-->
    |

Eks Kepala BAIS: Teror dan Intimidasi Terkait Pemilu Serentak Marak Di Whats up Group

(Mantan Kepala BAIS Soleman B. Ponto)
FaktaNews.id - Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS), Soleman B. Ponto mamaparkan hal-hal yang berpotensi mengancam Pemilu Serentak yang bakal berlangsung pada 17 April 2019 mendatang.

Menurutnya, potensi ancaman yang tersebut berupa teror dan intimidasi yang ia baca dan lihat di media sosial.

"Ada di media sosial instagram, di group whats up. Itu banyak sekali," ujar Soleman usai menjadi narasumber diskusi bertajuk "Selamatkan Demokrasi, Melawan Segala Bentuk Intimidasi Politik" di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (25/3/2019).
(Diskusi: Selematkan Demokrasi, Melawan Segala Bentuk Intimidasi Politik)
Menurut Soleman, pesan yang disampaikan pembuat teror untuk menakut-nakuti masyarakat agar tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).

"Pesan yang saya baca agar rakyat takut datang ke TPS karena diisukan kalau datang ke TPS akan terjadi keributan. Harapan penteror itu memang begitu, membuat orang takut. Tapi kita jangan takut. Intimidasi dan teror membuat kualitas Pemilu tidak baik," katanya.

Hal yang sama juga disampaikan Direktur Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo. Ada beberapa model teror dan intimidasi terkait Pemilu Serentak. Mulai dari yang halus hingga yang paling keras atau ekstrim.

"Paling halus misalnya dalam bentuk spanduk,  isi kalimatnya mengancam minoritas atau masyarakat akar rumput. Dengan narasi berbau intimidasi. Ini bertaburan di daerah," katanya.

Menurut Karyono, intimidasi paling ekstrim pun bisa terjadi dalam Pilpres, misalnya menciptakan  peristiwa yang destruktif seperti melakukan perusakan dan pembakaran hingga ledakan. Menurut dia, hal semacam ini bisa menjadi bagian dari strategi pemenangan pemilu untuk menciptakan ketakutan dan kecemasan.

"Tujuannya ada dua. Pertama agar pemilih takut ke TPS. Kedua, untuk mengarahkan agar memilih calon tertentu," jelasnya.

Sayangnya, lanjut Karyono, teror politik yang menjadi ancaman demokrasi dan peradaban ini tidak diikuti aturan hukum pemilu yang tegas. Padahal teror politik membuat keresahan masyarakat. Teror ini membuat masyarakat tidak bebas menentukan pilihannya. Itulah sasaran teror dan intimidasi, yakni menyerang psikologi masyarakat.

"Sayangnya, pelaku teror dan intimidasi politik ini sulit dijerat dengan UU pemilu. Penyelesaiannya pun sering tidak jelas," kata Karyono. (RF)
Komentar Anda

Berita Terkini