-->
    |

Tes Baca Al Qur'an Bagi Capres Dinilai Tidak Substansial

FaktaNeews.id - Pengamat politik Karyono Wibowo menilai tes baca Alquran bagi capres-cawapees sebenarnya tak ada dalam undang-undang tentang Pemilu maupun Peraturan KPU (PKPU). Sehingga tidak ada kewajiban bagi capres untuk menghadiri undangan dari Dewan Ikatan Dai Aceh.

"Namun demikian, jika capres-cawapres mau hadir di uji baca Alquran untuk meyakinkan rakyat Aceh, maka hal itu berpulang kepada masing-masing capres," ujar Karyono, Minggu (30/12/2018).

Menurut Karyono, munculnya ide tes baca Al qur'an bagi pasangan capres ini tidak terlepas dari menguatnya politik identitas yang ditandai dengan mencuatnya simbul-simbul agama. Sejak pilkada DKI Jakarta hingga pilkada serentak dan kini memasuki pemilu serentak isu politik berbasis agama kian mendominasi ruang publik.

Disebutkan Karyono, pada mulanya, Jokowi dihantam berbagai isu yang berbau SARA. Berbagai opini dibangun untuk mendelegitimasi keislaman Jokowi. Berbagai tudingan yang dihembuskan hingga tuduhan Jokowi melakukan kriminalisasi ulama, keturunan Cina, antek aseng hingga dituduh pernah menjadi kader Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain itu, berbagai propaganda dibangun untuk membentuk opini yang meragukan keislaman Jokowi,"

"Kini Prabowo Subianto pun tak luput dari isu agama yang meragukan keislamannya. Prabowo didera isu tidak bisa menjadi imam sholat. Bahkan, dengan beredarnya video yang diduga Prabowo ikut merayakan natal bersama dengan keluarga dan kaum kristiani menjadi viral. Akibatnya, kini berkembang isu yang meragukan keislaman capres nomor urut 02 tersebut," katanya.

Akhirnya, Karyono menjelaskan pihak-pihak yang terlibat dalam kontestasi pemilu 2019 mulai terjebak dengan suasana politik identitas. Hal ini membuat demokrasi kita mengalami defisit. Pemilu yang seharusnya menjadi perwujudan kedaulatan rakyat untuk memilih calon pemimpin yang berkualitas dan berintegritas akhirnya bergeser menjadi sekadar caci maki yang penuh ujaran kebencian. Pemilu hanya dipahami sekedar kalah atau menang dalam kontestasi elektoral. Akhirnya pelaksanaan demokrasi jauh dari substansi.

"Dampak dari menguatnya politik identitas bisa merusak esensi demokrasi dan mendorong segregasi sosial. Lebih dari itu, isu SARA berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa. Karenanya, semua pihak terutama elit politik harus segera menghentikan semua jenis narasi kampanye yang berbau SARA. Karena hal ini bisa berdampak luas terhadap persatuan dan keutuhan bangsa," katanya. (RF)
Komentar Anda

Berita Terkini