-->
    |

Membongkar Strategi "People Power" Amien Rais

(Karyono Wibowo)
FaktaNews.id - Semua bentuk kecurangan Pemilu memang harus ditindak dan diberantas. Saya setuju dengan siapapun yang ingin memberantas kecurangan pemilu. Tapi dalam negara hukum dan demokrasi ada mekanisme untuk menyelesaikan pelanggaran dan sengketa pemilu. Oleh karena itu, saya berbeda dengan pandangan Amien Rais.

Saya menilai pernyataan Amen Rais, Ketua Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional Prabowo - Sandi, yang akan menggerakkan "People Power" atau kekuatan rakyat untuk turun ke jalan pascapemungutan suara jika terjadi kecurangan dalam pores Pemilu merupakan tindakan di luar konstitusi.

Undang-Undang Pemilu nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum telah mengatur mekanisme penanganan pelanggaran pemilu, sengketa proses pemilu dan perselisihan hasil pemilu bahkan pidana pemilu. Maka siapapun peserta pemilu yang dirugikan jika terbukti dicurangi bisa mengajukan gugatan sesuai mekanisme yang diatur dalam peraturan dan undang-undang.

Mungkin Amien Rais perlu membaca dan memahami kembali peraturan dan perundang-undangan yang mengatur tentang pelaksanaan pemilu.

Pernyataan Amien tersebut bisa dinilai sebagai salah satu bentuk provokasi untuk memengaruhi masyarakat agar ikut bergerak untuk menolak hasil pemilu dengan cara aksi demonstrasi. Cara tersebut tidak mendidik rakyat tentang nilai-nilai demokrasi. Justru sebaliknya, merupakan penyimpangan dari nilai-nilai demokrasi dan konstitusi.

Seharusnya Amin Rais sebagai salah satu tokoh bangsa harus mendidik Rakyat agar memahami dan melaksanakan demokrasi yang konstitusional.

Bahwa benar "people power" pernah terjadi dalam sejarah politik dan kekuasaan di Indonesia, di Philipina, dan di sejumlah negara lainnya, tetapi kondisi obyektif dan subyektifnya berbeda. Terjadinya people power di masing-masing negara dan disetiap zaman berbeda. Tapi pada umumnya, syarat terjadinya people power adalah jika telah terjadi pertemuan dan pertautan antara faktor obyektif dan subyektif. Faktor obyektif menggambarkan adanya realitas seperti kemiskinan yang akut,  pembungkaman hak berpendapat, berserikat dan berkumpul, pemerintahan yang sewenang-wenang, kepemimpinan yang sudah tidak bisa dipercaya dan biasanya ditambah lagi dengan adanya faktor krisis. Sedangkan faktor subyektif yaitu adanya kepeloporan pemimpin yang dipercaya rakyat untuk menggerakkan, melaksanakan sekaligus mengendalikan dan mengontrol jalannya perubahan.

Jangan-jangan Amien Rais masih beromantisme dengan peristiwa reformasi 98 yang situasi dan kondisinya tidak sama dengan kondisi sekarang.

Saya berharap jangan sampai pak Amien Rais mendapat stigma dari masyarakat sebagai tokoh yang mengalami Post Power Syndrome.

Saya paham, People Power yang dimaksud Amien Rais bukan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Dia memang mempersempit penggunaan istilah People Power untuk kepentingan Pemilu. Tetapi, jika nanti terjadi gerakan massa rakyat dalam jumlah besar dan serentak, tetap akan berpotensi membuka celah terjadinya tindakan anarkis. Amien Rais terlalu berani mengatakan tidak akan ada satu tetes darah pun yang tertumpah dalam aksi people power yang dia rencanakan. Kendati demikian, saya tidak terlalu percaya Amien Rais masih memiliki magnet untuk menggerakkan people power, selain prasyaratnya belum terpenuhi untuk terjadinya people power, pengaruh Amien Rais dalam 10 tahun terakhir mulai memudar. Indikator lainnya, banyak pihak yang tidak setuju dengan pernyataan Amien Rais, termasuk dari kalangan Muhammadiyah sendiri.

Terlepas itu, saya justru lebih meyakini bahwa pernyataan Amien Rais tersebut hanya merupakan bentuk kepanikan orang-orang kalah karena prediksi sejumlah hasil survei yang dapat dipercaya, potensi kekalahan kubu pasangan capres 02 Prabowo - Sandiaga sudah diketahui. Sehingga diperlukan exit strategy yaitu salah satunya dengan mencari "kambing hitam" untuk menutupi kelemahan. Dalam hal ini yang berpotensi menjadi sasaran untuk dijadikan kambing hitam adalah penyelenggara pemilu, TNI, Polri, BIN, ASN. Mungkin saja "hantu belau" juga bisa menjadi kambing hitam.

Pernyataan Amien Rais tersebut sejatinya melengkapi berbagai narasi dan aksi-aksi sebelumnya terkait isu kecurangan pemilu yang diarahkan kepada pihak penyelenggara Pemilu, TNI, POLRI, BIN, ASN. Tujuan akhir adalah untuk mendelegitimasi hasil pemilu. Untuk itu, narasi yang dibangun adalah pemilu curang karena penyelenggara pemilu dan aparatur negara tidak netral.

Di sisi lain, dalam perspektif pergulatan politik, pernyataan Amien Rais tersebut dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk teror psikologis untuk menciptakan kecemasan dan ketakutan masyarakat. Pasalnya, pernyataan Amien yang akan menggerakan massa rakyat yang dia istilahkan People Power tersebut secara implisit dapat ditafsirkan oleh awam, jika Prabowo kalah maka akan ada people power. Bagi sebagian masyarakat ketika mendengar frase People Power yang ada dibenak mereka adalah kerusuhan. Meskipun Amien Rais menyelipkan kalimat "jika pemilu curang" sebagai suatu syarat untuk menggerakkan people power tetapi bagi sebagian masyarakat kurang memperhatikan syarat yang disisipkan dalam pernyataan Amien Rais. Apalagi, secara sistematis telah dibangun opini bahwa pemilu ini penuh kecurangan.

Dengan demikian, mungkin ada yang berharap pernyataan tersebut memiliki dampak psikologis untuk memengaruhi pemilih, khususnya pemilih yang belum memutuskan, dan pemilih abu-abu atau yang masih bisa berubah.

Segmen pemilih yang relatif sensitif dan peka terhadap intimidasi dan teror pada umumnya adalah pemilih dari etnis minoritas, agama minoritas dan sebagian pemilih awam di akar rumput.

Dalam hal ini, saya ingin menyampaikan, masyarakat tidak perlu terpengaruh dengan pernyataan Amien Rais. Tidak perlu takut dan cemas. Karena negara menjamin kebebasan untuk menyampaikan pendapat, termasuk kebesan untuk memilih.

Untuk menegakkan demokrasi dan konstitusi, apapun alasannya, dan siapapun pelakunya, tindakan intimidasi dan teror yang dikemas dalam bentuk apapun harus dihentikan karena menciderai demokrasi dan merusak peradaban kemanusiaan.

Oleh: Karyono Wibowo

(Pemerhati Sosial dan Kebangsaan/Direktur Ekskutif Indonesian Public Institute)
Komentar Anda

Berita Terkini