-->
    |

Pakar Ungkap Kontribusi Sang Penjelajah Bumi Nusantara Alfred Russel Wallace

(Dari kiri Prof. Sangkot Marzuki, Prof. Jatna Supriantna, Bursah Zarnubi, Yudi Latif, JJ Rizal, pada bedah buku Kepulauan Nusantara di Hotel Gren Alia Cikini, Jakpus 3 Desember 2019)
Faktanews.id - Nama ilmuan dunia Alfred Russel Wallace tak setenar Charles Darwin. Padahal teori seleksi alam sebagai dasar evolusi yang dicetuskan Darwin dan membuat nananya dikenal khalayak dunia berawal dari makalah yang ditulis Wallace. Darwin dan Wallace memang bersahabat.
Namun, sebelum menuangkan gagasannya dalam bentuk buku Darwin belum terkenal. Ia dikenal dunia setelah menulis buku dan menerima makalah yang ditulis Wallace.

Makalah Wallace yang diterima Charles Darwin ini dikenal dengan sebutan "On The Tendency Of Varieties to Depart Indefinitelty from the Orginal Type".

Hal tersebut disampaikan Presiden Akademi Imu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Prof. Sangkot Marzuki, saat menjadi narasumber diskusi dan bedah buku "Kepulauan Nusantara" karya Alfred Russel Wallace, di Hotel Grend Alia, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (2/12/2019).

Penyelenggara bedah buku Kepulauan Nusantara ini adalah Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Gerakan Kebangsaan. Pembicara lain pada bedah buku yang pesertanya ratusan mahasiswa dan aktivis lintas kampus ini adalah Kepala Pusat Penelitian Perubahan Iklim, Prof. Jatna Supriatna, Cendikiawan Yudi Latif, Buyawan JJ Rizal. Sementara yang menjadi moderator adalah Ketum PGK Bursah Zarnubi.

Sangkot mengatakan, Wallace adalah seorang ilmuan besar dunia, sejajar dengan Charles Darwin. Pemikiran bahwa seleksi alam dan survival of the fittes adalah proses yang mendasari evolusi mahluk hidup, merupakan penemuan ilmiah terbesar dunia abad ke-19.

"Kalau orang Indonesia ditanya, siapa pencetus teori seleksi alam sebagai dasar evolusi, jawabannya hampir pasti Charles Darwin. Mengapa Wallace terlupakan? Mengapa Ternate terlupakan? Bukankah ada yang salah apabila nama Alfred Russel Wallace hampir tidak dikenal di Indonesia? Sebagian besar orang Indonesia yang saya tanyai bahkan tida tahu apa Garis Wallace itu," ujar Sangkot.

Prof. Jatna Supriatna kemudian menjabarkan kontribusi Wallace terhadap Indonesia. Disebutkan Jatna,  Wallace memberikan banyak sumbangsih atas temuan pada spisies hewan dan tanaman di Indonesia. Disebutkan, Wallace menemukan lebih dari 900 spisies selama menjelajahi Nusantara, mulai dari kepulauan Maluku, Ternate, borneo, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa.
"Saya pernah datangi tempat tempat yang dilalui Wallace. Bayangkan 9 tahun dia datang dari hutan ke hutan. Waktu saya kuliah saya datang lansgung ke Kalimantan dan Sumetera meneliti hutan," ujar Jatna.

Dalam penelitiannya, Jatna menemukan banyak kekayaan yang terkandung di bumi Indonesia. Namun sayang, kekayaan sumber daya alam tersebut tidak dikelola secara maksimal. Padahal, andaikata Wallace tidak melakukan penjelajahan ke Nusatara maka belum tentu ditemukan 900 spisiesmen oleh orang Indonesia sendiri.

"Ada salah apa bangsa Ini, yang perlu kita teliti apa yang salah. Apakah SDM yang salah kerena dia (Wallace) menemukan 900 spesies baru. Bayangkan tidak ada orang Indonesia seperti (Wallace) itu," katanya.

Disebutkan Jatna, mestinya kekayaan hayati Indonesia sebenarnya dapat menjadi aset pembangunan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia cukup unik, berbeda dengan negara-negara lain. Hanya saja, kata dia, keunikan Indonesia ini belum dikelola secara maksimal selama ini.

"Tadak ada satupun negara di dunia yang sama dengan Indonesia. Siapa yang punya pulau lebih 17 ribu di dunia, tidak ada. Kita yang punya pulau 17 ribu. Jadi bapak-bapak kalau pergi ke satu pulau-pulau untuk mengenal Indonesia bapak-bapak harus memakan 49 tahun untuk dapat mengenali Indonesia. Bagaimana kita dapat mengenali Indonesia, bagaimana kehidupan kebangsaan kalau kita tidak mengenal jati diri kita. Kita punya sejarah iklim yang berbeda, kita punya sejarah bentuk pulau yang beda-beda, dari yang kecil sampai yang besar. Kita punya ekosistem," tandas dia.

Jatna lantas memuji Wallace yang berhasil menjelajahi Nusantara, kendati "Bapak BioGeografi", yang lahir pada 8 Januari 1823 di Inggris, tersebut tidak mudah menghadapi tantangan perjalanannya.

"Wallace itu aneh, seorang yang bukan sarjana tapi dia betul-betul gairahnya itu sangat menggebu-gebu. Dengan keuangan yang sangat terbatas dia bisa datang, bisa membaca buku biologi dan antropologi," tandasnya.

Jatna menambahkan Wallace yang berasal dari Inggris merasa aneh ketika merasakan bumi bergoyang, padahal itu adalah gempa. Karena di negara asalnya tidak pernah merasakan gempa. Jatna selanjutnya menjelaskan tentang peta terjadinya gempa di Indonesia. Disebutkan Jatna, gempa bumi yang menjadi momok menakutkan masyarakat ini sudah ribuan kali menggoncang Indonesia akhir-akhir ini, kendati Indonesia dikelilingi puluhan gunung berapi.

"Mungkin setiap Minggu kita dengar gempa. Tahun lalu ada 4 ribu gempa. Kita ada gunung berapi 122. Di Jawa sendiri ada 45 gunung berapi. Kita ini dikelilingi gunung berapi. Itulah kita harus tahu karena tidak ada negara lain yang punya sepertu itu. Eropa tidak ada. Dulu ada gunung berapi meletus di Islandia, ribut semua Eropa, tutup semua airport. Kita biasa-biasa saja Merapi meletus. Karena itulah yang menyuburkan kita. Tanah Jawa itu sangat subur sekali. Jadi itu sebagai bangsa harus tahu kita," katanya.

Sementara itu, Yudi Latif, juga mengatakan bahwa Indonesia merupakan suatu ekosistem terkaya hari ini. Menurut dia, secara geografis Indonesia sebenarnya merupakan negara tiga perjumpaan dari tiga domain. Dimana Papua pada waktu itu pernah menyatu dengan Australia. Begitu juga Kalimantan, Sumatera dan Jawa yang pernah menyatu dengan Asia.

"Nah diantara Kalimantan dan Papua mulai dari Sulawesi, Maluku, Nusa tenggara, itu tidak pernah menyatu dengan Asia dan Australia. Tapi itu sepenuhnya itu khas teritori Indonesia. Jadi kenapa kita ini kaya karena menggabungkan flora dan fauna dari tiga zona sekaligus. Dari Asia, Autralia dan Indonesia sendiri. Jadi betapa pentingnya geografi Nusantara ini," tandas Yudi Latif.

Menurut Yudi, aneka ragam hayati sebagaimana dimaksud Wallace, akan menjadi berkah jika manusia Indonesia memiliki kemampuan untuk mengelolahnya.

"Itu semuanya akan menjadi berkah tapi mengelolah potensi itu memang tergantung manusianya, bagaimana manusia dapat memanfatkan potensi yang luar biasa ini," katanya. (RF)

Komentar Anda

Berita Terkini