-->
    |

Pengamat Jelaskan Kecintaan Rakyat Pada Sukarno; Realitas versus Hasil Survei Indo Barometer

Faktanews.id - Direktur Ekskutif Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo menjelaskan soal kecintaan rakyat kepada presiden pertam Sukarno. Hal ini dipaparkan Karyono dalam menanggapi hasil survei Indo Barometer yang menempatkan Presiden Soeharto dan Presiden Joko Widodo lebih disukai masyarakat Indonesia ketimbang Presiden Sukarno yang dinilai bertabrakan dengan realitas.

"Karenanya, hasil survei (Indo Barometer) tersebut tidak akan berdampak terhadap penurunan derajat kebesaran nama Sukarno. Pasalnya, jasa-jasa dan karya besar sang proklamator bangsa Indonesia itu sudah terlanjur melekat dalam hati sanubari rakyat Indonesia," papar Karyono, Senin (2/3/2020).

Menurut Karyono, peran Sukarno bersama para pendiri bangsa lainnya dalam membebaskan bangsa-Indonesia dari penjajahan sekaligus sebagai peletak dasar pembangunan tidak terbantahkan hingga saat ini. Bahkan, jika ditinjau dari berbagai literasi perjuangan Sukarno dalam melawan imperialisme dan kolonialisme tidak hanya berhenti di negerinya sendiri.

"Semangat perlawanan Sukarno dalam mengganyang imperialisme, kolonialisme, feodalisme dan kapitalisme yang menghisap bangsa -bangsa lain telah dia tunjukkan pada dunia," katanya.

Rekam jejak perjuangan Sukarno dalam upaya memerdekakan bangsa-bangsa dari hegemoni penjajah, ditegaskan Karyono, telah mendapatkan pengakuan dunia. Gagasan dan cita-cita besar Sukarno untuk membangun dunia baru tanpa exploitation de l‘homme par l‘homme’ dan ‘exploitation de nation par nation’.(penindasan manusia atas manusia dan penindasan dari suatu bangsa terhadap bangsa lain) telah terukir dalam sejarah yang tidak mudah terhapus. Pidato Sukarno di forum PBB pada 30 September 1960 yang berjudul To Build The World A New serta peran Sukarno dalam menggalang negara-negara yang tergabung dalam Konferensi Asia Afrika menjadi bukti sejarah bahwa Sukarno memiliki jasa besar dalam perjuangan membebaskan bangsa bangsa dari segala bentuk penjajahan di muka bumi.

"Atas dasar itu, maka wajar jika hasil survei Indo Barometer menimbulkan kontroversi, karena bertentangan dengan logika publik yang telah terkonstruksi oleh realitas sejarah. Karenanya, sejarah tentang peran Sukarno tidak akan sirna oleh hasil survei Indo Barometer yang menempatkan tingkat kesukaan publik terhadap Presiden Sukarno berada di bawah Presiden Suharto dan Presiden Jokowi," katanya.

Lebih lanjut, Karyono menambahkan bahwa hasil survei Indo Barometer yang mengatakan Soeharto dan Jokowi lebih disenangi rakyat ketimbang Sukarno adalah biaiapemahaman.

Menurut dia, dalam memahami hasil survei Indo Barometer setidaknya bisa dikaji dari tiga perspektif, yaitu; kebebasan intelektual, metodologi dan etik.

Dalam perspektif kebebasan intelektual, di negara demoktasi boleh saja siapapun menyampaikan pendapat termasuk melakukan dan mempublikasikan hasil survei atau kajian dalam bidang tertentu. Maka hasil survei Indo Barometer dapat dimaknai sebagai bentuk ekspresi kebebasan intelektual. Namun, tentu saja hasil survei atau kajian sebagai karya intelektual harus bisa dipertanggung jawabkan.

Dalam perspektif metodologi, seperti halnya sistem penentuan sampel, penyusunan kuesioner, pengumpulan data, teknik wawawancara, sistem kendali mutu, hingga metode validasi data yang dilakukan Indo Barometer boleh jadi sudah sesuai dengan kaidah penelitian, meskipun tentu saja masih bisa diperdebatkan.

"Namun demikian, menurut hemat saya, ada sejumlah catatan dari hasil survei tersebut," tambah Karyono.

Pertama, secara metodologi, hasil survei tingkat kesukaan masyarakat terhadap tiga figur presiden tidak bisa ditarik kesimpulan siapa yang paling disukai dari ketiga nama yaitu Soeharto (23,8%) Joko Widodo (23,4%) dan Sukarno (23,3%) karena selisihnya kurang dari dari 1%, selisihnya masih di bawah ambang batas margin error 2,83 persen. Maka terlalu gegabah jika menyimpulkan bahwa presiden Jokowi atau Soeharto lebih unggul dari Sukarno. Kesimpulan yang sesuai kaedah dan metodologi adalah diantara ketiga presiden posisinya seimbang, sama-sama disukai karena terjadi persaingan ketat diantara ketiga presiden.

Kedua, mengukur tingkat kesukaan tokoh dalam survei opini publik memang tidak ada larangan. Berbagai lembaga survei sering melakukan hal yang sama untuk mengukur akseptabilitas tokoh atau kandidat. Tetapi menjadi berbeda maknanya ketika membandingkan tingkat kesukaan masyarakat terhadap masing-masing figur Presiden RI, meskipun sekali lagi saya tegaskan, bahwa hal itu merupakan bagian dari kebebasan intelektual dan juga kebebasan berpendapat bagi masyarakat untuk menilai masing-masing presiden. Tetapi, dalam hal ini bisa menimbulkan bias pemahaman ketika terjadi generalisasi. Ada beberapa faktor yang bisa menjadi penyebab timbulnya bias pemahaman, yaitu; referensi dan literasi responden tentang rekam jejak masing-masing presiden tidak sama. Selain itu, ada ketimpangan antar generasi karena setiap generasi hidup di zaman yang berbeda. Tidak semua orang yang hidup di zaman yang berbeda mengetahui sejarah perkembangan setiap pemerintahan secara komprehensif dan obyektif.

Ketiga, mengukur tingkat kesukaan responden terhadap semua mantan presiden RI juga tidak bisa disamakan dengan calon kepala daerah maupun calon presiden pada kontestasi elektoral. Alasan dan latar belakang pengetahuan responden untuk menyatakan suka terhadap masing-masing kandidat yang dikenalinya masih bisa dipahami karena rekam jejak kandidat relatif lebih mudah ditelusuri. Oleh karena itu, menguji tingkat kesukaan responden terhadap masing-masing presiden RI tidak bisa dibandingkan secara apple to apple. Begitu pula membandingkan semua mantan presiden dengan presiden yang masih aktif dan membandingkan presiden yang sudah lama meninggal dengan presiden yang masih hidup akan mempengaruhi penilaian subyektif dan kurang fair. Sementara itu perasaan suka sangat dipengaruhi oleh  persepsi publik dimana tingkat pemahaman responden terhadap sosok mantan presiden berbeda-beda. Sedangkan, pada hakekatnya penilaian responden terhadap figur yang dinilai tergantung pada referensi, literasi dan opini yang kemudian mengkonstruksi persepsi. Pada umumnya, persepsi dipengaruhi oleh opini yang didasarkan pada kondisi kekinian. Sedangkan, masing-masing presiden merupakan pemimpin pada zamannya. Setiap presiden memiliki tantangan yang berbeda dan rekam jejak sejarah kesuksesan pada zamannya yang tidak bisa hanya diukur dengan angka kesukaan. Tidak semua hal harus diukur menggunakan pendekatan.kuantitatif. Sementara faktor kualitatif yang semestinya menjadi bagian dari penilaian terhadap masing-masing presiden diabaikan.

Dalam perspektif etika, Karyono mengatakan hasil survei yang mengukur dan membandingkan tingkat kesukaan masyarakat terhadap masing-masing presiden sejatinya bukan hal yang penting dan substansi. Justru dipandang kurang etis karena implikasinya menimbulkan saling ketersinggungan satu dengan yang lain.

"Meski tidak ada maksud untuk membenturkan, tetapi dampaknya telah menimbulkan resistensi dari sejumlah pihak yang berpotensi mendorong segregasi sosial," tukas dia.

Diberitakan sebelumnya, lembaga survei Indo Barometer merilis hasil survei pada Minggu (23/2), Jokowi mengungguli Presiden ke-1 RI, Sukarno dan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari menyebut survei dilakukan pada 9-15 Januari 2020. Dari hasil survei Indo Barometer, Jokowi unggul dengan 23,4 persen, lebih tinggi dibanding Sukarno 23,3 persen dan SBY 14,4 persen.

Sementara itu, di posisi berikutnya ada nama Presiden ketiga BJ habibie dengan perolehan 8,3 persen disusul Presiden keempat Abdurrahman Wahid 5,5 persen. Presiden kelima Megawati Soekarnoputri berada di posisi paling buncit dengan perolehan 1,2 persen.

Sementara itu, Presiden Indonesia yang paling disukai masyarakat Indonesia adalah Presiden Suharto. Tingkat kesukaan masyarakat terhadap Suharto mencapai 23,8 persen.

Survei dilakukan Indo Barometer 9-15 Januari 2020 kepada 1.200 responden. Survei menggunakan metode multistage random sampling dengan tingkat kesalahan (margin of error) mencapai 2,83 persen.
Komentar Anda

Berita Terkini