-->
    |

Politik Dua Kaki NU, Jokowi Untung?

FaktaNews.id - Ada tiga video viral. Berkaitan erat dengan NU. Dua video menggambarkan hantu yang diciptakan untuk Nahdliyin. Satunya lagi soal politik dua kaki yang dimainkan Ketua PBNU, Said Aqil Siradj (SAS). Akankah strategi "hantu" dan "dua kaki" NU ini menguntungkan Jokowi? Atau justru membuat Prabowo banjir dukungan? 

Mari kita urai masing-masing. Video pertama berisi pernyataan orang yang mirip KH Anwar Iskandar. Di dalam video itu tidak ada keterangan nama. Ia berceramah di hadapan KH Ma’ruf Amin dan puluhan kiai lainnya.

Dalam video itu KH Anwar memberikan ceramah: "Islam mainstream seperti NU, seperti pesantren ini akan jadi fosil, jangan berpikir akan ada tahlil, akan ada dzikir di istana, ada hari santri, apabila KH Maruf kalah."

Sebelumnya juga KH Anwar berbicara hal yang sama dalam video yang diupload di youtube pada 3 Maret 2019: http://bit.ly/2FcuwS3. Dalam video itu KH Anwar berujar: "Yang kelihatan Jokowi dan Prabowo, tapi hati-hati dibalik ini semua ada pertaruhan yang menentukan nasib kita semuanya, yaitu keselamatan NKRI, Pancasila UUD 45, dan Bhineka Tunggal Ika... dan keselamatan NU. Masihkan panjenengan ingin NKRI selamet? NU selamet? Jawabannya satu saja, datang ke TPS 17 April...coblos nomor satu."

Video kedua  yang beredar adalah dialog antara SAS dengan Najwa Shihab. Dalam video yang diambil dari acara Catatan Najwa (http://bit.ly/2ucmG5N) itu SAS berujar: "Kelompok radikalisme, ekstrimisme, terorisme ada di 02."

Pernyataan dua tokoh papan atas NU itu sebenarnya tidak begitu mengejutkan. Materi yang sama sering terdengar atau terbaca di sosial media. Namun, jika disampaikan tokoh utama di tubuh NU, maka ini tidak bisa dibaca hanya sebuah fenomena.

Ini bisa dibaca sebagai upaya sistematis menciptakan sebuah hantu. Hantu radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme yang akan menyingkirkan NU, tahlil, istigotsah, qunut, dan NKRI. Hantu itu terus diberi kemenyan di setiap kesempatan, agar warga Nahdliyin takut.

Di tengah ketakutan itulah warga Nahdliyin digiring untuk mencoblos 01. Dahsyat. Musuh imajiner dan ketakutan diciptakan. Bak hantu yang terus bergentayangan. Namun apakah hantu itu merupakan sebuah kebenaran? Ataukah hanya fitnah? Sejauh manakah efektifitas hantu itu mendongkrak suara Jokowi?

Minta Jatah Menteri

Benarkah jika Prabowo-Sandi terpilih NKRI bubar? Prabowo dalam beberapa kesempatan menjelaskan bahwa dirinya adalah tentara tempur. "Sudah berulang kali saya ke medan pertempuran untuk NKRI. Nyawa dipertaruhkan. Lantas saya dituduh mau menghancurkan NKRI? Disebut radikalis, ekstrimis, dan teroris? Aneh. Tidak logis."

Belum lagi aksi nasionalisme lainnya di bidang ekonomi yang ia lakukan. Penyelamatan aset bangsa dari asing. Juga kiprah Sandiaga yang secara nyata menyediakan puluhan ribu tenaga kerja.

Menyadari ketidaklogisan yang sederhana ini kalangan Nahdliyin berduyun bertabayun. Salah satunya ketika Sandiaga bersafari ke Jatim. Dalam video ketiga yang viral inilah para kyai langsung mengkonfirmasi tiga hal benarkah: 1) NU akan disingkirkan; 2) Tahlil, istigotsah, manaqib akan dihilangkan; dan 3) Menteri agama akan dijabat kelompok radikal, bukan dijabat orang NU.

Dalam video yang juga bisa dilihat di http://bit.ly/2W81mdt itu Sandiaga tampak tenang menjawab semua fitnah tersebut. Sandi menjelaskan bahwa ia lahir di keluarga NU, punya kartu anggota NU, dzikir dan muamalah sehari-hari ala NU. Mertuanya tokoh ulama NU betawi.

Sandi juga menegaskan bahwa Prabowo sudah menandatangani perjanjian dengan para ulama saat berkunjung ke  Pondok Pesantren Kiai As’ad, Situbondo. Dalam komitmen itu disebutkan bahwa jika Prabowo-Sandi menang maka menteri Agama akan diambil dari NU.

Namun, yang menarik dari penjelasan Sandi adalah ia terpaksa membuka rahasia di depan para ulama tersebut. "Karena ini sudah fitnah, saya buka saja bahwa dua mingguan lalu saya bertemu Kyai Said (SAS). Kyai Said minta pertemuan tertutup. Tapi saya buka disini. Beliau pada pertemuan itu juga titip menteri agama dari NU."

Menarik untuk mencermati kiprah SAS tersebut. Di depan publik ia menebar hoaks. Namun, diam-diam membuat pertemuan tertutup dan meminta agar jatah menteri agama untuk NU. Politik dua kaki tampaknya dimainkan SAS.

Dari sisi akar rumput pernyataan KH Anwar SAS tersebut cukup membahayakan persatuan. Membuka Potensi konflik horisontal antar umat. Kilafiyah yang harmonis dibawah naungan NKRI terancam.

Kini SAS dilaporkan ke kepolisian oleh ormas atas dugaan membuat hoaks. Ketua Aliansi Anak Bangsa (ABB) sekaligus pelapor, Damai Hari Lubis, menjelaskan bahwa pelaporan itu dilakukan untuk mencegah kegaduhan dan menjaga situasi agar kondusif jelang Pemilu 2019.

Menghantui Jokowi

Laporan ABB bisa jadi betul untuk mencegah kegaduhan. Tapi bisa juga menambah kegaduhan. Namun, terlepas dari hal itu sepertinya kegaduhan itu tidak perlu dikhawatirkan. Nahdliyin sudah cerdas. Tidak akan terpengaruh dengan hoaks, meski dilakukan oleh ulama.

Video tabayun dengan Sandi adalah bukti Nahdliyin sudah cerdas. Mampu membedakan mana pelajaran dan mana hoaks dari ucapan seorang ulama. Dengan hoaks ini tampaknya dukungan Nahdliyin semakin mengalir ke kubu 02.

Apalagi belakangan Ma"ruf Amin (MA) membantah soal video ceramah KH Anwar (http://bit.ly/2FnNCWH). Padahal jelas dalam video itu, KH Anwar berceraramah di depan MA. Dalam berita itu MA malah menuding balik bahwa video itu hoaks.

Dengan tetap menghormati MA, Nahdliyin tentu tak perlu menjawab bantahan MA. Pernyataan MA justru semakin membukakan pandangan mereka tentang siapa sebenarnya kelompok penebar hantu hoaks itu.

Hantu yang dikirim tampaknya tertolak oleh kecerdasan Nahdliyin. Seperti dalam film horor, jika kiriman hantu tertolak atau tidak mempan, maka akan berbalik ke sang pengirim. Tampaknya hoaks yang tertolak ini sedang menyerang tuannya.
Ia kini justru menghantui Jokowi.

Elektabilitas Jokowi dari kantong Nahdliyin terancam eksodus. Melejitnya elektabilitas 02, sebenarnya bisa juga dilihat dari upaya SAS melobi Sandiaga agar menteri agama dari NU. Buat apa SAS melobi, kalau tidak ada sinyal 02 menang?

Oleh: Supriyatno Yudi

(Praktisi Komunikasi Publik)
Komentar Anda

Berita Terkini