-->
    |

BTP Di Antara Cahaya dan Noda

(Basuki Tjahja Purnama-Ahok)
FaktaNews.id - Basuki Tjahaja Purnama akan segera menghirup udara bebas. Sosok yang ingin dipanggil dengan inisial BTP ini akan bebas murni pada 24 Januari 2019. 

BTP divonis 2 tahun dalam kasus penodaan agama oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Dia menjalani hukumannya sejak 9 Mei 2017 dan mendapatkan total remisi 3 bulan 15 hari.

Sejatinya, BTP sebenarnya bisa mendapatkan hak bebas bersyarat pada 19 Agustus 2018 karena pada tanggal tersebut BTP sudah menjalani dua pertiga masa tahanannya. Namun, entah mengapa BTP lebih memilih bebas murni, padahal jika ia mau, dia bisa bebas lebih cepat. Justru disinilah ada sesuatu yang menarik untuk disimak. Ada something in disguise.

Keputusan BTP memilih bebas murni daripada memilih bebas bersyarat buat saya memiliki makna tersendiri. Tapi kira-kira apa makna di balik itu? Tentu saja yang paling mengetahui hanya Tuhan dan BTP yang tahu. Tetapi sekiranya jika boleh menerka-nerka alasan yang paling ringan dan sederhana mengapa BTP tidak memilih bebas bersyarat mungkin ia tidak ingin terbebani oleh persyaratan wajib lapor, dan syarat lainnya. Tapi saya lebih meyakini alasan yang kedua ini, yakni BTP seolah ingin menyampaikan pesan bahwa ia memilih jalan sebagai ksatria, bukan pengecut. Dengan begitu publik dengan sendirinya akan membandingkannya dengan Paduka Yang Mulia Habib Rizieq Shihab, orang yang selama ini getol ingin memenjarakan BTP tapi ketika ditetapkan menjadi tersangka justru pergi ke wilayah timor tengah, dan tinggal di Arab Saudi hingga saat ini belum diketahui kapan akan kembali ke Indonesia.

Ada pihak yang mengatakan imam besar FPI itu bukan melarikan diri alias kabur tapi sedang menjalankan hijrah. Terlepas dari istilah hijrah atau kabur, hal itu tidak terlalu penting, yang pasti Habib Rizieq Shihab meninggalkan Indonesia dengan status tersangka atas sejumlah kasus. Selain itu, publik juga akan membandingkan dengan sejumlah nama lain yang dahulu bersemangat agar BTP dipenjara atas tuduhan menista agama tapi ketika sebagian dari mereka diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan ditetapkan sebagai tersangka tapi justru berbalik menuduh aparat penegak hukum dan pemerintah telah melakukan kriminalisasi ulama. Dengan demikian maka publik akan mendapatkan pemahaman untuk mengetahui dan membandingkan mana jiwa ksatria, mana pengecut dan pecundang.

 Antara Cahaya dan Noda

Bagi sebagian orang BTP adalah cahaya di tengah kegelapan. Sosok BTP bagi sebagian masyarakat adalah harapan di tengah keputusasaan melawan penyakit korupsi yang menggurita. Keberaniannya mendobrak sistem birokrasi yang panjang dan berbelit-belit saat dia memimpin  Jakarta sulit dipungkiri. Berkat kepemimpinannya yang tegas, dia berhasil mengubah mental birokrat yang korup, malas dan bebal. Alhasil, sistem pelayanan publik di DKI Jakarta berubah menjadi ramah, cepat dan tanpa pungli. BTP sadar untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, tidak cukup memperbaiki sistem birokrasi. Dia sadar akar persoalan yang menyebabkan korupsi merajalela karena adanya kongkalikong antara birokrat, pengusaha dan  politisi busuk.

Oleh sebab itu persekongkolan yang memakan uang rakyat harus segera diamputasi. Karenanya, selain menerapkan sistem transfaransi berbasis elektronik, yang dilakukan BTP adalah memutus mata rantainya dengan melakukan tindakan tegas. Tak pelak, setelah BTP melakukan gebrakan, tingkat kepuasan publik DKI Jakarta terhadap kinerja Pemprov meningkat hingga di atas 70 persen.

Kepemimpinan BTP tersebut di satu sisi dipandang sebagai cahaya yang menerangi kegelapan, memberi inspirasi dan sekaligus menjadi harapan baru akan hadirnya Indonesia yang lebih baik. Tapi di sisi lain, bagi sebagian orang, kehadiran BTP ibarat noda hitam yang harus dibersihkan. Ia ibarat monster yang menakutkan bagi para penumpang gelap pemakan uang rakyat.

Lalu pada suatu ketika, babak perjuangan BTP terpaksa harus terhenti sejenak karena harus mendekam di penjara atas tuduhan penodaan agama. Alhasil babak tersebut menghantarkan perjalanan hidup seorang BTP berada diantara cahaya dan noda.

BTP memang sosok yang kontroversial. Tapi biarlah rakyat yang menilai dan menyimpulkan sendiri karena di negara demokrasi menjamin kebebasan berpendapat. Kita memang tidak boleh membunuh kebebasan berpendapat tapi kita juga harus tunduk pada konstitusi yang mengatur tentang kebebasan berpendapat.

Terakhir, biarlah sepak terjang BTP menjadi catatan sejarah dan biarlah sejarah nanti yang membuktikannya.

Mungkin itu pulalah makna dari pesan Ahok yang ingin dipanggil BTP saja, seolah ia ingin mengakhiri Bab tentang kehidupan masa lalunya dan bersiap mengukir sejarah barunya setelah ia keluar dari penjara. Kita tunggu saja apa yang akan terjadi dalam babak baru yang akan dijalaninya.

Oleh: Karyono Wibowo

(Pemerhati Sosial & Kebangsaan)

Komentar Anda

Berita Terkini