-->
    |

Kekecewaan Pragmatis dan Kekecewaan Ideologis

Faktanews.id - Malam kemarin saya menghabiskan waktu bersama Natalius Pigai dan Lius Sungkarisma serta Ahmad Yani dkk. makan sop kaki kambing di Aljazirah resto. Pembicaraan masih berlanjut soal kekecewaan rakyat Papua Asli atas manipulasi Bahlil bahwa dia orang Papua Asli. Disamping mana Pigai terkadang mengatakan disamping orang Papua, orang-orang Katolik juga tidak terwakili dalam kabinet Jokowi, sedangkan Protestan sudah 5 orang.

Thoha Al Hamid, paman Bahlil pada saat bersamaan menelpon, say hello, beritahu bahwa dia akan kembali esok ke Papua dalam rangka penyiapan lahan 10.000 HA untuk pembangun istana presiden di Papua.

Menurut Toha, Bahlil hanya menyebutkan dia anak kampung di Papua, bukan mengklaim mewakili Papua. Sang paman ini adalah mantan sekjen "Papua Merdeka", yang ketuanya Theys Eluay dibunuh di masa rezim Megawati berkuasa.

Malam semakin larut ketika seorang penasihat ketua umum ormas Islam besar bergabung. Kyai ini langsung nimbrung dan mengatakan bahwa organisasinya tidak terima dengan menteri agama dari militer. Sudah 17 cabang propinsi menyatakan sikap kekecewaan. Dalam beberapa hari ini, jika semua propinsi sudah membuat pernyataan, maka ketua umum organisasi itu akan bersikap menentang Jokowi.

Siang hari kemarin saya membaca organ militan pendukung Jokowi, Projo, mengeluarkan pernyataan "pamit" pada Jokowi. Pernyataan ini menyindir bahwa tidak selayaknya kabinet diisi lawan politik Prabowo dan menteri tak berkeringat, seperti Wishnutama.

Menarik lagi pagi tadi, sebuah tulisan sosok pernah jadi "guru politik" saya, Indro Tjahyono, tersebar di beberapa group WA, mengisahkan kekecewaan para pendukung Jokowi yang bak habis manis sepah dibuang. Menurutnya, hubungan antara pendukung dan yang didukung, jika terjadi "pengkhianatan", maka akan berbuah dendam. Dan dendam ini akan berujung pada gerakan atau gugatan yang meruntuhkan.

Kekecewaan demi kekecewaan kelompok masyarakat, indivual maupun group, tidak kunjung berhenti sejak pilpres 2019 selesai. Beberapa waktu yang lalu kekecewaan datang dari kelompok pendukung Prabowo, karena Prabowo meninggalkan gelanggang, lalu menyerah dan bergabung dengan musuh politiknya Jokowi. Keputusan Prabowo yang sangat tiba-tiba berbalik, dari musuh menjadi anak buah Jokowi, menggoreskan kekecewaan besar. Sumpah serapah bertebaran di medsos. Djoko Edhi Abdurrahman, mantan anggota DPR RI, mengatakan darah Prabowo adalah darah nyamuk, ketika dia kaitkan dengan sumpah Prabowo "Akan Berjuang Sampe Titik Darah Penghabisan".

*Lalu bagaimana kita melihat kekecewaan ini?*

Kekecewaan adalah sebuah perasaan marah atau tidak puas atas gagalnya pencapaian yang diharapkan. Setiap orang maupun kelompok sosial mempunyai preferensi atau suatu set keinginan/nilai, yang diperjuangkan untuk menjadi acuan dalam sistem sosial. Dalam konteks politik pemerintahan, hal itu ditunjukkan oleh menteri-menteri yang ditunjuk presiden untuk menjalankannya. Tentu selain janji politik presiden itu sendiri.

Itu adalah kekecewaan tingkat utama, ideologis. Yakni sebuah nilai merupakan sebuah pertarungan.

Di bawah level itu adalah perjuangan kelompok kepentingan. Dalam mendukung sebuah perolehan kekuasaan, ekspektasi pendukung tentunya tercermin dari keberlanjutan keterlibatan nya dalam kekuasaan yang direbut. Hal ini merupakan jembatan bagi karir politik, uang maupun keberhargaan mereka di mata publik.

Kekecewaan yang diakibatkan kegagalan tipe ini adalah kekecewaan pragmatis.

Dalam lingkungan Prabowo, kekecewaan terbesar adalah kekecewaan utama, atau kekecewaan ideologis. 70-80% pendukung Prabowo adalah kelompok yang dijanjikan Prabowo dalam tema ideologis, yakni kedaulatan ekonomi, anti aseng dan asing, anti kemiskinan, pembukaan lapangan kerja dan macan asia, seperti dalam bukunya "Indonesia Paradoks". Sebagian kecil non ideologis, yang menganggap Prabowo tidak pantas menjadi anak buah Jokowi.

Dalam lingkungan Jokowi, sampai saat ini yang muncul adalah kekecewaan pragmatis. Alasan mereka lebih banyak bukan karena portofolio kementerian dan menteri yang diangkat berbeda value nya, melainkan karena menteri itu tidak berkeringat maupun alasan kenapa yang diangkat bukan kelompok-kelompok relawan yang sudah berjuang sejak 2014?

Sedangkan masalah Papua terletak diantara dua jenis kekecewaan itu. Kabinet Jokowi bukanlah kabinet yang mewakili daerah. Jokowi misalnya menempatkan 3 orang Batak Kristen di kabinetnya dari asal daerah Sumatera Utara. Sedangkan Sumatera Utara adalah populasi dengan 70% Muslim. Aceh dua orang, yang keduanya mungkin tidak mewakili spirit Aceh baru paska Helsinki Agreement. Tanpa orang Padang. Dua orang Palembang, yang lebih mencerminkan birokrasi bukan asal usul. Tanpa orang Ambon/Maluku. Dll. Cerminan "wawasan nusantara NKRI" ini khas jaman Sukarno dan Suharto. Dalam kabinet Jokowi, kabinet kerja (kerja, kerja, kerja), mungkin preferensi utama penangkatan adalah kemampuan bekerja. Namun, kalau melihat proporsi orang-orant kaya dan pengusaha yang dominan, bisa saja ini politik balas budi.

Terlepas dari urusan kabinet kerja, kegelisahan rakyat Papua dan kesadaran identitas baru sebagai bangsa Melanesia, perlu diredam dengan memberikan kursi keterwakilan bagi Papua di kabinet. Dalam rezim siapapun. Nah, ketika ini tidak terjadi wajar saja masyarakat Papua kecewa. Tapi kekecewaan ini bukan pragmatis bukan pula ideologis. Mungkin diantaranya.

*Penutup*

Rakyat Indonesia yang kecewa atas hasil pilpres 2019 berbiaya 25 Triliun ini perlu menginsyafi dirinya untuk tidak tenggelam dalam kekecewaan yang lama. Kekecewaan dapat mengakibatkan "mental disorder" atau "skizofrenia" atau gila. Khususnya bagi para pemula di dunia politik.

Kedepan biarkanlah urusan politik ditangani oleh orang-orang yang memang mendedikasikan dirinya pada politik, baik pada politik formal, maupun civil society.

Selanjutnya, kekecewaan harus diidentifikasikan secara benar. Orang-orang yang kecewa dengan Jokowi dan Prabowo secara ideologis, dapat memikirkan sebuah dialog tentang Indonesia yang berbasis nilai, seperti cita-cita founding fathers.

Jangan sampai kelompok-kelompok yang kecewa karena urusan pragmatis bercampur baur dengan kaum ideologis. Sebab, kaum ideologis selalu memikirkan perjuangan revolusioner.

Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan

(Sabang Merauke Circle)
Komentar Anda

Berita Terkini