-->
    |

Menanti Angket Jiwasraya

Faktanews.id - Agar tidak terus-terus menjadi tukang “cap setuju” sub-ordinat eksekutif, tetapi juga tidak untuk membelah, memacetkan pemerintahan, melainkan demi akuntabilitas kebijakan berpemerintahan, MPR melangkah maju ditahun 2001. MPR mengubah UUD 1945.

Dalam UUD 1945 yang diubah itu, MPR membekali DPR “benteng hebat.” Benteng itu tertuang dalam  pasal 20A UUD 1945.
Benteng itu dipertalikan rasionya dengan konteks perlakuan terhadap anggota DPR dimasa orde baru. Itu betul. Tetapi rasio kehadiran benteng itu juga dipertalikan dengan pradigma presidensialisasi.

Paradigma itu bekerja melalui penghapusan GBHN. Penghapusan GBHN mengakibatkan presiden, siapapun orangnya, tersematkan secara konstitusional sebagai aktor tunggal dalam mendefenisikan kebijakan pembangunan.

Isu Konstitusional

Masa-masa tanpa “benteng hebat” itu, punya keunikan. DPR orde baru dapat  memunculkan sejumlah orang berkelas. Orang-orang seperti Ibu Aisyah Amini, Pak Zarkasih, Babe Ridwan Saidi, Ibu Brigjen Roekmini, Pak Tadjudin Noor Said adalah sedikit di antara beberapa yang hebat. Orang-orang ini dikenal kritis terhadap serangkaian kebijakan pemerintahan Pak Harto.

Pak Harto boleh hebat, tetapi pada level tertentu, beberapa anggota DPR pada masanya berhasil menempatkan pemikiran dan tindakan politik yang memusingkan Pak Harto. Pidato Pak Harto di Pekan Baru tentang Amandemen UUD 1945 misalnya memicu kritik keras anggota DPR dari PPP. Pak Harto, apapun sebutan untuk pemerintahannya keluar menanggapinya.

Beliau mengirimkan seorang Menterinya untuk secara resmi menjelaskan kandungan tujuan pidatonya itu kepada DPR. Gagal meyakinkan pada pertemuan pertama, Pak Harto kembali mengirimkan  Menteri lain, dengan level yang lebih energik dan terampil dalam semua aspek.

Harus diakui masa itu bukan masa tentang penggunaan hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat. Interpelasi dan angket, dua hak konstitusional itu baru digunakan pada masa pemerintahan Pak SBY. Angket paling mengerikan terjadi tahun 2009 pada awal masa pemerintahan Pak SBY periode kedua.

Kasus Bank Century menjadi objek angket itu, tanpa dilanjutkan ke hak menyatakan pendapat. Tetapi itu saja sudah hebat. Hebat sekali. Terlihat disepanjang sidang angket itu hal-ihwal tentang rendahnya mutu akuntabilitas kebijakan  menangani Bank itu.

Cukup terang sejauh angket itu jumlah uang dicurigai rendah derajat akuntabilitasnya. Jumlahnya  tidak sampai 7 trilyun. Jumlah ini jauh lebih kecil dari 13 trilyun lebih dalam kasus Jiwasraya. Betul kasus ini telah diselidiki oleh Kejaksaan Agung. Relatif sama dengan kasus Century. Sebelum diangketkan, kasus Century telah diselidiki oleh Polri. Tetapi Century tetap diangketkan.

Apakah Jiwasraya memenuhi kualifikasi isu konstitusional untuk diangketkan? Politisi akan datang dengan argumen yang satu dengan lainnya saling menyanggah. Termasuk berbeda dalam merespon pernyataan Presiden Jokowi tentang durasi waktu masalah yang dilintasi Jiwasraya. Tetapi justru karena telah lama terjadi itulah, masuk akal didalami lebih jauh.

Apa masalah dasarnya? Apakah masalahnya baru diketahui setelah peristiwa gagal bayar atau apapun istilahnya dengan jumlah sebesar 13 trilyun lebih naik ke Kejaksaan Agung? Bila telah diketahui jauh sebelumnya, masalahnya apa tindakan pemerintah? Masuk akalhkah masalah itu dibiarkan saja sebagai masalah teknis bisnis? Pantaskah secara konstitusional masalah ini dikualifikasi sebagai masalah rutin saja dalam bisnis?

Negara berbisnis? Bisnis ya bisa rugi, bisa juga untung. Itu alamiah. Tapi dalam konteks kasus ini masalahnya tidak sederhana. Mengapa? Dari sejarahnya secara universal bisnis ini muncul dalam kerangka pemikiran konstitusional. Kerangka dasarnya adalah memberi kepastian keamanan sosial ekonomi kepada rakyat. Disitulah letak esensi konstitusional lembaga ini.

Pada titik itu, masalah ini tidak cukup diterima sebagai masalah rutin bisnis semata. Ini masalah konstitusional. Masalah ini terhubung, sekali lagi, dengan keharusan negara memberi jaminan keamanan, perlindungan atas kehidupan rakyat. Perlindungan kepada rakyat secara konstitusional merupakan kewajiban absolut negara.

Itu sebabnya Franklin Delano Rosevelt, presiden Amerika pada era resesi besar ekonomi tahun 1930-an meluncurkan kebijakan sejenis sebagai bagian esensial  Social savety net policy. Ya untuk memberikan jaminan perlindungan, keamanan sosial dan ekonomi kepada rakyat. Atas dasar itulah, isu Jiwasraya cukup memadai untuk dikerangkakan sebagai isu konstitusional, bukan bisnis semata.

Bukan Cabang Khusus Presiden

DPR secara parsial memang telah memberi tanda-tanda kecil hendak menangani masalah ini melalui dua Komisi. Mungkin dibentuk Panitia Khusus (Pansus) gabungan dua Komisi. Komisi VI dan XI. Mengapa hanya Pansus gabungan komisi? Mengapa tidak langsung ke angket?

Angket memungkinkan semua anggota DPR terlibat, memungkinkan semua anggota dari semua Komisi terlibat. Ini tidak mungkin terjadi di Pansus biasa. Disisi lain angket dibekali kewenangan subpoena, tindakan paksa dengan konsekuensi hukum. Pansus biasa tidak. Tetapi memang Pansus biasa lebih mudah memprosesnya. Pansus biasa tidak dikerangkakan pada syarat rigid, dan relatif berat. Angket justru dikerangkakan padanya. Syarat inisiator, quorum rapat dan quorum pengambilan keputusan harus dilalui.

Tidak itu saja inisiator harus menyiapkan argumen terulis. Dokumen itu harus  ditandatangani minimum 25 orang. Praktis Pansus biasa lebih mudah. Biasa saja. Berbeda secara radikal dengan Angket. Bila disetujui, maka dibentuk Pansus. Namanya Pansus Angket.

 Masalahnya siapa yang mau namanya tercatat sebagai inisiator? Itu soal besar. Sangat besar. Politisi picisan akan mendnai mereka pemanggil badai, pembuat onar kecil. Itu sebabnya butuh nyali. Nyali ditentukan sejumlah faktor. Siapa yang mau mengambil risiko berat itu? Haruskah muncul tangan kuat sebagai penyokong tak terlihat? Mungkin juga tidak.

Tetapi siapa yang bernyali bila politisi picisan melebel mereka sebagai pencipta  politik pembelahan pemerintahan. Padahal sejarah century  memperlihatkan memperlihatkan dengan jelas tidak berakhir dengan datangnya politik dua aliran secara radikal. Negara setelah angket itu tidak jatuh ke dalam politik dua aliran, sebut saja aliran pemerintah dan aliran non pemerintah, atau nama lain yang semakna.

Memang pemerintahan terbelah dalam dua aliran politik, pernah ditakutkan George Washington, John Adams dan Thomas Jefferson pada masanya. Tetapi sekali lagi ini tidak terjadi pasca angket Century. Ketakutan yang sama yang menyertai akhir pilpres 2014, nyatanya melayang juga.

Polarisasi itu sangat artifisial, tidak idiologis.
Polarisasi yang mirip memang terlihat saat ini. Hanya PKS, PAN dan Demokrat di luar blok pemerintah. Ini memang masalah bila dibawa ke dalam syarat angket. Penyatuan mereka tidak bakal menembus angka ½ anggota DPR untuk bisa meresmikan angket.

Tetapi masalah konstitusionalnya adalah Parpol ada atau tidak dalam pemerintahan, anggota DPR ya anggota DPR.

Semangat dasarnya harus semangat penyelenggara kekuasaan DPR. Semangat ini, disertai catatan kecil diperlihatkan Demokrat pada masa lalu. Mereka pastikan bahwa kendati Ketua Umumnya menjadi Presiden, mereka mungkinkan DPR bekerja menyelidiki kebijakan pemerintah.

DPR, mereka pastikan tak menjadi organ khusus, subordinat pemerintah. Mereka juga tak mau mereduksi secara radikal DPR, dengan argumen politik partisan. Mereka terlihat tahu kelas mutu politik partisan itu.

Mutunya rendah.

Anggota DPR, demi bangsa harus bertemu pada satu titik. Titik ini bernama kepentingan konstitusional bangsa. Jenis kepentinganya bisa berupa revitalisasi akuntabilitas politik sebuah kebijakan, rule of law dan proteksi terhadap kelangsungan hidup rakyat. Harus diingatkan akuntabilitas selalu menjadi esensi, energy utama tata kelola negara.

Itu absolute, dan harus diterima sebagai isu yang mengintegrasikan. Bukan sebaliknya terus terbelah, terus terpola pada arus asal jadi; pro dan penantang asal-asalan pemerintah. Akan hebat bila DPR tenggelam dalam kesadaran ini. Mari menantikan pekerjaan kecil ini. Keberhasilan pekerjaan kecil ini akan menaikan derajat akuntabilitas penyelengaraan pemerintahan.

Akuntabilitas itulah, yang pada level tertentu sedang dirindukan kiyai Agil Siroj, pimpinan utama NU. Belakangan ini Kiyai Agil mengungkap ketidak-konsistinan Kemenkeu memenuhi MOU dengan mereka. Kiyai ini juga bicara tentang oligarki ditubuh politik bangsa. Apa esensinya? Amburadulnya politik partisan. Politik partisan menenggelamkan mutu kehidupan berbangsa dan bernegara. Ayolah DPR. Gulirkanlah angket.

Oleh: Margarito Kamis
Komentar Anda

Berita Terkini