-->
    |

Alasan GIAD Tolak Rencana Amandemen UUD 1945 Dan Hidupkan Kembali GBHN

Faktanews.id - Rencana amandemen terbatas Undang-Undang 1945 dan menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia mendapat penolakan dari sejumlah pihak. Salah satunya adalah dari Gerakan Untuk Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD).

GIAD merupakan gabungan dari sejumlah elemen, seperti JPPR, IBC, Exposit Strategic, Seknas Fitra, Tepi Indonesia, KIPP, Formapi, Lima Indonesia dan DEEP.  Sebelum menggelar konfrensi pers, GIAD bertemu dengan MPH PGI di Oikoumene PGI, Jakarta Pusat, Senin (27/1/2020).

Jeirry Sumampow, perwakilan dari GIAD, menyampamkan alasan penolakan pihaknya atas rencana amandemen UU 45 dan bakal dihiduplannya kemabli GBHN. Jeirry mengatakan, PGI belum menentukan sikap apa-apa terkait Amandemen UUD dan GBHN. PGI masih akan ditentukan dalam Sidang MPL PGI awal bulan Pebruari di Lombok, NTB, mendatang.

"Hal ini sekaligus untuk mengklarifikasi informasi yang beredar sebelumnya bahwa PGI sudah menentukan sikap mendukung (Amandemen UU dan GBHN)," ujar Jeirry, mengutip pernyataan Sekum PGI Pdt. Jacklevyn F. Manuputty.

Menurut Jeirry ada enam poin alasan pihaknya menolak amandemen UU dan GBHN. Keenam poin tersebut adalah;

Pertama, agenda amendemen terbatas UUD 1945 patut ditolak karena berpotensi menjadi “bola liar” yang dapat dimanfaatkan oleh elite politik bukan hanya untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan untuk menyusun GBHN, tetapi juga untuk merusak tata negara hanya demi pemenuhan ambisi kekuasaan.

Kedua, upaya untuk mendudukkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dapat mengacaukan konstruksi presidensialisme dan mekanisme checks and balances dalam relasi Presiden-DPR, yang coba diperkuat lewat amendemen terdahulu maupun praktik politik dalam dua dekade terakhir.

Ketiga, alih-alih memperkuat kedaulatan rakyat, mengembalikan kewenangan MPR untuk menyusun GBHN berpeluang mempersempit ruang partisipasi publik dan mendegradasi daulat rakyat, yang perlu untuk ditingkatkan kuantitas maupun kualitasnya, dalam penyusunan rencana pembangunan.

Keempat, jika kontrol terhadap capaian dan anggaran pembangunan ingin dijalankan secara efektif dan efisien, jalan pertamanya bukanlah penyusunan GBHN oleh MPR, melainkan optimalisasi mekanisme perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan melibatkan bukan hanya elemen negara melainkan juga partisipasi meluas publik.

Kelima, tujuan untuk mewujudkan pembangunan berkesinambungan juga dapat dijalankan bukan melalui penyusunan GBHN oleh MPR, tetapi melalui penguatan koordinasi antar-lembaga serta melalui transfer kekuasaan antar-periode pemerintahan dengan memerhatikan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang terintegrasi.

Keenam, alasan penyusunan GBHN oleh MPR untuk mewujudkan pembangunan komprehensif juga sulit diterima. Sebab, saat ini tuntutan perencanaan pembangunan nasional berbasis UU No 25 Tahun 2004 cukup integratif dan komprehensif, termasuk meliputi koordinasi antara unsur-unsur pemerintah dan rakyat, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta antara pihak eksekutif dan legislatif.

"Dengan demikian, langkah perbaikan praktik ketatanegaraan, termasuk dengan memajukan budaya politik demokratis, menjadi jauh lebih mendesak dibandingkan mengembalikan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara," tandas Jeirry. (RF)

Komentar Anda

Berita Terkini