-->
    |

Ketidaknetralan Aparatur Negara dan Hancurnya Peradaban

(Syahganda Nainggolan)
FaktaNews.id - Kepala polisi Rotterdam, pada saat saya tinggal di sana sekitar 25 tahun lalu, ditilang polisi ketika menabrak mobil saat mundur dari parkiran di Bar. Polisi yang datang dihardik Kepala polisi sambil sempoyongan, kebanyakan minum. "je bent gek, ik  ben het hoofd van Politie" (kamu sudah gila ya, saya kepala polisi), katanya kepada polisi itu. Namun, polisi itu bergeming, tidak takut, dia tetap manjatuhkan surat tilang kepada atasannya itu. Ini cerita yang saya baca di masa itu, sedikit heboh di media di sana. Namun, opsir polisi itu dianggap benar oleh masyarakat, telah bertugas sesuai peraturan.

Contoh mirip-mirip kejadian di atas masih biasa terjadi di sana sampai saat ini.

Selanjutnya, sebuah cerita lain  pernah mirip terjadi di Malaysia, hanya sempat tercederai di  masa akhir Mahatir dan masa  Najib, beberapa waktu berselang.

Pada tahun 90an ketika saya bersama rombongan ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) mendarat di Malaysia, semua barang bawaan diperiksa Bea Cukai. Semua cenderamata ditahan dan harus membayar bea masuk. Pimpinan rombongan mengeluarkan surat undangan Anwar Ibrahim, Deputi Perdana Menteri Malysia, sambil sedikit menggertak: "semua cendramata ini untuk diberikan kepada orang2 Malaysia dalam pertemuan Sijori (kaukus Singapore -Johor- Indonesia), di mana Deputi Perdana Menteri yang punya acara". Namun, petugas Bea Cukai tersebut dengan santai menjawab, "encik, ini kami semua bekerja juga karena perintah negara". Akhirnya, biaya bea cendera mata dibayar.

Dua cerita di atas berkisah tentang aparatur negara bekerja untuk kepentingan negara bukan kepentingan pemerintahan (yang sedang berkuasa).

Tulisan ini bermaksud menggugah kesadaran aparatur sipil negara untuk merenungkan pentingnya peranan mereka mempertahankan demokrasi kita, demokrasi yang sejatinya. Kenapa ini menjadi persoalan?

Berbagai kejadian yang menunjukkan massifnya birokrasi negara digerakkan untuk menjadi instrumen pemenangan Jokowi, telah mencemaskan kita. Menteri Kominfo misalnya terang-terangan menghardik pegawainya, pegawai negeri, ketika ditanya pilihan politiknya, bukan ke Jokowi. "Memang yang gaji kamu siapa?", hardiknya

Deputi Menteri Kementerian Maritim, Dr. Ridwan Jamaluddin, pegawai negeri, yang juga ketua Alumni ITB, secara terang-terangan menyatakan secara pribadi, dalam sebuah acara di televisi, mendukung Jokowi.

 Tjahjo Kumolo menjanjikan gaji perangkat desa naik tahun ini. Jokowi menjanjikan kenaikan honor perangkat desa dan THR sebelum pilpres. Hal ini semua mendorong aparatur negara untuk tidak netral.

Apalagi berbagai gerakan kepala daerah dalam mendukung Jokowi, seperti di Jateng, Sumbar, Sulsel, Kabupaten Cianjur dlsb, dilakukan secara atraktif, divideokan dan diviralkan.

Berbagai media belakangan ini, misalnya Tempo, dalam situsnya, mengulas hal ini sebagai problem besar, suatu keadaan yang akan mengulangi masa pahit orde baru. Di mana birokrasi menjadi instrumen politik penguasa. Perlu diketahui di masa orde baru, birokrasi memata-matai rakyat yang tidak mendukung kekuasaan. Rakyat itu nantinya dipersulit. Ada yang jalan desanya tidak diaspal puluhan tahun, listrik tidak didisalurkan, bantuan desa/PKH/bantuan beras dipersulit, buat KTP diperlama, dlsb. Diskriminasi pelayanan publik terjadi secara menyolok. Ini menggambarkan hancurnya sebuah peradaban. Primitif.

Kebiadaban birokrasi di masa orde baru perlahan2 di benahi sejak awal reformasi. Korpri (Korps Pegawai Negeri) mulai unjuk gigi untuk netral. Namun, kelihatannya situasi itu memburuk saat ini.

Kepala Badan Kepegawaian Negara, awal bulan ini, menghimbau netralitas pegawai negeri untuk dijalankan, sesuai UU Aparatur Sipil Negara, tahun 2014, pasal 2.

Menurut Badan Kepegawaian Negara, dalam rilisnya (tirto.id) yang dilarang  terkait dukungan kepada capres dan cawapres jelang Pilpres adalah:

1) Terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Presiden dan Wakil Presiden;

2) Menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye;

3) Membuat keputusan dan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan atau

4) Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta Pemilu sebelum, selama dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang/uang kepada PNS dalam lingkungan kerjanya, anggota keluarga dan masyarakat.

Teguh Yuwono dalam "Government Ethical Problems: Political Neutrality of Bureaucracy in Local Election", 2016, menjelaskan secara teoritis memang terdapat dua pandangan terkait netralitas birokrat ini. Pertama, pandangan yang idealis, yang mengikuti jejak Weberian, bahwa birokrasi harus netral dari politik. Karena, hanya dengan netralitas itulah negara akan dapat menjalankan fungsi pelayanannya secara stabil. Sebaliknya, pandangan kedua, sebuah pendekatan yang realistik, melihat keniscayaan bahwa birokrasi pasti terlibat politik. Karena, seperti ikan dan air, politik dan birokrasi ada ditempat yang sama.

Yuwono dalam risetnya terhadap ketidaknetralan birokrat pada  pilkada Boyolali dan Pemalang, melihat ada ketidakberdayaan birokrat menghadapi keinginan atau paksaan inkumben (petahana). Karena karir mereka terancam. Selain ketidakberdayaan, menurutnya, ada juga "Bureaucratic Nepotism", yakni kenikmatan yang mendorong simbiosis mutualisme bagi kedua belah pihak. Banyak aparatur negara memanfaatkan pula situasi kontestasi politik untuk kepentingan karirnya.

Terseretnya birokrasi dan aparatur sipil negara dalam dunia politik, telah membahayakan pelayanan publik di Indonesia. Secara ideal, Undang Undang sudah memberikan arahan jelas untuk netralitas. Namun, masalah sanksi dan ketegasan menerapkan sanksi menjadi pertanyaan besar? Dalam kesimpulan risetnya, Yuwono, mendorong agar sanksi yang keras diberlakukan, selain itu, salah satunya mendorong partisipasi masyarakat yang besar untuk mampu membantu terwujudnya netralitas birokrasi/birokrat ini.

Tugas besar elit bangsa dan kaum reformis di masa lalu adalah menghancurkan politisasi birokrasi yang dilakukan Suharto di masa orde baru. Sejak reformasi upaya demi upaya dilakukan untuk menjaga posisi aparatur sipil negara tetap netral, agar pelayanan publik tidak menjadi pusat diskriminasi sosial. Dan itu sudah hampir berhasil. Sayangnya rezim Jokowi cenderung merusaknya kembali.

Ekspresi pemberontakan rakyat Cianjur baru-baru ini yang melakukan pesta besar-besaean atas penangkapan bupatinya oleh KPK, itu jadi catatan penting kita. Sebuah dendam karena bupatinya memaksa semua kepala desa memilih Jokowi. Jangan sampai rakyat mendendam sampai ke desa desa.

Saatnya bagi kita dan rakyat untuk bertindak mengingatkan agar birokrasi kita selamat.

Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan

(Sabang Merauke Circle)
Komentar Anda

Berita Terkini