-->
    |

Konflik Amerika-Iran Memanas, GMNI Minta Pemerintah Antisipasi Naiknya Harga Minyak

Faktanews.id - Hubungan antara Amerika Serikat dan Iran kian memanas. Memanasnya hubungan kedua negara ini setelah Jenderal Qasem Soleimani tewas ditembak tentara Amerika. Warga Iran kemudian melakukan aksi demontrasi dan menyerbu kantor Kedutaan Besar Amerika sebagai balasan atas tewasnya Qasem Soleimani.

Meruncingnya hubungan Amerika Serikat dan Iran tersebut menuai perhatian dari sejumlah pihak karena saling ancam antara AS dan Iran akan berdampak pada sejumlah sektor negara lain, termasuk Indonesia.

Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino berpendapat naiknya tensi politik di Timur Tengah, terutama berkaitan dengan konflik Amerika Serikat dan Iran bisa mempengaruhi naiknya harga minyak karena Timur Tengah.

Arjuna mengatakan, secara geo-ekonomi merupakan daerah sumber minyak. Memanasnya konflik AS dan Iran juga berpotensi berbahaya terhadap arus pasokan minyak mentah dunia.

"Yang perlu diwaspadai adalah dampak konflik ini terhadap harga minyak dunia. Karena konflik berpusat di negara-negara dekat Selat Hormuz. Di selat ini mengalir seperlima pasokan minyak dunia", ujar Arjuna dalam keterangan persnya, Senin (6/1/2020).

Arjuna mengusulkan Pemerintah harus melakukan langkah antisipasi apabila konflik AS dan Iran berpengaruh pada naiknya harga minyak dunia. Sehingga ekses negatif dan kerugian-kerugian sebagai dampak dari konflik ini bisa diminimalisir.

"Sebagai anggota tidak tetap dewan keamanan PBB, Indonesia bisa mendesak kedua belah pihak untuk mengurangi tensi ketegangan", tambah Arjuna

Diketahui, berdasarkan data British Petroleum (BP), produksi minyak Indonesia sebesar 1,18 juta barel per hari sementara konsumsi minyak mencapai 1,21 juta barel per hari. Alhasil, neraca minyak defisit 54 ribu barel per hari. Sepanjang periode 2009-2019 volume impor migas nasional telah meningkat 36,4% menjadi 49,1 juta ton atau rata-rata 3,6% per tahun.

Sebagai solusi jangka panjang, Arjuna juga mendorong Pemerintah untuk mengembangkan energi alternatif, terutama energi non-fosil sehingga mengurangi ketergantungan dari impor minyak.

"Pengembangan energi alternatif sudah sangat mendesak. Terutama energi non-fosil. Selain masalah lingkungan, juga mengurangi ketergantungan kita terhadap impor minyak", ungkap Arjuna

Apalagi menurut Arjuna, Indonesia merupakan negara anggota International Energy Agency (IEA) yang memiliki kewajiban mengaplikasikan energi terbarukan yang ramah lingkungan, terjangkau dan rendah emisi karbon.

"Indonesia sudah bergabung dalam International Energy Agency (IEA). Indonesia memiliki kewajiban dan harus berkomitmen mengembangkan energi bersih yang ramah lingkungan dan berkelanjutan"

Berdasarkan data, dengan potensi panas bumi sebesar 29.543,5 MW, Indonesia menempati urutan kedua setelah Amerika Serikat sebagai negara dengan potensi energi terbarukan geothermal terbesar di dunia. Menurut Arjuna, Indonesia memiliki potensi yang harus dimanfaatkan sehingga memberikan nilai pada kedaulatan energi kita.

"Potensi kita sudah ada. Tinggal political will pemerintah mau atau tidak mengembangkan ke arah energi terbarukan. Pemerintah tidak boleh tersandra oleh perburuan rente minyak", tutup Arjuna. (RF)
Komentar Anda

Berita Terkini