa iuran ditinjau paling lama dua tahun, tetapi berdasarkan pertimbangan hukum hakim MA yang mengadili perkara a quo telah menegaskan untuk melihat kondisi riil daya beli masyarakat. Denga demikian, kata Fahri, hal ini perlu dilakukan agar sejalan dan selaras dengan hak konstitusional rakyat untuk mendapatkan jaminan kesehatan.

"Pada hakikatnya putusan MA telah membuat kaidah hukum terkait pelarangan kepada pemerintah untuk menaikan iuran BPJS Kesehatan adalah telah bersifat final dan mengikat. Sifat putusan itu adalah “ergo omnes” yang pada dasarnya adalah mengikat lembaga negara, termasuk lembaga kepresidenan,sehingga tidak dapat ditafsirkan lain selain daripada yang telah ditentukan oleh MA dalam putusan itu. Suka atau tidak suka, itu telah menjadi hukum, sehingga putusan MA itu wajib dijalankan sebagaimana mestinya, tidak boleh membuat tafsiran lain," jelas Fahri Bachmid,

Fahri menambahkan, konsekwensi dari putusan MA atas Perpres tersebut didasarkan atas UU Mahkamah Agung, dalam ketentuan pasal 31 ayat (1). mengatur bahwa MA mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UU. Kemudian ayat (2).MA berhak menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, serta ayat (3). Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada MA, Selanjutnya ayat (4). Bahwa Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan mengikat.

"Sehingga setiap produk peraturan perundang-undangan yang telah dibatalkan oleh MA, dengan demikian tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan tidak dapat digunakan lagi, apalagi dihidupkan kembali norma yang sudah dibatalkan itu," terang Fahri Bachmid.

Menurut Fahri, jangan sampai presiden sebagai “adresat (subjek norma) dikualifisir telah melakukan perbuatan “constitution disobediance” atau “law disobediance” sehingga sangat merugikan pemerintahan karena mengeluarkan Perpres No. 64 Tahun 2020, yang sebelumnya MA sudah mengeluarkan putusan tidak ada kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan.  Fahri Bachmid, mengatakan Presiden memang mempunyai kewenangan konstitusional untuk mengatur urusan pemerintahan, termasuk memastikan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup layak dan meningkatkan martabatnya menuju masyarakat indonesia yang sejahtera, adil dan makmur, sebagai mana dijamin dalam konstitusi. Dengan Begitu, Fahri menegaskan bahwa menjadi kewajiban konstitusional presiden untuk senantiasa mempedomani kaidah-kaidah hukum yang berlaku,termasuk putusan MA.

"Secara yuridis, jika dilihat dari keberlakuan Perpres No. 64 Tahun 2020 ini sangat potensial untuk digugat kembali (diuji meteril) ke MA oleh pihak-pihak yang berkepantingan jika materi muatan yang ada didalam Perpres ini dinilai masih bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dalam konteks ini adalah UU RI No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan UU RI No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelengaraan Jaminan Sosial, serta UU RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan," tutup Fahri Bachmid.
Komentar Anda

Berita Terkini