-->
    |

Permasalahan Jiwasraya dan Industri Asuransi

Faktanews.id - Diluar soal dugaan tindak pidana dalam praktek bisnis BUMN Asuransi Jiwasraya, kita sedang menyaksikan bayangan “mengancam” di dalam industri ini. Dengan total Asset Per November 2019 senilai Rp 1. 346 T, industri ini dengan segala dinamikanya juga sedang mengalami tekanan perubahan yang signifikan. Bagaimana otoritas akan bertindak dan mengatasi persoalan yang dihadapi Jiwasraya, akan mempengaruhi landscape industri asuransi kemasa datang.

Relaksasi kebijakan moneter global ( Quantitative Easing ), Tren Inverted Yield Curve ( kurva yield obligasi jangka pendek lebih tinggi dari kurva yield obligasi jangka panjang ) dan bayang- bayang resiko default hutang global yang tersembunyi memberi pengaruh kuat dalam kinerja industri asuransi global. Belum lagi pilihan-pilihan instrumen investasi didalam negeri yang sesuai dengan sifat asuransi yang masih terbatas dan tidak ditopang oleh pasar keuangan yang dalam.

Kendarti demikian,Dalam tiga tahun terakhir, pertumbuhan industri asuransi di indonesia mencatat tren positif. Baik Asuransi Umum maupun Asuransi Jiwa. Pertumbuhan positif ini tentu saja menjadi catatan tersendiri ditengah krisis yang menimpa Jiwasraya. Namun ditengah pertumbuhan yang positif itu, perubahan landscape perekonomian global dan domestik, juga meningkatkan tingkat kompetitif industri ini.

Jiwasraya adalah cerminan betapa kompetitifnya industri ini sekarang. Bagaimana upaya mengatasi mismatch antara kewajiban jangka pendek pada produk JS Protection Plan ( dirilis tahun 2012)  dengan profile keuangan Jiwasraya berujung pada makin dalamnya perusahaan ini  masuk dalam limbo insolvabilitas. Ini dilakukan sebagai upaya jangka pendek   untuk  mengatasi krisis yang dimulai sejak 2004. Ingat, kendati semua upaya itu dilakukan dengan bantuan skema reasuransi ,  sebagai satu bantalan utama industri asuransi dalam menghadapi shock, tetap saja Jiwasraya tidak keluar dari kesulitannya.

Jika otoritas hanya terkonsentrasi dalam penyelesaian isu kriminalitasnya ( yang ditangani Kejagung berkaitan dengan dugaan kerugian negara ) tanpa penyelesaian yang lebih komprehensif terhadap problem industrialnya ( sesuai dengan UU perasuransian), maka problem utama dari kesuluruhan masa depan industri ini mungkin tidak akan terjamah. Ingat, bagi otoritas, khususnya pemerintah, masih ada isu Asuransi Bumiputera yang juga memerlukan perhatian serius.

Sebagai mantan ketua Panja RUU Perasuransian,  yang menghasilkan UU No 40 Tahun 2014, saya tentu berharap adanya upaya yang lebih luas dan sistematis dari otoritas untuk mengatasi dan menata ulang industri asuransi kita. Dari sudut pandang ini, maka yang sedang dihadapi oleh otoritas adalah kenyataan bahwa industri asuransi kita secara keseluruhan sedang pula mengalami tantangan yang sangat signifikan.

Dalah hal penyelesaian permasalan Jiwasraya. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan memiliki pilihan- pilihan yang sulit. UU No 40 Ttg Perasuransian  Pasal 15, menempatkan posisi pemerintah sebagai Pengendali Jiwasraya. posisi sebagai Pengendali,  “mengharuskan”  pemeritah untuk memperkuat Risk Base Capital ( RBC ) Jiwasraya. Selain itu, juga memperkuat Dana Jaminan yang diperlukan untuk mengatasi kewajiban jatuh tempo Jiwasraya.

Sampai disini,  muncul satu pertanyaan,seandainya Jiwasraya merupakan perusahaan asuransi swasta, apakah perlakuan linient terhadap persoalan yang melilitnya akan sama?. Pertanyaan ini tentu terkait pula dengan bangunan industri asuransi secara luas. Jawabannya akan berhubungan langsung dengan soal menjaga level of playing field otoritas terhadap industri secara keseluruhan. Dalam skala yang lebih luas, ini tentu juga terkait dengan kemampuan otoritas memberi sinyal positif terhadap keampuhan dan keabsahan regulasi kita dalam mengelola sektor keuangan.

Sayangnya, ditengah situasi sulit ini, suatu lembaga penjaminan polis ( sepadan dengan Lembaga Penjaminan Simpanan untuk industri Perbankan ) yang diperintahkan UU  No 40 tahun 2014 untuk segera dibentuk,  sampai sekarang belum ada kabar beritanya. Saya dengar sudah ada upaya untuk memasukkannya kedalam Program Legislasi Nasional di DPR. Saya kira, pemerintah dan DPR dapat menggunakan momentum ini untuk segera memprioritaskan pembahasan dan penyelesaian peraturan perundang-undangannya.

Terkait dengan semua itu, di meja Menteri Keuangan hanya ada dua pilihan penyelesaian. Sekali lagi, Posisi Menteri Keuangan dalam hal ini bukanlah regulator, melainkan Pengendali, yang tugas dan kewajibannya sudah diatur sedemikian rupa di dalam Undang-Undang.

Pilihan pertamanya adalah menghentikan kegiataan usaha Jiwasraya. Pilihan Keduanya adalah melanjutkan kegiatan usaha Jiwasraya.

Pilihan pertama memiliki  konsekuensi yang tidak mudah. Sebelum meghentikan usahanya, sesuai dengan ketentuan UU No 40 tahun 2014 Bab X Pasal 42,  kewajiban Jiwasraya mesti diselesaikan dahulu. Ini tentu mengandung konsekuensi fiskal yang tidak kecil. Selain itu, akan menimbulkan dampak yang  bisa saja berkonsekuensi contagion terhadap bangunan stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan ( ini tentu memerlukan perhitungan yang cermat ).

Pilihan kedua adalah tetap melanjutkan kegiatan usaha Jiwasraya. Yang artinya, Menteri Keuangan memenuhi kewajiban standarnya untuk memenuhi syarat-syarat yang diperlukan oleh Jiwasraya sebagai Asuransi Jiwa untuk dapat beroperasi secara normal dalam bingkai regulasi yang ada. Ini pun juga mengandung konsekuensi fiskal yang tidak mudah.

Didalam pilihan ini juga terdapat kemungkinan bagi Pengendali untuk menggunakan lembaga mediasi yang sudah diatur didalam Undang-Undang untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi pemegang polis dalam mendapatkan. manfaat asuransi. Dengan begitu, mungkin bisa ditemukan pola restrukturisasi yang dapat membantu  Jiwasraya dalam memenuhi kewajibannya.

Saya pribadi menganjurkan Menteri Keuangan mengambil pilihan ini. Tentu dengan bersungguh- sungguh pula, memproses secara hukum pihak- pihak yang telah merugikan keuangan negara.

Jika pilihan ini yang diambil, maka DPR harus dapat diyakinkan untuk mengambil posisi yang sama. Pilihan pertama dan pilihan kedua sama-sama memgandung konsekuensi Fiskal.

Adapun regulator, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan ( OJK ) juga memiliki PR yang tidak gampang. Sejak dibawah pengawasan Bapepam-LK, persoalan Jiwasraya sudah mengemuka dan terus berlangsung hingga berdirinya OJK.

Sejarah Jiwasraya sama tuanya dengan sejarah industri asuransi di Indonesia. Dimulai sejak tahun 1859 dimasa kolonial Belanda, hingga dinasionalisasinya semua perusahaan asuransi jiwa milik Belanda di tahun 1957, sampai kemudian secara resmi menjadi perusahaan asuransi jiwa milik negara ditahun 1960. Dan beroperasi  hingga sekarang. Jiwasraya adalah pionir historis asuransi jiwa di Indonesia. Dapat dibayangkan betapa sulitnya regulator dalam menghadapi perusahaan asuransi yang sudah arkaik ini.

Pertama-tama, OJK dalam hemat saya seyogyanya memberi kesempatan kepada Pengendali ( Menteri Keuangan ) dalam mencari solusi permasalah Jiwasraya. Dengan catatan Menilik histori  upaya penyelesain masalah Jiwasraya sejak 2004, toleransi yang linient oleh regulator pada hemat kami sudah lebih dari cukup.

Seperti yang sudah kami kemukan diawal. Industri asuransi sedang mengalami perubahan dan juga tekanan yang kuat. Laporan Tren industri asuransi tahun 2018 yang dirilis Oleh OECD menunjukkan beberapa tren umum yang dialami oleh industri asuransi. Diantaranya tren peningkatan premi, eksposure investasi yang dominan di obligasi, tren kerugian investasi ( investment losses) dan besarnya gross kewajiban yang mesti dibayarkan. eksposure masing- masing negara terhadap tren ini memang variatif.

Mc Kinsey dan Deloitte dalam rilisnya mengenai tren asuransi global, menunjukkan performa kinerja positif industri asuransi global. Dikawasan Asia Pasifik, India dan China menjadi faktor utama dalam menggerakkan tren positif itu. Menurut laporan Mc Kinsey, sejak tahun 2010 hingga tahun 2017, pertumbuhan industri asuransi global rata-rata diatas 4% per tahun. Di tahun 2017 malahan tumbuh hingga 4.7 %.

Dengan tren yang sedemikian positif itu, khususnya industri asurnasi jiwa, dalam menyelesaikan permasalah jiwasraya, OJK dituntut untuk bisa menginsulasi dampaknya terhadap kinerja industri secara keseluruhan. Termasuk dalam menjaga tingkat kepercayaan publik terhadap keamanan dan kemampuan industri asuransi dalam menjalankan bisnisnya.

Persoalan insolvensi yang dialami Jiwasraya  seyogyanya makin memperkuat penerapan market conduct policy di industri asuransi. Menurut laporan Deloitte, ini merupakan tren regulasi asuransi global. Diperlukan pengawasan dan stress test yang memadai dalam menguji solvabilitas industri asuransi.  Pengawasan seperti ini diperlukan untuk memastikan bahwa kinerja industri betul-betul ditopang oleh profile bisnis yang kuat. Dan bukan disebabkan oleh tindak spekulatif  jangka pendek yang membahayakan kesinambungan neraca bisnis asuransi dalam jangka panjang.

Sejak krisis tahun 1997-1998, kita juga sudah mengalami krisis-krisis sektoral dalam industri keuangan. Seperti krisis Redemption besar-besaran reksadana di tahun 2006, tekanan keuangan pada perbankan tidak sehat, yang tidak signifikan secara ukuran, yang berbuah bailout bank Century di tahun 2008-2009 dan sekarang kita juga dihadapkan pada krisis yang dialami Jiwasraya. Kesemua krisis itu muncul diantaranya disebabkan oleh komplasensi kebijakan kita sendiri.

Tetapi OJK yang oleh Undang-undang diberi kewenangan penuh untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kejahatan disektor keuangan, dalam hal ini industri asuransi, sudah waktunya juga menggunakan kewenangan itu. Yang menjadi kewenangan Kejaksaan Agung adalah perkara dugaan pidana kerugian negara pada BUMN. Sedang OJK memiliki kewenangan khusus utk melidik dan menyidik kejahatan perasuransiannya. Delik dan sanksi adminitratif dan pidana perasuransian, sudah diatur didalam UU No 40 tahun 2014.

Mengapa demikian?. Sebab, selain merupakan BUMN, Jiwasraya juga merupakan perusahaan asuransi jiwa yang sama dengan perusahaan asuransi jiwa lainnya. Buah dari hasil lidik dan sidik itu sendiri, bagi industri adalah rambu-rambu yang lebih pasti dalam menjalankan bisnisnya. Hingga terang mana yang bisa menjadi ranah pidana asuransi  dan mana yang bukan. Dan bagi pelaku industri, kalkulasi terhadap resiko hukum menjadi lebih pasti. Wallahu ‘alam.

Oleh: Andi Rahmat

(Pelaku Usaha, Mantan Waka Ketua Komisi XI DPR RI )

Komentar Anda

Berita Terkini