-->
    |

SBY Berkibar, Prabowo Nyungsep

Faktanews.id - SBY rebound! SBY come back! Benarkah?

Belakangan ini SBY telah menjadi pusat berita sejak dua tulisannya menghiasi publik. Tulisan pertama adalah refleksi akhir tahun lalu, 2019. Tulisan refleksi itu mengkritik Jokowi tentang perekonomian nasional yang buruk, seperti jumlah pengangguran total (terbuka dan tertutup) sangat besar, serta penerimaan pajak yang hancur.

Tulisan pertama itu juga menceritakan situasi dunia yang tidak menentu, baik kegelisahan sosial politik di hampir 35 negara, bangkitnya populism dan nasionalisme sempit serta berbagai ketegangan baru di dunia.

Selanjutnya kemarin, dua hari lalu, SBY melontarkan kritik langsung ke jantung Jokowi. SBY mempertanyakan apakah Jokowi menggunakan uang rampok rp 13 Triliun Jiwasraya untuk kemenangan pilpres? Ini adalah keberanian luar biasa dari seorang "public figure", yang beda tipis dengan keberanian Rizal Ramli, misalnya, dengan isu serupa.

Sikap kritis SBY ini dapat diduga dengan bermacam alasan. Ada yang mengkaitkan bahwa SBY tidak berhasil menempatkan anaknya di kabinet Jokowi, namun ada pendapat lain bahwa memang SBY kembali pada jati diri keunggulannya.

Pendapat yang mengaitkan SBY dengan kegemilangannya di masa lalu memang melihat SBY sebagai tentara unggul dalam percaturan tentara dan politik di Indonesia. Sebagai militer, di masa lalu, orba, SBY menjadi bintang selama 10 tahun terakhir tanpa mempunyai hubungan kedekatan ke Suharto. Bahkan, SBY menjadi tentara Indonesia yang mempunyai hubungan keberbagai tentara internasional, karena kemampuannya dalam berbagai penugasan PBB.

Jati diri SBY paska meninggalnya istri beliau, yang diketahui mempunyai kemampuan dominasi terhadap SBY, bisa jadi merupakan situasi baru yang mengantarkan SBY sebagai sosok yang malah lebih murni dan baru.

Jika SBY mampu mempertahankan sikap kritisnya terhadap rezim Jokowi, yang menurut sampul Tempo terbaru terkait Jokowi, "100 hari defisit harapan" dan cover sebelumnya "pinokio", maka rakyat akan mempersepsi SBY jauh lebih baik dari Jokowi dalam mengelola negara.

Bagimana Prabowo?

Setelah Prabowo mengkhianati para pendukungnya, khususnya umat Islam, dan masuk menjadi menteri Jokowi, rakyat menunggu langkah "second best" Prabowo. Langkah "second best" adalah langkah ketika Prabowo tidak menjadi presiden namun menjadi menteri dan penguasa Gerindra. Apakah dengan kewenangan itu Prabowo konsisten dengan jejak digital ucapan ucapannya selama ini?

Pertanyaan konsistensi ini penting untuk membuat orang-orang yang dulu mendukung Prabowo benar benar merasa tidak menyesal pernah mendukung dia atau memaafkan Prabowo yang lari meninggalkan gelanggang.

Apa ucapan Prabowo dulu? 1) Kebocoran Uang Negara. Hal ini selalu menjadi "trade mark" Prabowo. "bocor, bocor dan bocor" adalah kata kata Prabowo dalam mengejek Jokowi atau situasi negara yang lemah dalam mengontrol kekayaannya. Dalam bukunya yang paling dia banggakan, "Paradoks Indonesia", Prabowo menggambarkan kejijikannnya dengan ribuan triliun uang negara dikorupsi, baik langsung, maupun "by legal".

Lalu bagaimana respon Prabowo yang mengontrol sebuah partai yang besar karena didukung ummat Islam itu? Ternyata sampai saat ini tidak satu katapun dari Prabowo mengintruksikan partainya dan DPR-RI menyelidiki perampokan harta negara di asuransi Jiwasraya, dll.

Kelihatannya Prabowo juga seperti menjadi manusia baru, yang sudah tidak perduli lagi dengan perampokan harta-harta negara.

2) Kedaulatan Natuna. Dalam hal gangguan kedaulatan Indonesia dari RRC dalam kedaulatan di Natuna, Prabowo juga santai-santai saja. Padahal dia sebagai menteri pertahanan dan mengontrol menteri kelautan serta pimpinan parpol, dapat mengeluarkan ultimatum untuk mengutuk RRC atas aksinya di Natuna.

3) Soal Uighurs. Prabowo juga tidak punya perhatian soal solidaritas kesedihan umat Islam pendukungnya selama ini terhadap pembantain bangsa Uighurs. Umat Islam yang membantu perolehan suara Gerindra atas nama jihad bersama ketika masih sejalan beroposisi, adalah umat yang merasa pembantaian bangsa Uighurs itu adalah masalah kemanusian dan keummatan. Sehingga, mereka berharap Prabowo dan partainya melakukan upaya agar China menghormati agama orang-orang Uighurs.

Dari tiga hal ini saja, terlihat bahwa konsistensi Prabowo ketika dahulu didukung umat Islam berbeda dengan Prabowo yang sekarang menjadi menterinya Jokowi.

Hal ini akan bersifat segera membuat dukungan dan perasaan umat Islam terhadap Prabowo menghilang sempurna.

Poros SBY, Mungkinkah?

Ketidak konsistenan Prabowo dalam kehidupan dan kejuangannya belakangan ini akan menghilangkan kebesaran nama Prabowo. Sebaliknya, SBY akan muncul sebagai figur "Old Soldier Never Die" menggantikan Prabowo di mata rakyat.

Dalam situasi seperti ini, SBY harus konsisten membangun poros politiknya. SBY tidak boleh terkesan pragmatis. Melainkan, dia harus menjadi sosok baru yang ikut menghantarkan kebangkitan kembali kejayaan bangsa kita ke depan.

Jika rumors mengatakan bahwa Prabowo akan berpasangan dengan Puan Maharani sebagai Capres/Cawapres 2024, SBY sebaliknya harus fokus pada agenda kebangsaan dan kerakyatan saja. Itulah "poros SBY", sebuah poros yang harus dikembangkan untuk menciptakan politik baru di Indonesia, yakni, politik agenda bukan figur. SBY harus mampu menggalang kekuatan yang menghalau penghamba dan pengemis-pengemis jabatan/kekuasaan  masuk dalam barisan perjuangannya.

Penutup

Tulisan ini masih merupakan respon awal yang melihat SBY dan beberapa anak buahnya, Andi Arif dan Rachland Nasidick, yang coba kembali masuk dalam dominasi politik waras. Yakni politik mengurus bangsa.

SBY mempunyai peluang besar untuk "rebound" dengan berbagai upaya keras meyakinkan rakyat bahwa langkah kritisnya bukanlah sekedar pragmatisme belaka.

Sejarah SBY yang tidak pernah memusuhi atau meninggalkan umat Islam (baca: 212) memungkinkan SBY akan kembali populer sebagai tokoh bangsa.

Ketika Prabowo nyungsep dalam genggaman Jokowi, rakyat berharap ada penggantinya. "Old Soldier Never Die". Mungkinkah SBY muncul kembali ? Allahua'lam.

(catatan pinggir di awal tahun)

Oleh: Syahganda Nainggolan

(Sabang Merauke Institute)
Komentar Anda

Berita Terkini