-->
    |

Musuh Terbesar Pancasila Itu Kepala BPIP

Faktanews.id - Saya baru sekali ketemu Prof. Dr. Yudian Wahyudi. Saya mewawancarainya untuk membantu seorang teman yang sedang mengembangkan konten di medsos. Beliau pintar, ramah dan sedikit meledak-ledak, begitu kesan saya.

Sejam lalu, saya membaca pernyataannya di detikcom, “Si Minoritas ini ingin melawan Pancasila dan mengklaim dirinya sebagai mayoritas. Ini yang berbahaya. Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan,".

Pastilah pernyataan ini viral, karena orang cenderung mengkonsumsi berita yang terkait dengan dirinya, agamanya, suku, hobi, tokoh idola, dll. Menurut saya, pernyataan ini melek SEO banget atau peka Search Engine Optimization.

Namun Pernyataan itu menunjukan Yudian Wahyudi mengidap amnesia sejarah, tidak sabar membuat kesimpulan, membuat potensi menjadi masalah, sekaligus menunjukan bahwa ia tidak menghargai gotong royong sekaligus bersikap anti gotong royong.

Agama yang menginspirasi Pancasila dilupakan, atau mungkin ia merasa pahalanya lebih besar dari 67 anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan 21 anggota PPKI yang ikut merumuskan Pancasila.

Pembumian Pancasila yang seharusnya dilakukan dengan merangkul tokoh agama tidak dilakukan, justru yang bersangkutan membangun tembok setelah dilantik sebagai Kepala BPIP.

Kegagalannya membedakan agama dan pemikiran keagamaan tidak hanya berpotensi merusak dirinya tapi juga BPIP dan orang lain.

Upaya membenturkan agama dengan Pancasila ini sudah sering dilakukan, dan selalu gagal karena para tokoh agama di Indonesia komunikasinya baik. Sekarang Yudian Wahyudi mau mencoba lagi kah?, jika benar begitu, maka musuh terbesar Pancasila itu adalah Kepala BPIP.

Bangsa ini sedang mengidap “virus curigation”.  Curiga bahwa golongan tertentu nasionalismenya tidak sehebat golongan kita. Curiga golongan lain ber-agamanya tidak sebagus golongan kita. Negara yang warganya sudah saling curiga mudah sekali diadu domba, dikuasai. Terasa gak Prof, kita sudah dikuasai?.

Dalam situasi begini, belum tentu memproduksi konten yang seakan menguntungkan golongan kita, juga menguntungkan kepentingan nasional NKRI. Maslahah ‘ammah harus dikedepankan ketimbang kepentingan pribadi (maslahah khassah/maslafah fardiyyah).

Ketika para pemuka Agama sudah lama bicara tentang sila kelima Pancasila, Kepala BPIP malah bilang “Musuh terbesar Pancasila adalah Agama”. Ini saya lampirkan beberapa pernyataan para pemuka agama:

DIN SYAMSUDDIN: kesenjangan yang terjadi di lingkungan masyarakat dapat memicu terjadinya radikalisme. (Sumber: media investor.id, 4 April 2013)

KH SAID AQIL SIROJ: Silakan undang investasi, namun kurangi ketimpangan. Jangan yang kaya makin kaya, yang miskin makin terpuruk. Kita sudah toleransi agama, yang belum toleransi ekonomi. (Sumber: Detik.com 10/12/19 dan www.nu.or.id 2/1/2020)

FRANS MAGNIS SUSENO: Akar persoalan intoleransi di Indonesia salah satunya adalah pembangunan ekonomi yang tak merata. (Sumber: Republika 16/11/2014)

Yudian Wahyudi adalah Kepala BPIP. Politiknya harus tingkat tinggi, mengedepankan tabayyun, memanfaatkan teknologi untuk menelpon lembaga, organisasi lain, sebelum menyalurkan pendapat di ruang publik dengan mengatasnamakan jabatannya di BPIP.

Ukuran keberhasilan BPIP itu salah satunya terlihat dari seberapa banyak diskusi Pancasila yang diadakan oleh organisasi masyarakat dengan sukarela. Nah, jangan dipancing dengan cara membuat kegaduhan. Karena diskusi yang diadakan oleh masyarakat nanti juga akan kontraproduktif dengan tujuan digajinya Kepala BPIP.

Kepada Pak Yudian, dengar dulu pendapat, ide seluruh tokoh masyarakat untuk membumikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, barulah membuat pernyataan.

Jangan hanya mendengar konsultan atau pembisik, apalagi jika sarannya BGBJ alias “Bikin Gaduh Dulu, Baru Jelaskan.” Pola lama ini tidak relevan disaat bangsa ini butuh motivasi dan persatuan karena ancaman krisis ekonomi global.

NKRI ini dibangun oleh kerjasama banyak golongan, utamanya golongan Islam, golongan kebangsaan dan golongan kiri, ini fakta sejarah yang tidak terbantahkan. Jangan sampai ketiga golongan ini terus saling mengecilkan peran, saling mengubur.

Oleh: Hariqo Wibawa Satria

(Pengamat media sosial dari KOMUNIKONTEN, penulis buku Seni Mengelola Tim Media Sosial, Co Founder Global Influencer School). Instagram: @hariqo81
Komentar Anda

Berita Terkini