-->
    |

Menguji Janji Capres

FaktaNews.id - Pilpres adalah ajang kompetisi program. Sebelum program dibuat, para calon akan diuji pengetahuannya tentang bangsa ini. Mulai soal energi, pendidikan, masalah pengangguran, hingga masalah hukum, pendidikan dan HAM. Lalu, apa program-program jenius yang akan ditawarkan oleh Paslon.

Dari dua hal ini rakyat akan menilai. Mana di antara Paslon yang paling ok penguasaannya tentang Indonesia dan kemampuannya menawarkan program. Tentu, ini bagi pemilih yang menggunakan otaknya. Mereka adalah para pemilih rasional. Sayangnya, pemilih rasional gak banyak jumlahnya. Yang paling banyak itu pemilih emosional.

Pemilih emosional itu cirinya dua. Pertama, memilih berdasarkan pilihan tokoh, kiyai dan ormasnya. Pokoknya mati urip nderek ormas. Fanatik! Mereka memarkir otaknya dan mengabaikan kecerdasannya. Males mikir. Padahal, elit ormasnya itu rasional. Siapa yang diprediksi menang, apa kompensasi buat elitnya, dan keuntungan apa yang akan disiapkan untuk ormasnya. Rasionalitas transaksional dan pragmatisme model ini lumrah terjadi pada sejumlah ormas. Ormas yang mana? Anda pasti sudah paham tanpa harus disebutkan.

Kedua, karena benci sama calon yang lain. Kebencian ini bukan dilatarbelakangi oleh faktor integritas, moral, atau rendahnya kapasitas paslon. Tapi lebih pada persoalan pribadi, atau karena Paslon lain didukung oleh tokoh, partai atau ormas yang tak disukainya. Apalagi kemudian timses mampu menggandakan kebencian itu dengan hoax dan propaganda. Mujarab! Langsung cespleng!

Ingat 2014? Muncul Isu: jika Prabowo kalah, Ahmad Dhani mau potong kemaluannya. Seminggu setelah pilpres, ada 18 media minta maaf kepada Ahmad Dhani karena telah ikutan menframing hoax itu. Apakah pilpres 2019 masih akan ada hoax? Auranya makin parah. Hoax seperti inilah yang jadi hidangan lezat bagi pemilih emosional. Pasukan fanatik yang tak bernalar.

Indonesia akan melahirkan pemimpin yang relatif baik, jika para pemilihnya didominasi dari kalangan rasional. Isu yang diterima, didiskusikan dan meriah di kalangan pemilih rasional terkait dengan program.

Pemilih rasional akan mampu menyangkal pertama, isu-isu hoax (black campign). Kedua, isu-isu murahan seperti alpateka, selamat natal, ziarah kubur dan wudhu (negatif campign). Ketiga, isu yang tak ada relevansinya dengan kepemimpinan, seperti imam shalat, bacaan al-Quran dan faktor keturunan.

Di hadapan pemilih rasional, program adalah janji. Setiap Paslon dituntut untuk membuat janji terbaiknya. Janji yang baik itu jika pertama, jadi solusi terhadap problem dan kebutuhan rakyat. Kedua, janji itu bisa direalisasikan. Sebaik dan sehebat apapun program yang dijanjikan, jika tak dapat direalisasikan, itu mah penipuan. Bohong! Nah, para pemilih rasional bisa membaca apakah janji itu logis atau tidak. Jujur atau bohong-bohongan.

Prabowo-Sandi dan Jokowi-Ma’ruf dituntut untuk secara cerdas menawarkan janji-janji dalam program yang menarik hati rakyat. Yaitu, janji yang dirasa rakyat mampu menjadi solusi terhadap problem dan kebutuhan rakyat selama ini. Yang paling up to date saat ini terkait dengan kedaulatan pangan, kepastian harga pokok yang murah, tersedianya lapangan kerja, subsidi BBM, TDL, dan pupuk, keberpihakan kepada petani, nelayan, buruh dan UMKM sebagai komunitas kelas bawah, juga jaminan dan dukungan usaha, dan seterusnya.

Siapa yang janji politiknya paling ok dan menarik, rakyat akan memutuskan untuk memilih. Disini, Jokowi punya masalah. 2014 janji Jokowi mayoritas tak terealisir. Mungkinkah Jokowi akan janji lagi? Sulit! Ada beban bagi kubu Jokowi-Ma’ruf untuk membuat janji. Pasti akan dianggap bohong. Padahal, itu program yang harus ditawarkan kepada -dan dinilai oleh- rakyat.

Pepatah bilang: jika anda ingin tahu tentang seseorang, lihatlah masa lalunya. Jokowi punya track record buruk soal janji. Ini menyangkut tidak saja soal kapasitas, yaitu ketidakmampuan Jokowi merealisasikan janji, tapi juga integritas. Dianggap tidak memiliki komitmen untuk melaksanakan apa yang sudah diucapkan. Apalagi, hingga hari ini Jokowi belum pernah klarifikasi, lalu minta maaf kepada rakyat atas janji-janjinya yang tidak terealisasikan. Sampai beredar meme: “2019, janji lagi”. Saya kira, tak semudah itu.

Berarti, Jokowi gagal? Jika ukurannya janji politik, jawabnya iya. Pemimpin dianggap gagal jika pertama, hasil kerja dan kebijakannya tak sesuai ekspektasi rakyatnya. Kedua, tidak merealisasikan janji-janji politiknya. Saya kira, soal ini semua sepakat.

Apakah berarti Jokowi tidak akan terpilih lagi? Jika pemilihnya mayoritas adalah pemilih rasional, Jokowi sulit untuk terpilih kembali. Fakta surveinya, di kalangan pemilih kelas menengah ke atas dan pemilih perkotaan, suara untuk Jokowi rendah. Di medsos, dimana para penggunanya adalah masyarakat perkotaan dan rasional, suara Jokowi-Ma’ruf jauh di bawah Prabowo-Sandi.

Namun mesti dipahami, bahwa mayoritas pemilih Indonesia adalah pemilih emosional. Preferensi psikologis jauh lebih besar dari preferensi rasional. Faktor pencitraan dan isu-isu psikologis masih sangat berpengaruh. Rasionalitas program seringkali tak mudah menyentuh komunitas emosional ini. Akibatnya, terjadi proses pembodohan rakyat yang terus menerus. Akhirnya, paslon bertindak pragmatis dengan berebut suara di tokoh dan elit ormas. Mereka adalah orang-orang yang sangat berpengaruh dan jadi rujukan bagi para pemilih emosional. Karenanya, tokoh dan elit ormas sering panen saat pemilu, baik pileg, pilkada maupun pilpres.

Isu yang berkembang di kalangan para pemilih emosional tak jauh dari isu alpateka dan imam shalat. Sedih bukan? Tapi, itulah kualitas demokrasi kita. Belum ada tanda-tanda yang menggembirakan.

Tugas elit, media (?) dan para akademisi adalah mendorong masyarakat memilih dengan kesadaran dan kecerdasannya. Yaitu, fokus membaca program yang dijanjikan Paslon sebagai “baiat politik“. Program yang dijanjikan bagus tidak? Masuk akal tidak? Jika bagus dan masuk akal, pilih. Jika buruk, atau bagus tapi gak masuk akal, jangan pilih. Apalagi jika janji itu bohong. Akibat memilih pemimpin yang bohong, bangsa ini akan jadi tumbal keserakahan, bukan hanya lima tahun, tapi berdampak puluhan tahun kedepan.

Oleh: Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

Komentar Anda

Berita Terkini