-->
    |

Pengamat Duga Ada Motif Lain dari KPK Selain Penegakan Hukum Terkait OTT Komisioner KPU

Faktanews.id - Pengamat politik dari Indonesian Publik Institute (IPI), Karyono Wibowo meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan klarifikasi perihal beredarnya surat perintah penyelidikan (Sprin.Lidik) OTT komisioner KPU Wahyu Setiawan terkait kasus suap pengurusan Pergantian Antar Waktu Anggota DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan.

Sprin.lidik yang dimaksud Karyono terkait OTT Wahyu Setiawan bernomor 146/01/12/2019 dan ditandatangani 20 Desember 2010 oleh Agus Raharjo. Sprin.lidik itu tertuju kepada nama-nama penyidik KPK. Padahal, pada saat bersamaan komisioner dan Dewas KPK periode 2019-2023 resmi dilantik oleh Presiden Jokowi.

"Saya kira perlu klarifikasi terkait sprin lidik OTT terhadap komisioner KPU itu. Itu kan tertanggal 20 Desember dan di tandatangani ketua KPK Agus Raharjo. Itu patut di duga ada upaya untuk menghindari izin Dewas KPK" ujar Karyono saat dihubungi, Sabtu (10/1/2020).

Jika sprin.lidik KPK yang beredar itu benar adanya, menurut Karyono, hal itu dapat menimbulkan persepsi negatif bagi KPK. Publik akan menyimpulkan seolah-olah ada target lain di balik upaya penegakan hukum.

Karyono mengatakan, beredarnya surat yang mirip Sprin lidik dari institusi KPK terkait kasus suap komisioner KPU tersebir menambah rentetan peristiwa dugaan bocornya Sprin lidik yang pernah terjadi sebelum-sebelumnya. Hal ini menurut Karyono dapat menggerus kepercayaan publik terhadap institusi KPK.
Selain itu, lanjut Karyono, sejumlah peristiwa penetapan sejumlah tersangka korupsi melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan di tengah momentum pertarungan politik dimana KPK menetapkan calon kepala daerah sebagai tersangka tak lama setelah ditetapkan sebagai calon kepala daerah oleh KPUD setempat serta OTT terhadap seseorang kader partai di tengah momentum agenda besar partai politik tertentu yang dilakukan secara berulang-ulang telah mengundang pertanyaan publik karena seakan-akan sudah dijadikan pola oleh KPK. Hal ini mengafirmasi dugaan bahwa selain melakukan penegakan hukum, KPK juga melakukan manuver politik dengan cara mengkapitalisasi kasus korupsi.

Namun demikian, lanjutnya, kasus OTT komisioner KPU ini memang harus diproses karena sudah ada minimal dua alat bukti.

Karyono menambahkan, penegakan hukum merupakan suatu keniscayaan dan pemberantasan korupsi harus dilakukan. Namun, kata dia, sebagai lembaga penegak hukum, KPK tak boleh melakukan manuver layaknya partai politik.

"KPK jangan melakukan manuver politik dalam penegakan hukum. OTT KPK jangan sampai cacat prosedur atau cacat admistrasi," tandas dia.

Sementara itu, pengamat intelijen dan keamanan Stanislaus Riyanta, mengatakan perlu ada evaluasi administrasi di KPK terutama jika  Surat Perintah Penyelidikan KPK yang terkait OTT komisioner KPU itu benar adanya. Sebab, kata dia, administrasi semacam itu bisa dianggap mencari celah untuk tujuan tertentu.

"Tanggal 20 Desember 2019 telah dilantik Dewan Pengawas KPK dengan segala kewenangan yang telah berlaku. Tentu saja secara tertib administrasi segala kegiatan KPK setelah tanggal 20 Desember 2019 harus dibawah otoritas pimpinan KPK yang baru dan Dewan Pengawas.

Menurut Stanislaus, pemberantasan korupsi harus dilakukan dan siapun yang terlibat korupsi harus ditindak secara tegas. Namun dalam tindakannya KPK perlu memperhatikan aturan yang berlaku termasuk harus taat prosedur dan administrasinya.

"Jangan sampai pemberantasan korupsi ini terganggu karena ada ketidaktertiban administrasi. Karena jika ini yang terjadi bisa digugat lewat praperadilan yang dampaknya kontraproduktif bagi KPK," katanya. (RF)
Komentar Anda

Berita Terkini