-->
    |

Connie Rahakundini Dorong Jokowi Utamakan Kebijakan Politik Luar Negeri Dan Pertahanan

(Dr. Connie Rahakundini Bakrie dalam diskusi bertajuk "Tantangan Geopolitik Indonesia Dalam Perspektif Global Dan Kawasan" di kantor DPP PGK)
Faktanews.id - Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Gerakan Kebangsaan (DPP PGK) menggelar diskusi publik bertajuk "Tantangan Geopolitik Indonesia Dalam Perspektif Global Dan Kawasan" di kantor (DPP PGK), Pancoran, Jakarta Selatan (17/2/2020). Hadir sebagai narasumber adalah analis Pertahanan dan Militer, Connie Rahakundini Bakrie dan Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Golkar, Bobby A. Rizaldi.

Connie menjelaskan Indonesia tetap masih dibebani oleh persyaratan mengelola populasi pulau pulaunya serta mengerahkan segala sumber daya untuk mengendalikan inti sebagai sebuah negara GMF (Global Maritime Fulcrum) atau Poros Maritim Dunia sebagaimana disampaikan Presiden Jokowi pada KTT Asia Timur ke IX di Myanmar pada November 2014 silam.

"Presiden (Jokowi) ketika itu secara jelas menyampaikan bagaimana Indonesia akan bertransformasi menjadi sebuah negara GMF dengan berfokus pada lima pilar: Budaya Maritim, Sumber Daya Maritim, Infrastruktur Maritim dan Konektivitas, Maritim Keselamatan dan Keamanan Maritim. Kelima pilar ini selanjutnya diperluas menjadi tujuh pilar, dengan menambahkan pilar Pengembangan SDM dan Ruang Maritime," ujar Connie.

Menurut Connie, dari titik tersebut lahirlah kemudian gagasan Indonesia mengenai Indo-Pasifik sebagai bentuk strategi dan perencanaan operasional kebijakan luar negeri bervisi maritim. Karenanya, kata Connie, beban dan tanggung jawab bergerak dari harapan menuju ke kebijakan, dan dari harapan menuju strategi kemudian ke implementasinya, terletak sangat pada tangan dan bahu seluruh manusia Indonesia.
"Pertanyaannya adalah apa langkah langkah yang harus diambil Indonesia untuk mewujudkannya?," tanya Connie.

Menurut Connie, rekonseptualisasi tatanan Regional-Indo-Pasifik-adalah kebutuhan strategis bagi Indonesia serta ASEAN. Tantangan saat ini harus membuat semua elemen bangsa sadar bahwa Indonesia tidak bisa lagi hanya berpegang teguh semata pada gagasan dan norma tetapi harus dapat mengarahkan dan menentukan bagaimana negara negara berkekuatan besar berperilaku terhadap Indonesia dan bersikap fair satu sama lain.

Menurut Connie, sebagai pencetus ASEAN Outlook at Indo-Pasifik (AOIP) Indonesia dituntut untuk memastikan bahwa AOIP dapat diwujudkan secara nyata dan mewajibkan Indonesia lebih fokus melibatkan para pemimpin ASEAN untuk lebih menitik beratkan pada kebijakan terkait kawasan dibanding pada kebijakan bersifat domestik.

"Presiden Jokowi harus mampu mendorong Indonesia untuk mencurahkan lebih banyak usaha dan perhatiannya terhadap kebijakan luar negeri dan pertahanannya," katanya.

Dijelaskan Connie, konsep menjadikan Indonesia sebagai GMF, sebuah hubungan yang menghubungkan dua samudera strategis masih jauh terwujud. Kebijakan maritim Indonesia, sebagai sebuah dokumen otoritatif yang menggambarkan prioritas maritime, masih kurang memfokuskan pada peningkatan profil Indonesia ditataran regional serta untuk tampil mumpuni di dua samudera sesuai dengan target besar Nawacita.
"Pengembangan lebih lanjut masih diperlukan berangkat dari konsep dasar GMF yang juga wajib kemudian mencakup ruang udara, antariksa, maya dan permukaan dunia, telah menjadi sebuah keharusan," tandas Connie.

Menurut Connie, sejak 2007, istilah "Indo-Pasifik" telah mendapatkan daya tarik. India, Jepang, Australia dan AS-anggota Quadrilateral Security Dialoguo - telah mengusulkan visi Indo-Pasifik dimana masing-masing pada dasarnya menekankan pada aspek strategi Indo-Pasifik yang "bebas dan terbuka". Connie menambahkan, Indo-Pasifik adalah tantangan langsung bagi Cina Belt and Road Initiative meski saat ini China telah mampu mengakuisisi beberapa pelabuhan di Samudera Hindia.

"Sikap argumentatif China terhadap konstruksi geopolitik Indo Pacific yang disampaikan Menteri Pertahanan Wei Fenghe dalam sambutannya di Shangri-La Dialogue 2019 telah jelas menegaskan sikap China pada pertanyaan pihak AS terkait ‘’upaya militerisasi yang tidak sah’’ dari PLA Navy di Laut Cina Selatan," tambah Connie.

Connie mengatakan, persaingan geopolitik di Indo-Pasifik terbukti nyata. Sehingga penting bagi Indonesia untuk menjadi kontributor aktif dan ini akan sulit jika pemerintah tetap terbentur pada pendirian yang menegaskan bahwa Indonesia menganut tradisi kebijakan luar negeri yang mendamaikan. Bagaimana seekor pelanduk mampu mendamaikan dua harimau yang bertarung?

Menurut dia, Indonesia terlihat terus ragu dan enggan untuk menggambarkan apalagi memunculkan dirinya sebagai kekuatan Indo-Pasifik disebabkan distancing pragmatism. Program infrastruktur Indonesia sebagian besar tergantung pada pinjaman luar negeri China, dilain sisi Indonesia belum berdaya untuk menempatkan hubungannya dalam situasi yang berbahaya dengan AS.

"Dengan demikian, setiap gagasan Indo-Pasifik yang keluar dari Indonesia terus terjebak pada zona ‘’eksplisit inklusif.’’

Sudah saatnya Indonesia menentukan sikap tegas kebijakan politik luar negeri berikut upaya untuk menyatukan strategi dan kerjasama dengan mitra di kawasan, karena bagaimanapun konsep Indo-Pasifik telah mendapatkan momentum signifikan yang memerlukan keterlibatan diplomatic," katanya.

Bagi pengembangan dan implementasi Indo- Pasifik Outlook, Connie mengatakan, Jokowi dituntut mampu lebih terlibat dalam mengembangkan pandangan dan langkah baru yang harus diambil Indonesia bersama ASEAN. Bukankah dunia Post-Modern tidak lagi ditandai dengan balance of power atau intervensi suatu negara terhadap negara lain melalui kekuatan militer semata tetapi juga kepada upaya-upaya untuk mewujudkan agenda global yang dilakukan melalui berbagai bentuk kerjasama dan kesepakatan bersama?

"Persoalan hegemoni kekuasaan internasional yang terjadi pada era Post- Modern tidak lagi dilakukan oleh negara namun dapat didasarkan pada kolektivitas negara melalui organisasi internasional. Organisasi internasional inilah yang banyak memiliki kekuatan untuk membangun keamanan dunia," katanya.

Untuk diketahui, diskusi PGK ini dihadiri Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Gerindra, Sri Meliyana, Ketum PGK Bursah Zarnubi, Presiden Asia-Africa Benny Pramula, Ketum PB HMI Saddam Al Jihad, kolompok Cipayung Plus dan dan ratusan aktivis pergerakan lintas generasi lainnya. (RF)
Komentar Anda

Berita Terkini