-->
    |

Blunder Jika Presiden Mengeluarkan Perppu KPK

Faktanews.id - Sangat disayangkan jika banyak akademisi dan aktifis mahasiswa yang menolak keberadaan UU KPK hasil revisi dengan asumsi-asumsi berpikir yang tidak kuat secara akademis dan logika. Jika ada kalangan akademisi yang menilai bahwa revisi UU KPK membuat lembaga KPK tidak independen, karena keberadaan badan pengawas yang dinilai akan memperumit pelaksanaan pemberantasan korupsi adalah ide yang patut diperdebatkan (moot idea), walaupun sebenarnya keberadaan badan pengawas yang terdiri dari tokoh-tokoh yang bersih, kredibel, mumpuni dan memiliki nasionalisme yang tinggi bahkan komitmen memberantas korupsi, maka KPK akan seperti mendapatkan “mesin pendorong baru” yang membuat lembaga KPK semakin independen, kredibel dan “untouchable organization”.

Keberadaan atau status pegawai KPK yang menjadi ASN yang dinilai akan membuat perjuangan KPK menjadi tidak jelas, karena ada sinisme terkait kinerja lembaga dibawah pemerintahan seperti dikemukakan salah seorang akademisi dari perguruan tinggi negeri terkenal di Yogyakarta adalah kurang benar, sebab kinerja ASN di kalangan kementerian/lembaga baik yang struktural dan fungsional semakin dituntut untuk meningkatkan profesionalismenya dengan penandatanganan pakta integritas, menjalankan Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) sesuai PP Nomor 46 tahun 2011, PP Nomor 30 tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja Pegawai, dan bagi kalangan pejabat fungsional agen harus mampu memenuhi DUPAK (daftar usulan penilaian angka kredit, red).

Sementara itu, BEM SI dalam pernyataan sikapnya menilai salah satu persoalan pada proses revisi UU KPK ialah tidak jelasnya keberadaan naskah akademik. Sejak tahun 2016, naskah akademik rancangan perubahan UU KPK dipertanyakan publik. DPR mengaku memiliki naskah akademik revisi UU KPK, namun naskah tersebut sampai hari ini tidak diedarkan ke publik. Sebagaimana diketahui, keberadaan naskah akademik merupakan keharusan dalam pembuatan rancangan undang-undang baik yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD. Hal ini tertera dalam Pasal 43 ayat 3 UU Nomor 12 Tahun 2011.

Menurut penulis, walaupun keberadaan naskah akademik diatur dalam undang-undang tapi sejatinya keberadaannya diperlukan jika dilakukan untuk membuat sebuah undang-undang yang baru, sedangkan revisi UU KPK “tidak merombak total atau tidak membuat undang-undang baru”, karena sejatinya revisi UU KPK hanya bersikap “inkramental atau tambal sulam” dengan merubah beberapa pasal dan menambah pasal baru yang memang krusial seperti keberadaan badan pengawas, sehingga sebenarnya tidak adanya naskah akademik dalam revisi UU KPK bukanlah masalah yang serius.

Oleh karena itu, kita perlu dapat “berpikir netral dari berbagai kepentingan” agar dapat memahami permasalahan secara lebih jelas dan komprehensif. Kita juga jangan meremehkan kualitas dari anggota parlemen kita dan kualitas para pejabat negara, sebab pengalaman mereka juga sah dijadikan “naskah akademik” dalam merevisi UU KPK, sehingga akademisi, mahasiswa, kalangan jurnalis dll tidak perlu suudzon dengan DPR dan eksekutif mereka, dan partisipasi masyarakat dan media massa melalui UU KPK hasil revisi juga masih terbuka lebar.

BEM SI menilai, rancangan perubahan UU KPK juga diduga melanggar prosedur. Hal ini dikarenakan pengesahan revisi UU KPK tersebut dilaksanakan tanpa melakukan perubahan prolegnas prioritas.

“RUU tentang perubahan UU KPK memang masuk ke dalam prolegnas 2015 s.d 2019, namun tidak masuk ke dalam prolegnas prioritas 2019. Sebagaimana tercantum dalam pasal 45 ayat (1) UU nomor 12 tahun 2011 seharusnya penyusuan RUU dilakukan berdasarkan prolegnas. Berdasarkan ketentuan ini, revisi UU KPK diketahui dilakukan tidak sesuai dengan prosedur, dimana seharusnya RUU yang berada diluar prioritas tidak serta merta menjadi usulan RUU inisiatif DPR melainkan terlebih dahulu masuk kedalam program legislasi nasional perubahan,” tulis BEM SI dalam pernyataan sikap yang ditandatangani Nijar Fauzan Al Haq.

Menurut penulis, kalangan akademisi, mahasiswa, NGO ataupun pihak yang lainnya terutama yang menolak UU KPK hasil revisi dengan mempermasalahkan pembahasan revisinya tidak sesuai jadwal prolegnas prioritas sebenarnya tidak benar, karena perubahan UU KPK masuk dalam prolegnas 2015 s.d 2019, walaupun tidak masuk prolegnas prioritas 2019.

Pertanyaannya adalah materi pembahasan rancangan undang-undang masuk dalam prolegnas prioritas atau tidak adalah tergantung “kesepakatan politik” parlemen dengan pemerintah tentunya dengan mempertimbangkan perkembangan situasi kondisi, tingkat kegentingan dan perlunya langkah untuk mengantisipasi perubahan atau manajemen perubahan (change management).

Bisa jadi, perubahan UU KPK belum masuk prolegnas prioritas pada awal penyusunan prolegnas prioritas pada tahun 2015, namun mempertimbangkan perubahan cepat lingkungan strategis nasional, maka adalah sah-sah parlemen sebagai representasi suara/aspirasi rakyat bersama pemerintah mempertimbangkan kembali atau merevisi urutan prolegnas prioritas, dimana perubahan UU KPK masuk dalam prioritas, dan itu wajar dan tidak disalahkan secara politik dan hukum.

Sedangkan terkait desakan agar Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perppu tentang UU KPK, maka perlu diketahui bahwa Perppu bisa dikeluarkan dengan beberapa syarat antara lain :

Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang.

Kedua, Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai.

Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

So, mempertimbangkan syarat-syarat dikeluarkannya Perppu, maka Presiden Joko Widodo sebaiknya tidak perlu mengeluarkannya karena tidak ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum, UU yang diperlukan sudah ada bahkan sudah direvisi ke arah yang lebih baik, serta tidak terjadi situasi kekosongan hukum.

Oleh : Toni Ervianto

Penulis adalah alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia.
Komentar Anda

Berita Terkini