-->
    |

Survei Parameter Politik: 6,7 Persen Masyarakat Ingin Negara Berasaskan Agama Diformalkan

(Pemaparan hasil survei Parameter Politik Indonesia"
Faktanews.id - Parameter Politik Indonesia kembali malansir hasil survei. Kali ini tentang Islam Politik. Survei ini dilakukan 5-15 Oktober 2019. Dalam survei ini terungkap kecenderungan masyarakat Indonesia moderat karena melihat agama dan negara sama penting 81,4 persen.

"Hanya sedikit saja yang menganggap agama lebih penting dari negara 15,6 persen," ujarDirektur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, di kantornya, Jakarta Selatan, Jumat (29/11/2019).

Menurut Adi, sampel survei ini 1000 responden dan diambil menggunakan metode stratafied multistage random sampling dengan margin of eror sebesar kurang lebih 3,1 persen pada tingkat kepercayaan 95 peren.

Menurut Adi, fakta tersebut menunjukkan bahwa masyarakat tak tertarik membenturkan agama dan negara. Karena ini lahir dari kawin silang berbagai unsur dan nilai agama yang mengkristal menjadi sebuah negara. Adi mengatakan, dalam konteks format negara, masyarakat mendukung bentuk negara ideal tetap NKRI berasaskan Pancasila dengan menyertakan nilai-nilai agama tapi tidak diformalkan (Subtantif) angkanya mencapai 62 persen.

"Sementara yang menilai tetap NKRI berasaskan Pancasila dan mendorong agama urusan pribadi presentasenya 22,1 persen. Sedangkan yang menghendaki negara berasaskan agama diformalkan hanya 6,7 persen," tandas Adi.

Adi menambahkan, terkait Islam kanan seperti FPI, alumni 212, dan GNPF MUI masyarakat tak setuju jika mereka dianggap sebagai ancaman stabilitas demokrasi. Namun masyarakat terbelah jika Islam kanan itu melakukan demonstrasi. Bedanya cukup tipis. Presentasenya adalah mendukung demonstrasi 32,5 persen, tak mendukung 33,6 persen, dan tidak menjawab 33,8 persen.

"Itu artinya banyak juga masyarakat yang sebenarnya tak peduli dengan isu demonstrasi semacam ini," tukas Adi.

Dalam survei ini juga terungkap fakta lain. Misalnya soal kecenderungan masyarakat untuk pemulangan Habib Rizieq dengan campur tangan pemerintah. Menurut Adi, kecenderungan masyarakat tersebut bisa dibaca sebagai bentuk keinginan rekonsiliasi secara menyeluruh dengan semua pihak. Salah satunya dengan aktivis Islam politik seperti FPI, alumni 212, dan Habib Rizieq.

"Ada kerinduan mendalam supaya bangsa kembali tentram, aman, damai, tanpa kegaduhan apapun. Rekonsiliasi nasional tak selesai hanya dengan merangkul Prabowo menjadi bagian dari koalisi pemerintah," tandas Adi.

Menurut Adi, aktivis Islam politik tak perlu lagi menuding pemerintah anti umat Islam dan kriminalisasi ulama. Sebab, mayoritas masyarakat menilai puas atas kinerja Jokowi terhadap semua agama. Narasi negatif harus dihentikan diganti dengan konstruksi isu yang lebih membagun.

"Jelas ini tak produktif bagu konsolidasi demokrasi. Gerakan Islam politik harus kongkrit menjawab tantangan zaman seperti ikut serta mengentaskan kemiskinan, membangun institusi pendidikan murah dan gratis bagi kolompok miskin, membantu membuka lapangan pekerjaan baru, dan seterusnya. Bukan lagi terbatas pada "isu agama yang itu-itu" saja," katanya.

Disebutkan Adi, habis energi bangsa ini jika hanya dipertontonkan konfrontasi antara pemerintah versus aktivis Islam, saling curiga dan memusuhi. Sudah lelah bangsa ini melulu disuguhi "ritual" demonstrasi dengan isu-isu agama yang tak berkesudahan. Pilpres sudah usai dan saatnya kembali bersatu antar semua elemen.

"Tak ada lagi saling fitnah dan membenci. Dipenghujung akhir tahun 2019 ini mestinya menjadi momentum persatuan bangsa. Bukan malah saling bermusuhan," tutup Adi.

Survie Parameter Politik Indonesia ini juga dibarengi dengan diskusi publik. Tema diskusi adalah "Wajah Islam Politik Pasca Pilpres 2019" dengan narasumber Peneliti dari LIPI Siti Zuhro, Politisi PKS Nasir Djamil, dan Ketua DPP PPP Qoyum Abdul Jabar. (RF)



Komentar Anda

Berita Terkini